Makassar (Antara Sulsel) - Sejumlah aksi solidaritas peduli Palestina digelar berbagai elemen mahasiswa terus mengalir terkait penolakan pengakuan Yerussalem sebagai Ibu Kota Israel atas pernyataan Presiden Amerika, Donald Trump.

"Kami tidak pernah setuju pengakuan Yerussalem sebagai ibu kota Israel. Mengecam segala bentuk kebijakan Trump yang bertentangan dengan kedaulatan suatu bangsa dan nilai-nilai kemanusiaan
," tegas koordinator aksi Lingkar Mahasiswa Islam untuk Perubahan (Lisan), Rahmadi di bawah jembatan layang, Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat.

Selain itu, pihaknya mendukung penuh langkah pemerintah Indonesia dalam upaya pembelaan terhadap kemerdekaan Palestina, sekaligus menuntut pemerintah memutuskan hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat

"Kami juga Menyerukan kepada seluruh komponen anak bangsa untuk mendukung pembebasan dan kemerdekaan Palestina serta mendesak PBB untuk mendukung kemerdekaan penuh rakyat Palestina," papar dia.

Rahmadi mengungkapkan, sejak 1947 silam pihak Amerika Serikat ingin menjadikan Yerussalem sebagai ibu kota Israel bahkan kongres kala itu meminta penimpin amerika menetapkan Yerussalem sebagai pusat kota Israel, padahal darah tersebut masih wilayah palestina dan daerah suci.

"Yerussalem adalah Palestina memang sudah lama mereka menginginkan itu. Ini membuktikan kalau Amerika dan Israel memang tidak pernah menginginkan perdamaian di timur tengah, utamanya kemerdekaan di Palestina," ungkapnya.

Dalam aksinya mereka membawa spanduk serta poster Presiden Amerika Serikat Donal Trump dan replika bendera Amerika Serikat dan Israel. Usai berorasi mereka lalu membakar poster dua bendera tersebut dan termasuk poster Donal Trump.

Sementara organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) menyikapi persoalan itu dengan mengecam keras kebijakan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump atas pengakuannya terhadap Yerussalem sebagai ibu kota negara Israel.

Ketua Umum PB PMII, Agus M Herlambang melihat masalah ini dalam perspektif hukum dan kemanusiaan. Dalam perspektif hukum. Keputusan ini telah melanggar hukum atau kesepakatan-kesepakatan internasional yang dilahirkan lewat PBB terkait Israel dan Palestina.

Salah satunya adalah Resolusi Majelis Umum PBB No. 2253 tanggal 4 Juli 1967 hingga Resolusi No. 71 tanggal 23 Desember 2016 yang pada pokoknya menegaskan perlindungan Yerusalem terhadap okupasi Israel.

Sementara dalam perspektif kemanusiaan ini akan memicu kembali konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina di tengah usaha perdamaian diantara kedua negara tersebut. Dampak buruknya bisa melahirkan radikalisme dan ekstrimisme yang berujung pada konflik agama, mengingat Yerussalem juga merupakan tempat suci umat Islam,"ucap Agus.

Dirinya berharap agar seluruh negara-negara Islam di dunia untuk bersatu mendukung kemerdekaan Palestina khususnya negara-negara muslim bersatu mendukung kemerdekaan Palestina.

"Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia harus menjadi garda terdepan untuk memperjuangkan hal tersebut di forum-forum internasional," harap dia.

Ketua Bidang Hubungan Komunikasi Organ Gerakan Kepemudaan, LSM dan Ormas PB PMII, Muhammad Syarif Hidayatullah menambahkan kebijakan sepihak itu dapat memicu kembali konflik.

"Pengakuan Donald Trump terhadap Yerussalem sebagai ibu kota Israel adalah kebijakan sepihak. Ini bisa memicu kembali konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina. Padahal kedua negara tersebut masih dalam proses melakukan perdamaian. Ini soal perdamaian dunia, bukan perdamaian Amerika Serikat,"paparnya.

Pria disapa akrab Chaliq mengemukakan, pemerintah Indonesia harus segera melakukan langkah diplomatik agar pemerintah Amerika Serikat segera menarik keputusan atas pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Palestina.

"Pemerintah Indonesia diharapkan segera melakukan langkah diplomatik agar Presiden Amerika Serikat segera membatalkan keputusan sepihak ini," katanya.

Pewarta : Darwin Fatir
Editor : Daniel
Copyright © ANTARA 2024