Makassar (Antara Sulsel) - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)  Kesehatan yang merupakan wujud dari program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sangat lekat dengan kehidupan masyarakat dalam 3 tahun terakhir.

Perubahan nama jaminan kesehatan yang silih berganti dari Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) dengan lampiran surat miskin dari pihak kelurahan, kemudian Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang merupakan program pemerintah nasional hingga kini diistilahkan menjadi BPJS.

BPJS menjadi kartu sakti ketika seseorang sakit dan membutuhkan pelayanan kesehatan, baik pemeriksaan rutin maupun kondisi darurat.

Khusus di BPJS Kantor Cabang Utama (KCU) Makassar, pemegang kartu JKN dan Kartu Indonesia Sehat (KIS) sudah mencapai 2.450.618 jiwa pada posisi Juni 2017.

Jumlah tersebut sudah termasuk peserta yang didaftarkan dan diintegrasikan dengan Program JKN-KIS oleh pemerintah daerah. Dalam pengimplementasian program JKN-KIS di lapangan, kerap masih dijumpai sejumlah kekurangan di sana-sini.

Akibatnya, Anti Corruption Committee (ACC) dan Indonesia Corruption Watch (ICW) turun memantau langsung pelayanan BPJS Kesehatan di Makassar.

Anggota Badan Pekerja ACC pada Bidang Penelitian Anggareksa mengatakan bahwa kegiatan itu untuk menindaklanjuti sejumlah laporan terkait dengan penyimpangan di lapangan.

Oleh karena itu, pada pekan pertama September 2017, pihaknya turun melakukan pemantauan. Hal ini mengingat BPJS selaku pengelolan JKN ini sangat vital.

Menurut aktivis ACC ini, kegiatan tersebut sebagai bagian dari upaya pemberantasan korupsi yang sebenarnya. Tidak selamanya diukur dengan berapa banyak koruptor yang dipenjara ataupun uang negara yang diselamatkan. Namun, yang terpenting seberapa besar dampak yang ditimbulkan pada masyarakat.

Dengan demikian, keberhasilan pemberantasan korupsi juga diukur dengan seberapa besar dampak pada mutu pelayanan publik yang terkait dengan kesejahteraan masyarakat.

Oleh karena itu, salah satu pelayanan publik yang bersinggungan langsung dengan masyarakat adalah layanan kesehatan oleh BPJS Kesehatan di Makassar.

Sementara itu, Kepala BPJS Kesehatan KCU Makassar Unting Patri Wicaksono Pribadi menyebutkan jumlah pemegang kartu BPJS di wilayahnya yang meliputi Kota Makassar, Kabupaten Maros, Pangkep, Gowa, dan Kabupaten Takalar itu sudah mencakup 79 persen dari total penduduk di lima daerah tersebut.

Pertumbuhan jumlah kepesertaan BPJS kesehatan ini, lanjut dia, juga diikuti pertumbuhan jumlah fasilitas kesehatan yang bekerja sama.

Saat ini, Kantor Cabang Makassar telah bermitra dengan 326 fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) yang terdiri atas 123 puskesmas, 60 dokter praktik perorangan, 31 dokter praktik gigi perorangan, dan 112 klinik pratama yang terbagi atas 75 klinik pratama swasta, 12 klinik Polri, dan 25 kLinik TNI.

Selain itu, BPJS Kesehatan Cabang Makassar juga telah bekerja sama dengan 43 fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan (FKRTL) yang terdiri atas 37 rumah sakit (termasuk di dalamnya enam klinik utama), 31 apotek, dan 12 optik.

Selain komitmen dalam bentuk pembiayaan serta perluasan akses pelayanan melalui penyediaan fasilitas kesehatan, dia berharap ke depan peran pemerintah daerah juga makin optimal, baik dari sisi kualitas maupun mutu pelayanan kesehatan.

Dengan adanya sinergitas semua pihak, tentu derajat kesehatan masyarakat makin meningkat. Oleh karena itu, pihaknya berharap pemerintah daerah bersama-sama memperkuat regulasi menengai kepatuhan pengusaha dan masyarakat dalam kepesertaan JKN-KIS serta cakupan kepesertaan yang makin luas.

Mengenai pendaftaran kepesertaan, dia mengatakan bahwa masyarakat dapat melakukan pendaftaran di kantor cabang, kantor layanan operasional kabupaten/kota, website, dan bank mitra yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, kini pendaftaran dapat juga dilakukan melalui BPJS Kesehatan Care Center 1500-400.

Selain itu, BPJS Kesehatan kini juga mengembangkan pendaftaran melalui sistem dropbox di Kantor Cabang BPJS Kesehatan, kantor kelurahan, dan kantor kecamatan, pendaftaran melalui PPOB/mitra kerja BPJS Kesehatan, melalui kader JKN, serta pendaftaran melalui aplikasi mobile JKN.

Pendaftaran melalui mitra kerja juga tengah dikembangkan dengan membuka "point of service" di pusat perbelanjaan, seperti mal dan tempat perbelanjaan lainnya.

Layanan RS

Kendati animo masyarakat sudah makin meningkat menjadi peserta BPJS Kesehatan untuk mengantisipasi ketika sakit atau mendapatkan kecelakaan, dari sisi layanan di rumah sakit, masih sering dikeluhkan peserta BPJS Kesehatan.

Salah satu keluhan yang sudah menjadi kelaziman adalah pasien BPJS kesehatan sulit memperoleh kamar sesuai dengan fasilitas yang semestinya.

Hal itu diakui salah seorang keluarga peserta BPJS kesehatan di Makassar bernama Rahmatia.

Ia mengaku bolak-balik mengantar ibu. Mulai dari rumah sakit Wahidin Sudirohusodo katanya penuh, lalu disuruh ke Rumah Sakit Awal Bros juga penuh, kemudian dibawa ke RSI Faisal juga penuh.

Saat menghadap di salah satu rumah sakit, pelayanan di rumah sakit itu tidak terlalu ramah ketika melayani. Saat ditanya pasien apa, Rahmatia menyatakan pasien dari BPJS Kesehatan, perawat mengaku kamar penuh dan akan dihubungi kembali nanti bila ada kamar yang sudah kosong.

Ia bersama ibunya disuruh menunggu telepon yang tidak kunjung berbunyi, sudah 3 hari pihaknya menunggu. Untung ada keluarga juga pasien keluar rumah sakit dan memberi tahu pihaknya. Akhirnya, dapat kamar di RS Wahidin kelas tiga.

Hal serupa dikemukakan Daeng Rima yang mengaku ketika anaknya yang sakit untuk mendapatkan layanan intensif di RS Awal Bros, dikatakan kamar kelas 2 dan kelas 1 tidak ada yang kosong sehingga diarahkan mengambil kamar VIP atau VVIP.

Padahal, dengan menggunakan kamar VIP dan VVIP akan dikenai biaya selisih. Namun, hal itu tidak dijelaskan berapa selisih yang harus dibayarkan dari kelas II naik ke kelas VIP.

Kondisi inilah yang kerap menjebak keluarga pasien harus menanggung biaya hingga jutaan rupiah, padahal berharap dengan kartu BPJS yang dimilikinya dapat membantunya dalam mengakses layanan kesehatan.

Berdasarkan penelusuran di lapangan, diduga ada praktik jual beli kamar dilakukan secara struktur seusai dengan instruksi pimpinan rumah sakit. Bila pasien umum bisa langsung mendapat kamar.

Hal yang ironi karena sudah menjadi rahasia umum, bagi pasien yang memiliki jabatan atau keluarga petinggi rumah sakit maupun dokter, diprioritaskan mendapatkan kamar, sementara pasien yang tidak memiliki kerabat dengan petugas medis dan tidak memiliki pangkat terkesan dipersulit, padahal mereka adalah peserta BPJS Kesehatan juga.

Menanggapi hal tersebut, Kepala BPJS Kesehatan KCU Makassar Unting mengakui ketersediaan kamar memang selalu menjadi kendala di setiap rumah sakit setelah pemberlakuan BPJS Kesehatan.

Oleh karena itu, pihaknya akan segera melakukan evaluasi terhadap persoalan yang dianggap krusial itu dengan meninjau ulang kerja sama dengan pihak manajemen rumah sakit.

Ia berjanji pada tahun depan akan evaluasi semua masalah yang terjadi, termasuk meninjau ulang kerja sama dengan BPJS Kesehatan serta persyaratannya demi mewujudkan komitmen pihaknya sebagai penjaminan layanan kesehatan.

Pihaknya juga berencana memasang stiker pada setiap kamar, termasuk di ruang tunggu rumah sakit, yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan di dalamnya berisi informasi dan nomor telepon untuk pengaduan. Baik dokter maupun perawat bisa dilaporkan ketika tidak dilayani dengan baik.

Oleh karena itu, pada tahun 2017 semua rumah sakit bekerja sama dengan BPJS Kesehatan wajib memasang informasi atau papan bicara terhadap keterisian kamar, baik yang berisi maupun kosong. Hal ini dimaksudkan agar para pasien tidak menunggu sehingga ada transparansi kepada semua orang. Tidak terkesan disembunyikan lagi.

Komitmen pihak BPJS Kesehatan ini hendaknya dapat diwujudkan secara nyata sehingga peran badan ini sebagai jembatan dalam menyehatkan bangsa benar-benar tercapai. Bukan sekadar "lip service" belaka dan pundi-pundi BPJS Kesehatan terus terisi dengan premi peserta yang tidak mendapatkan layanan yang baik.

Pewarta : Suriani Mappong
Editor : Daniel
Copyright © ANTARA 2024