Makassar (Antaranews Sulsel) - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar menyatakan sepanjang 2017 melakukan penanganan terhadap 197 kasus atau 48 persen terkait struktural yang berdimensi publik dan dugaan pelanggaran HAM.

"Dari kasus tersebut yang ditangani terdapat 92 kasus atau 48 persen struktural yang berdimensi publik dan dugaaan pelanggaran Hak Asasi Manusia," sebut Direktur LBH Makassar Haswandi Andy Mas saat rilis Catatan Akhir Tahun di kantornya, Jumat.

Dirinya merinci, ada sembilan kasus pencaplokan tanah wilayah kelola rakyat atau hak atas tanah dan lingkungan hidup. Kasus ini seperti konflik pertanahan atau Sumber Daya Alam terjadi di beberapa sektor pertanian, perkebunan, tahah hunian rakyat.

Seperti kasus tanah pembebasan lahan pembangunan Bendungan Karangloe di Kabupaten Gowa, kasus tanah Bara-baraya Kota Makassar yang melibatkan Kodam VII Wirabuana kini berubah nama Kodam XIV Hasanuddin.

Konflik lahan kehutanan yang terjadi dan kasus penambangan pasir laut dipesisir pantai Galesong, Kabupaten Takalar yang diperuntukkan pembangunan Reklamasi Central Poin of Indonesia (CPI), Pantai Losari Makassar.

"Dari beberapa kasus konflik lahan tersebut, kecenderungan menggunakan pola kriminalisasi terhadap rakyat yang memperjuangkan hak-haknya atas wilayah kelolanya," paparnya kepada wartawan

Selanjutnya, enam kasus pelanggaran hak atas pendidikan, tiga kasus identitas hukum, dan satu kasus pelanggaran hak atas pelayanan hak dasar lainnya

Kemudian, 12 kasus pelanggaran hak konsumen yang pelakunya didominasi perusahaan property atau pengembang perumahan dan lembaga finance atau pembiayaan.

Selain itu, ada 13 kasus kekerasan terhadap perempuan dan tujuh kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Dari 14 orang korban yang mengadu dan diwawancara, 13 diantaranya mengalami kekerasan diawal pernikahan mereka. Rata-rata usia perkawinannya diatas 10-20 tahun.

Kendati para perempuan ini bekerja, namun masih mendapat kekerasan dalam rumah tangga. Dari laporan catatan akhir tahun perkembangan kasus KDRT sangat berbeda dari 2016 lalu, dimana yang datang mengadu dan menjadi korban didominasi ibu rumah tangga dan memiliki ketergantungan ekonomi pada pasangannya.

Untuk kasus kekerasan terhadap anak, berdasarkan kasus diterima medio Januari-Desember 2017, tercatat ada 13 kasus, dengan total korban sebanyak 13 anak, diluar anak korban kebijakan diskriminatif.

Lima kasus merupakan kekerasan seksual dengan korban enam anak, penelantaran anak dengan korban delapan anak serta dua kasus kekerasan pendidikan.

Sedangkan untuk kasus kekerasan fisik, lanjutnya, ada tujuh kasus. Dilakukan aparat kepolisian dengan delapan orang korban baik itu diduga dianiaya, dipukul saat penangkapan hingga diancam menggunakan senjata api.

Dua kasus kebebasan berekspresi dan berpendapat seperti pembubaran porseni Bisssu dan Waria se Sulsel pada 19 Januari di Kabupaten Soppeng serta kasus penghinaan dan pencemaran nama baik Irwandi Said Dosen FDK UINAM dilaporkan Nursamsiyah Dekan FDK UINAM hanya gegara percakapan Media Sosial WhatsApp.

Sementara satu kasus kode etik aparat. 15 Kasus pelanggan hak-hak Buruh didominasi dengan pola PHK dan kriminalisasi terhadap upaya perjuangan buruh dalam menuntut pemenuhan hak. Dari 15 kasus itu, terdapat enam di PHK, tiga perselisihan hak. Satu kasus tentang buruh PT Surya Madistindo empat anggotanya dilaporkan pidana dan digugat perdata.

"Dari sejumlah kasus penegagak supermasi hukum bersih di Sulsel masih jauh dari harapan dan diperlukan reformasi pada institusi penegak hukum," paparnya.

Pewarta : M Darwin Fatir
Editor : Daniel
Copyright © ANTARA 2024