Makassar (Antaranews Sulsel) - Kepala Balai Besar Karantina Ikan dan Pengendali Mutu (BBKIPM) Makassar Sitti Chadijah menjadi pembicara pada Simposium Nasional Hiu dan Pari 2018 di Gedung Mina Bahari IV, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di Jakarta, khususnya perdagangan hiu.
"Ekspor hasil perikanan menunjukkan tren yang positif dari tahun ke tahun apalagi di Makassar pertumbuhannya itu sangat signifikan," ujar Sitti Chadijah yang dikonfirmasi, Kamis.
Dia menyatakan ekspor sirip ikan hiu selama tahun 2015 sampai 2017 mengalami peningkatan yang signifikan. Peningkatan ekspor ini dibarengi pengawasan yang ketat terutama jenis-jenis hiu yang dilindungi.
"Tiga tahun terakhir ini ekspor sirip hiu meningkat dari Sulsel. Begitu juga dengan perdagangan hasil kelautan lainnya," katanya.
Icha - sapaan akrab Sitti Chadijah menyatakan, bahan baku hasil kelautan khususnya sirip hiu itu bahan bakunya berasal dari wilayah timur Indonesia seperti Ternate, Ambon, Banggai Kepulauan, Biak, Tual, Nusa Tenggara Timur dan Jayapura.
Selain itu, ia juga menyebut jika meskipun terjadi peningkatan ekspor pada sirip ikan hiu itu, namun pihaknya tetap melakukan pengawasan ketat untuk jenis hiu yang dilindungi.
"Kita awasi secara ketat jenis hiu yang dilindungi dengan bekerja sama BPSPL Makassar," jelas Sitti.
Pengawasan lalu lintas eksportasi hiu melalui pendekatan sertifikasi dan analisa kepatuhan pelaku usaha menjadi indikator untuk mengontrol pengelolaan sumberdaya perikanan hiu di Sulawesi Selatan secara berkelanjutan.
Perikanan hiu dan pari di Indonesia tidaklah sepopuler komoditi perikanan lainnya seperti perikanan tuna, pelagis besar, pelagis kecil dan udang.
Namun demikian, jumlah produksi perikanan hiu dan pari di Indonesia merupakan yang salah satu tertinggi di dunia.
Disisi lain, karakteristik biologisnya tidak seimbang dengan pola pemanfaatannya, dimana fekunditasnya relatif rendah, usia matang seksual lama dan pertumbuhannya yang lambat.
Dengan mempertimbangkan kepentingan pemanfaatan oleh masyarakat,maka pendekatan pengelolaan yang lestari merupakan pilihan yang direkomendasikan dengan melakukan upaya konservasi dalam rangka menjaga kelestarian sumberdaya hiu-pari yang berkesinambungan.
Didorong kekhawatiran pemanfaatan hiu dan pari yang tidak terkontrol serta populasinya yang terus menurun, pada tahun 1999 negara-negara anggota PBB melalui FAO telah mengeluarkan International Plan of Action (IPOA) untuk pengelolaan hiu serta memandatkan negara-negara anggota FAO untuk mengembangkan rencana kerja untuk pengelolaan hiu di masing-masing negaranya.
Sementara itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengapresiasi kegiatan simposium nasional ini dan berharap ada aksi yang dilakukan setelah simposium tersebut.
"Saya minta kepada semua peserta simposium untuk lebih peduli dalam mensosialisasikan pentingnya hiu dan pari kepada masyarakat pesisir kita. Saya akan minta kepada restoran-restoran untuk tidak menjual kuliner hiu," imbau Susi.
"Ekspor hasil perikanan menunjukkan tren yang positif dari tahun ke tahun apalagi di Makassar pertumbuhannya itu sangat signifikan," ujar Sitti Chadijah yang dikonfirmasi, Kamis.
Dia menyatakan ekspor sirip ikan hiu selama tahun 2015 sampai 2017 mengalami peningkatan yang signifikan. Peningkatan ekspor ini dibarengi pengawasan yang ketat terutama jenis-jenis hiu yang dilindungi.
"Tiga tahun terakhir ini ekspor sirip hiu meningkat dari Sulsel. Begitu juga dengan perdagangan hasil kelautan lainnya," katanya.
Icha - sapaan akrab Sitti Chadijah menyatakan, bahan baku hasil kelautan khususnya sirip hiu itu bahan bakunya berasal dari wilayah timur Indonesia seperti Ternate, Ambon, Banggai Kepulauan, Biak, Tual, Nusa Tenggara Timur dan Jayapura.
Selain itu, ia juga menyebut jika meskipun terjadi peningkatan ekspor pada sirip ikan hiu itu, namun pihaknya tetap melakukan pengawasan ketat untuk jenis hiu yang dilindungi.
"Kita awasi secara ketat jenis hiu yang dilindungi dengan bekerja sama BPSPL Makassar," jelas Sitti.
Pengawasan lalu lintas eksportasi hiu melalui pendekatan sertifikasi dan analisa kepatuhan pelaku usaha menjadi indikator untuk mengontrol pengelolaan sumberdaya perikanan hiu di Sulawesi Selatan secara berkelanjutan.
Perikanan hiu dan pari di Indonesia tidaklah sepopuler komoditi perikanan lainnya seperti perikanan tuna, pelagis besar, pelagis kecil dan udang.
Namun demikian, jumlah produksi perikanan hiu dan pari di Indonesia merupakan yang salah satu tertinggi di dunia.
Disisi lain, karakteristik biologisnya tidak seimbang dengan pola pemanfaatannya, dimana fekunditasnya relatif rendah, usia matang seksual lama dan pertumbuhannya yang lambat.
Dengan mempertimbangkan kepentingan pemanfaatan oleh masyarakat,maka pendekatan pengelolaan yang lestari merupakan pilihan yang direkomendasikan dengan melakukan upaya konservasi dalam rangka menjaga kelestarian sumberdaya hiu-pari yang berkesinambungan.
Didorong kekhawatiran pemanfaatan hiu dan pari yang tidak terkontrol serta populasinya yang terus menurun, pada tahun 1999 negara-negara anggota PBB melalui FAO telah mengeluarkan International Plan of Action (IPOA) untuk pengelolaan hiu serta memandatkan negara-negara anggota FAO untuk mengembangkan rencana kerja untuk pengelolaan hiu di masing-masing negaranya.
Sementara itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengapresiasi kegiatan simposium nasional ini dan berharap ada aksi yang dilakukan setelah simposium tersebut.
"Saya minta kepada semua peserta simposium untuk lebih peduli dalam mensosialisasikan pentingnya hiu dan pari kepada masyarakat pesisir kita. Saya akan minta kepada restoran-restoran untuk tidak menjual kuliner hiu," imbau Susi.