Makassar (Antaranews Sulsel) - Komisi E DPRD Provinsi Sulawesi Selatan di gedung dewan setempat kembali membahas penanganan pengungsi Rohingya, Myanmar yang berharap bisa mendapatkan suaka di negara ketiga.

"Kami mengingikan segera diberikan kepastian kapan diberangkatkan, atau bisa diberikan status di sini agar kami juga bisa bekerja menghidupi keluarga. Sudah 11 tahun kami di Makassar tapi tidak ada kejelasan," papar perwakilan pengungsi Rohingya, Nur Islam, di Makassar, Senin.

Sementara Ketua Forum Umat Islam Bersatu (FUIB) Makassar Muchtar Daeng Lau mengatakan dalam pertemuan tersebut meminta DPRD Sulsel sebagai representasi rakyat membantu mereka untuk dicarikan jalan keluar dari persoalan itu.

"DPRD dan Pemerintah Provinsi harus jelas dan bisa membantu mereka dengan mendesak UNHCR memberangkatkan ke negara ketiga, karena sudah puluhan tahun mereka disini tanpa kejelasan dan harus mengikuti aturan salah satunya dilarang bekerja dan keluar malam," beber dia.

Selain itu, bila kedapatan keluar malam akan ditangkap imigrasi dan ditahan di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Makassar hingga berhari-hari. Wisma mereka juga terus mendapat pengawasan, sehingga mendapat intimidasi hingga unsur dugaan pelanggaran HAM disana.

Kepala Rumah Detensi Imigasi (Rudenim) Makassar, Boedi Priyotno dalam pertemuan Rapat Dengar Pendapat (RDP) tersebut menjelaskan terkait dengan penanganan rohingya untuk mencari suaka di negara ketiga itu merupakan wewenang UNHCR, sementara imigrasi bersifat mengawasi.

Selain itu dalam pasal 26, Peraturan Presiden (Pepres) nomor 125 tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Dari Luar Negeri, Imigrasi telah menyiapkan rumah penampungan. Bagi yang melanggar aturan, pengungsi dikenakan sanksi dengan dikembalikan ke Rudenim.

"Kami sangat prihatin pengungsi Rohingnya belum diberangkatkan. Untuk keberangkatan itu urusan dari UNHCR sebagai organsasi menangani pengungsi, kami tidak punya kewenangan. Kalau pengawasan itu urusan Imigrasi termasuk menahan mereka melanggar aturan," katanya.

Tidak hanya itu, mengenai dengan tuntutan status bagi para pengungsi untuk mendapat hak kewarganegaraan di Indonesia, kata dia, tidak mungkin bisa dilakukan. Sebab Undang-undang nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia sudah mengatur.

"Kalau mau mereka mendapatkan status kewarganegaraan maka rubah dulu Undang-undang, tidak boleh ada aturan lain sebelum Undang-undang itu berubah. Indonesia juga belum ikut Ratifikasi Konvensi Jenewa terkait pengungsi, jadi mustahil," ungkap Boedi.

Dia meluruskan bahwa Rudinem bukanlah tahanan, tapi rumah bagi para pengungsi melakukan kesalahan dan pelanggaran. Pengungsi ini dikembalikan ke tempatnya setelah sadar betul apa yang telah di perbuat. Bila tidak ada mengawasi bisa fatal nanti.

Perwakilan Protection Associate UNHCR, Yance Tamala menanggapi, untuk kepastian keberangkatan pengungsi terus diupayakan semaksimal mungkin, hanya saja tahun ini kouta semakin sedikit diberikan. Selain itu jumlah pengungsi tidak sesuai dengan negara ketiga.

"Perlu diketahui penempatan negara ketiga bukan sebagai suatu hak pengungsi, sebab mereka lari dari persekusi dari negara mereka. UNHCR masuk untuk mencarikan suaka bagi mereka. Kami terus berusaha melobi negara lain agar mereka diterima," katanya.

Ketua Komisi E DPRD Sulsel Kadir Halid menyebutkan untuk pengungsi khusus Rohingya di Makassar tercatat 112 orang, sebagian sudah tinggal beberapa tahun, bahkan sudah ada 20 orang sudah kawin siri dengan warga Makassar.

"Ini yang menjadi persoalan bagiaman nasib anak-anak mereka, statusnya bagaimana? Hasil rapat kali ini meminta UNHCR segera mencarikan jalan keluar mengirim ke negara ketiga, sebab aturan kita sudah jelas. Dan Pemprov Sulsel diminta tetap memperhatikan mereka," tambahnya.

Pewarta : M Darwin Fatir
Editor : Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2024