Makassar (Antaranews Sulsel) - Lembaga Anti Corruption Commitee (ACC) Sulawesi menilai kinerja Kejaksaan Tinggi (Kejati) dan Polda Sulawesi Selatan selama 2017 kurang maksimal.

"Masih rendahnya penanganan pada kasus pemberantasan korupsi dan lemahnya kinerja Kejati dan Polda menyebabkan pelaku tidak pernah jera untuk kembali melakukan perbuatan korupsi," kata Wakil Direktur ACC Sulawesi Kadir Wokanubun saat pemaparan Catatan Akhir Tahun di kantornya, Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat.

Dirinya mengungkapkan dari hasil investigasi serta penelusuran kasua, sebanyak 122 kasus korupsi yang ditangani dua institusi ini dianggap mandek atau kasus tidak berjalan sesuai prosedur.

Untuk Kejati Sulsel ditangani 30 kasus dengan rincian 24 kasus dalam tahap penyelidikan dan hanya enam kasus masuk dalam penyidikan. Kemudian Kejari se Sulsel, jumlah perkara ada 47 kasus ke tahap penyelidikan dan hanya 18 kasus ke tingkat penyidikan.

Selanjutnya, Polda Sulsel dan Polrestabes Makassar diketahui ada 15 kasus, enam kasus ditahap penyelidikan dan sembilan kasus pada tahap penyidikan. Secara total jumlah kasus untuk penyelidikan sebanyak 77 kasus dan penyidikan 33 kasus.

Sedangkan khusus pada kasus dugaan korupsi sebelumnya ditangani Kejati Sulsel seperti Alat Kesehatan Pangkep, Pasar Lakessi Kota Pare-pare serta pengadaan Laboratorium Bahasa di Dinas Pendidikan Kabupaten Wajo dalam perjalanan kasusnya malah di keluarkan Surat Penghentian Penyelidikan atau SP3.

"Modus dikeluarkannya SP3 dilakukan diam-diam, tidak memberikan akses dokumen SP3, diberikan karena sudah mengembalikan kerugian negara, alasan terganjal audit BPK, BPKP serta inspektorat. Pemberian Sp3 juga melihat status jabatan dan politik," beber Kadir.

Mantan aktivis hukum Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) ini melanjutkan, pemberian SP3 diberikan karena berkurangnya atau tidak ada perhatian masyarakat terhadap kasus korupsi, hingga pemberian itu dilakukan suap, termasuk Kejati membiarkan Kajari dibawahnya leluasa memberikan SP3 kepada tersangka tanpa alasan jelas.

Sementara pada kasus Pungutan Liar (Pungli) yang ditangani Polda Sulsel pada kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) sepanjang 2016-2017 sebanyak 52 kasus, namun disayangkan hanya tujuh kasus dilimpahkan ke pengadilan.

Selain itu penanganan kasus korupsi yang dilakukan Polda pada tingkatan penyelidikan sebanyak 18 kasus, penyidikan 22 kasus serta P21 satu kasus dengan total 45 kasus.

Mengenai dengan kinerja kejaksaan dalam menangani perkara korupsi di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Makassar selama 2017, total sebanyak 134 perkara dan tertinggi di Makassar 16 kasus, Kejati Sulsel 13 kasus disusul Sengkang 11 kasus, Gowa dan Bone 10 kasus selebihnya dibawah 10 kasus.

"Total perkara yang di proses sebanyak 134 kasus, di vonis 150 dan kerugian negara sebesar Rp492.713.009 juta. Sedangkan vonis bebas sembilan perkara dari 10 terdakwa. Vonis terendah satu tahun penjara, tertinggi lima tahun enam bulan dengan denda Rp500 juta subsider tujuh bulan," ungkapnya.

Kendati demikian, kata dia, dari 134 perkara yang masuk di PN Tipikor tercatat pada sektor infrastuktur 34 kasus, pemberdayaan masyarakat 38 kasus, pelayanan publik 12 kasus, Dana Desa 11 kasus, Pengadaan Barang dan Jasa serta Aset Negara masing-masing delapan kasus.

Perbankan tujuh kasus, pendidikan enam kasus dan kesehatan satu kasus. Aktornya, sebut dia, Pengawai Negeri Sipil 59 orang, swasta 34 orang, pengurus koperasi dan Kepala Desa masing-masing 10 orang, honorer delapan orang, perangkat desa, kelompol tani empat orang, Perusda atau BUMN lima orang, karyawan BUMN tiga orang, Anggota DPRD, Advokat serta notaris satu orang.

"Dari 134 perkara ini, ada 140 terdakwa. Untuk itu ACC Sulawesi mengeluarkan rekomendasi pemberantasan korupsi wajib menjadi agenda prioritas kejaksaan juga kepolisian serta pengadilan. Kepala Daerah harus mengevaluasi upaya pengcegahan korupsi diseluruh sektor mengacu pada Stranas PPK," paparnya.

Selain itu, tambah Kadir, pimpinan lembaga penegak hukum harus melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap kinerja jajarannya. Mendesak Kejati Sulselbar, Kapolda Sulsel untuk mengevaluasi jajaranya yang tidak membuka akses informasi terhadap publik dalam penanganan kasus korupsi.

Hakim Tipikor harus menjadikan kasus korupsi sebagai `Extra Ordinary Crime`. Lembaga pengawas eksternal dan internal seperti Komisi Yudisal, Komisi Kejaksaan, dan Komisi Kepolisian melakukan fungsinya secara maksimal.

"Mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan Korsup terhadap penanganan perkara korupsi di kepolisian dan kejaksaan. Mempererat perencanaan, penanggaran, pelaksanaan dan pengawasan terhadap proyek infrastuktur di level provinsi, kabupaten kota se Sulsel," ujarnya.

Pewarta : M Darwin Fatir
Editor : Daniel
Copyright © ANTARA 2024