Makassar (Antaranews Sulsel) - Kisah perjuangan pantang menyerah sejumlah pendaki difabel Sulawesi Selatan dalam mengapai puncak Gunung Sesean, di Kabupaten Toraja Utara, sudah terbukti pada 1-3 Desember 2017.

Namun kisah sukses mereka mereka layak diceritakan sebagai bahan motivasi dan pendidikan mental bagi masyarakat, bahwa kondisi yang tidak sempurna bukan menjadi rintangan untuk melakukan sesuatu yang besar dan dianggap tidak mungkin.

Seperti halnya dalam film "Mission Imsposible" yang dibintangi aktor papan atas Hollywood, Tom Cruise, yang mengisahkan sebuah misi atau tugas yang begitu sulit dan bahkan bisa dikatakan tidak dapat diterima dengan nalar, tetapi dengan semangat juang dan sikap pantang menyerah, ternyata apa yang dianggap tidak mungkin bisa terwujud.

Begitupun dengan misi para difabel yang mencoba melakukan sesuatu yang sulit pada penghujung tahun 2017 dalam sebuah misi khusus yang bertajuk "Pendakian Bersama Difabel Menembus Batas Bagian II".

Rombongan pendaki bersama Difabel Menembus Batas bagian II yang akan menuju Gunung Sesean Kabupaten Toraja utara, Sulawesi Selatan, lebih dulu dilepas di Rumah Jabatan Wali Kota Makassar, pada 1 Desember 2017.

Pendakian di Gunung Sesean itu diikuti sebanyak 10 orang penyandang disabilitas yang terdiri atas tiga tuna-netra, enam tuna-daksa kinetik dan satu tuna-grahita.

"Saya mengapresiasi sebesar-besarnya kegiatan pendakian yang kedua kalinya ini. Kegiatan yang sangat bermanfaat ini adalah wadah untut mengembangkan minat dan bakat atlet penyandang disabilitas,"ujar Kepala Dinas Sosial Makassar Mukhtar Tahir yang melepeas tim waktu itu.

Gunung Sesean memiliki tinggi sekitar 2100 meter dari permukaan laut (Mdpl) dan menjadi salah satu primadona tempat pendakian di Toraja Utara bagi penggiat alam dan wisatawan.

Mukgtar Tahir berharap kegiatan tersebut bisa bermanfaat bukan hanya bagi para pendaki yang akan membuktikan diri, namun ini bisa bermanfaat bagi masyarakat secara luas.

Pendakian bersama para difabel itu dilaksanakan dalam rangka memperingati Hari Penyandang Disabilitas Internasional 2017 yang diikuti 70 orang penggiat alam bebas bersama 10 orang penyandang disabilitas dimulai dari kaki gunung sekitar pukul 15.00 Wita.

Gabungan pendaki dan para difabel itu mendaki dengan beberapa kelompok tim kecil, berhasil tiba di puncak Gunung Sesean sekitar pukul 16.30 Wita.

"Jika dibandingkan dengan tidur di hotel selama dua malam, di sini lebih sensasional. Dengan pendakian ini kita ingin perlihatkan bahwa kaum difabel juga bisa mendaki gunung. Biasanya kami selalu dipandang sebelah mata, " ujar salah satu pendaki difabel, Agussalim.

Tim tiba pertama di puncak gunung yang memiliki ketinggian 2100 mdpl ini adalah tim yang beranggotakan tuna-netra dan tuna-daksa kinetik.

Cuaca selama pendakian relatif cerah hingga tim rata-rata tiba saat petang. Para pendaki termasuk Agussalim pun mengatakan dapat merasakan sensasi yang begitu tinggi dalam pendakian tersebut.

Para pendaki difabel juga berharap dengan kegiatan ini bisa mendapat perhatian publik lebih luas.

Seorang tuna-netra Abdul Rahman yang ikut mendaki mengatakan bahwa dia begitu bersyukur bisa mencapai puncak gunung apalagi bisa tiba sebelum malam tiba dan selama perjalanan, dia bergerak dengan bantuan instruksi dari para pendampingnya yang berada di belakang, depan dan sampingnya.

"Sempat tergelincir karena lambat terima instruksi," kata Abdul Rahman yang melangkah ke kiri atau ke kanan berdasarkan panduan orang-orang di sekitarnya.


Pendaki difabel saat mendaki Gunung Sesean di Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan. (Istimewa)
Rahman memiliki sekitar 30 persen penglihatan dan pada peringatan Hari Penyandang Disabilitas Internasional 2016 ia berhasil mencapai puncak Latimojong, Enrekang.

Dan pada misi pendakian kali ini, dirinya mengaku sudah tidak mengalami kesulitan dalam orientasi mobilitas karena intruksinya tepat.

Kondisi itu berbeda dengan pendakian di Latimojong yang kadang tidak tepat instruksinya dan masih ditarik pakai tali webing yang dililit di pinggang. Di sini (Sesean) mereka hanya dipakaikan harness (pengaman panjat tebing) tapi sudah tidak ditarik.

Pendakian di Latimojong pada 2016 menjadi pembelajaran berharga untuk orientasi mobilitas dan komunikasi instruksi.

Ketua panitia kegiatan ekspedisi, Nur Hidayat menjelaskan, gunung kembali dipilih sebagai lokasi ekspedisi karena gunung merupakan simbol kekuatan.

"Dibutuhkan beberapa kemampuan di antaranya mental yang kuat, kesigapan, pengetahuan dan taktik managerial. Ketika kami mampu berada di gunung berarti kami juga mampu berada di kelompok-kelompok masyarakat untuk beraktivitas.

"Artinya kami juga mampu berada di dalam kondisi apapun," tegas Yayat.



Haru, bangga dan penghargaan

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, Sawaliah Baharuddin mengapresiasi keberhasilan 10 orang disabilitas yang mengapai puncak gunung Sesean, Toraja Utara.

"Ini adalah pencapaian luar biasa. Saya kagum dan terharu dengan pendakian mereka. Apa lagi hanya dalam waktu tiga jam sudah tiba di puncak, itu luar biasa," sebutnya.

Bila membandingkan kegiatan ini dengan dengan pendakian gunung oleh tiga difabel di gunung Latimojong, Enrekang pada tahun 2016 terdapat perbedaan pada jarak dan tingkat kesulitan di kedua gunung.

Rasa penasaran sempat membuat Sawaliah Baharuddin berniat ikut mendaki bahkan sudah mencari staf untuk ikut bersama-sama ikut mendaki dengan rombongan difabel, namun sayangnya jadwal pendakian bertepatan dengan agenda lain.

Keberhasilan pendakian juga mendapat perhatian dari Dinas Kepemudaan dan Olahraga (Dispora) Sulawesi Selatan, yang kemudian memberikan penghargaan kepada 10 atlet difabel atas pencapaiannya mendaki Gunung Sesean.

Penghargaan diserahkan langsung oleh Kepala Dispora Sulsel Sri Endang kepada 10 atlet penyandang difabel masing-masing tiga diantaranya difabel netra yakni Adil R, Abdul Rahman dan Arifin Amir.

Serta enam di antaranya difabel kinetik yakni Eko Peruge, Agus Salim, Faluphy Muhmud, Sukirman, Ariandy, Syawal. Kemudian satu difabel intelektual atau downsynrom bernama Jasri.

Kadispora Sulsel Sri Endang mengatakan piagam diberikan sebagai wujud penghargaan atas kemampuannya menunjukan bahwa difabel juga bisa melakukan kegiatan seperti kebanyakan orang.

"Ini tidak seberapa, tetapi bisa dilihat sebagai motivasi dan pemicu bagi difabel lainnya untuk mengekspresikan diri," ujarnya.

Pewarta : Abdul Kadir
Editor : Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2024