Makassar (ANTARA News) - Penanganan Komunitas Adat Terpencil (KAT), terutama yang bermukim di kawasan hutan lindung yang tersebar di sejumlah daerah kabupaten di Sulawesi Selatan, hingga saat ini masih bermasalah.

Itu terjadi antara lain karena belum adanya titik temu pemecahan dari tiga Menteri yang menangani masalah itu.

"Sampai sekarang KAT Sulsel masih bermasalah, termasuk KAT yang ada di kawasan hutan lindung Kabupaten Luwu Timur yang mencapai 200 kepala keluarga melakukan perladangan berpindah-pindah," kata Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial Sulsel, Drs A. Mappagio di Makassar, Senin.

Padahal, jika masalah ini dapat diselesaikan tiga Departemen yang berkompeten yakni Kehutanan, Sosial dan Dep. Tenaga Kerja dengan memberi kesempatan kepada KAT untuk menjaga, merawat dan memanfaatkan hasil hutan tersebut, kawasan hutan lindung maupun di luar kawasan akan lestari sebab mereka sudah diberi tanggungjawab untuk menjaga hutan tersebut.

Tahun 2009, lanjutnya, Dinkesos Sulsel memprogramkan membina warga KAT sebanyak 1.000 KK dengan dana miliaran rupiah untuk membangun sejumlah rumah layak huni, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan, termasuk memberi modal usaha produktif bagi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan mereka.

"Kami masih menunggu keputusan Tiga Menteri tersebut apakah KAT yang ada di dalam kawasan hutan lindung menjadi prioritas penanganan pembinaan dengan bekerjasama pemerintah kabupaten/kota, termasuk koperasi sebagai lembaga ekonomi yang menghimpun anggota dari komunitas tersebut," katanya.

Kepala Subdin Inventarisasi Hutan Dinas Kehutanan Sulsel, Ir Sri Endang Sukarsi, MSi yang dihubungi secara terpisah menyatakan, KAT yang bermukim di kawasan hutan selama ini masih menganggap hutan adalah bagian dari kehidupan mereka sehingga perlu dibina agar hutan di provinsi ini tetap terjaga.

"Masyarakat KAT membuka lahan perkebunan di areal hutan tersebut karena terdesak untuk membiayai anggota keluarganya," ujarnya seraya berharap pemerintah kabupaten memberi kesempatan bagi KAT untuk bergabung dengan kelompok peduli lingkungan yang diorganisir koperasi setempat sebagai wadah ekonomi rakyat di daerahnya.

Sebab, mereka bisa memanfaatkan hutan dengan cara tebang kayu tua dan menggantinya dengan tanaman yang baru (reboisasi) mandiri di kawasan itu sehingga hutan tetap terjaga dan lestari.

"Sekali dalam lima tahun mereka menebang kayu yang sudah tua usianya dan menggantinya tanaman baru yang lebih produktif sehingga hutan tidak gundul," ungkapnya seraya menyatakan, dari hasil menebang kayu secara terorganisir dengan pengawasan aparat pemerintah setempat, mereka mendapatkan penghasilan untuk membiayai kelangsungan
hidup anggota keluarganya.

Menurut Sri, lahan kritis di provinsi ini mencapai 682.784 ha yakni berada dalam kawasan hutan seluas 369.956,5 ha dengan jumlah penduduk yang melakukan perladangan berpindah-pindah sebanyak 23.415 kk serta hutan rusak di luar kawasan tercatat 312.827,7 ha dengan penduduk yang berada di wilayah itu sebanyak 35.882 KK.

(T.PSO-099/F003)


Pewarta :
Editor :
Copyright © ANTARA 2024