Makassar, (Antaranews Sulsel) - Pascapenambangan pasir laut menggunakan kapal penyedot oleh perusahaan asal Belanda PT Royal Boskalis dan Jan De Nul diperairan laut Galesong Raya, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan untuk keperluan proyek reklamasi "Central Poin of Indonesia" (CPI), menimbulkan abrasi parah.

"Sudah abrasi di pesisir pantai Galesong Raya. Dampaknya sudah merusak pemakaman (kuburan) milik masyarakat di Desa Mangindara dan Desa Sampulungan. Dua pemakaman di desa itu terancam hilang karena abrasi pantai yang setiap bulan semakin bertambah," ungkap Koordinator Aliasi Selamatkan Pesisir (ASP) Sulsel, Muhaimin Arsenio di Makassar, Minggu.

Penambangan pasir laut itu, kata dia, memberikan dampak buruk terhadap kehidupan masyarakat pesisir dan nelayan serta keberlanjutan lingkungan hidup. Aktivitas tersebut sudah memiskinkan masyarakat pesisir dan nelayan, sebab wilayah kelola dan tangkap mereka hilang dan rusak.

"Sampai sekarang belum ada penanganan khusus dari pihak desa maupun pemerintah daerah serta pihak perusahaan pengeruk pasir laut itu (KSO Ciputra Grup) untuk memperbaiki dan mencegah agar kerusakan ini tidak meluas," ucapnya.

Berdasarkan informasi masyarakat Desa Sampulungan, Daeng Muntu (Pabe), kondisi pesisir Desa Sampulungan sudah sangat memprihatikan. Abrasi mulai terjadi bulan Desember 2017 hingga bulan November 2018, yang paling parah abrasi pesisirnya terjadi dua bulan terakhir, itu disebabkan arus ombak yang besar.

Abrasi terjadi pada saat musim hujan, dan saat masuk musim kemarau, pasir ini kembali seperti semula. Tapi sekarang usai penambangan pasir laut panjang abrasi mencapai 25-30 meter dari pesisir. Belum ada respon baik dari pemerintah desa, maupun Kabupaten, padahal kerusakan pesisir semakin melebar.

"Sudah ada tiga jasad yang sudah kelihatan. Tulang belulang dan kain kafan mayatnya kelihatan di pinggir pesisir, ini belum termasuk jasad hayut di laut. Walhi bersama warga menuntut pihak pengelola reklamasi CPI bertanggungjawab," tegas Muhaimin.

Kendati banyak jasad manusia hilang bahkan tertutupi pasir di pekuburan setempat, sejumlah pihak keluarga marah melihat kuburan neneknya rusak, tetapi apa boleh buat, mereka tidak tahu mengadukan kemana masalah tersebut. Dampak Abrasi di perairan Galesong yang terdampak di Desa Mangindara dan Desa Sampulungan. Dua pemakaman di desa itu terancam hilang karena abrasi pantai yang setiap bulan semakin bertambah pasca penambangan pasir laut untuk keperluan Reklamasi CPI Makassar. (Foto Dok Walhi Sulsel)
Kejadian serupa juga terjadi di Desa Mangindara, sebagian kuburan tertutupi pasir laut. Sehingga kuburan masyarakat pesisir belum teridentifikasi, berapa mayat yang hilang.

Pascapenambangan pasir laut itu, terdapat 22 rumah kepala keluarga (KK) di Dusun Mandi, Desa Bontomaranu hilang dan kini menjadi laut. Mereka terpaksa pindah di tanah milik pemerintah desa.

Hal tersebu terjadi akibat laju abrasi pesisir pantai sangat cepat. Panjang abrasi di desa tersebut seluas 40-50 meter dari pesisir sebelumnya.

Berdasarkan catatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulsel, terdapat 20 rumah masyarakat pesisir dan nelayan Galesong Raya tepat di desa Bontosunggu dan Desa Tamasaju rusak sedang, yang di sebabkan penambangan pasir laut yang sangat masif.

Pasir laur tersebut untuk menimbun reklamasi pesisir Makassar. Dari penambangan itu, sangat mengecewakan masyarakat yang tinggal sepanjang pesisir Galesong. Penambangan pasir laut menghilangkan mata pencarian nelayan, hingga 350 orang beralih profesi menjadi buruh bangunan, sawi, penjual ikan dan tukang ojek.

Bahkan aksi pencurian pun marak dilakukan oknum nelayan untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Pendapatan nelayan turun drastis, sebanyak 6.225 orang nelayan menjadi korban. Tujuh bulan kegiatan pengerukan pasir, selama itu nelayan menderita.

"Proyek reklamasi CPI Makassar adalah sumber masalah. Karena proyek tersebut meninggalkan bekas duka mendalam bagi masyarakat pesisir, terutama masyarakat di desa Sampulungan dan desa Mangindara. Karena tulang belulang dan kain kafan jasad manusia bertebaran di pesisir pantai," tutur staf Advokasi Walhi Sulsel itu.

Dengan melihat dampak tersebut, maka ini bisa menjadi acuan bagi Panitia Khusus DPRD Sulsel dalam menyusun Rancagan Peraturan Daerah (Ranperda) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) di Sulsel. Aturan tersebut untuk mengatur tata ruang laut, supaya mencegah terjadinya kerusakan.

Hal ini juga diperkuat, sebagaimana yang dijelaskan dalam undang-undang No. 1 tahun 2014. Pasal 35 huruf (i) disebutkan, larangan melakukan penambangan pasir pada wilayah yang apabila secara teknis, ekologis, sosial, dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya.

Kejadian itu sudah terbukti merusak dan mengorban masyarakat. Maka dengan alasan ini ASP mendesak Pansus RZWP3K, agar segera menghapus pasal-pasal yang masih mengakomodir kegiatan yang merusak lingkungan dan kehidupan masyarakat pesisir dan nelayan dalam draf RZWP3K.

"Karena penambangan pasir laut akan membawa dampak bencana ekologis bagi masyarakat pesisir dan nelayan. Seharusnya Ranperda itu nantinya memberikan kepastian hukum dan ruang bagi masyarakat pesisir untuk mengelolah laut," ujar dia, berharap.

Pewarta : M Darwin Fatir
Editor : Daniel
Copyright © ANTARA 2024