OLEH : Suriani Mappong

Makassar (ANTARA Sulsel) - Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) yang memosisikan diri sebagai pintu gerbang Kawasan Timur Indonesia (KTI), sejak masa Orde Baru mendapat label sebagai daerah penyangga pangan nasional dengan rata-rata surplus beras 1,5 juta ton per tahun.

Sektor perberasan Sulsel yang diakui dari segi kuantitas dan kualitas baik secara nasional maupun internasional, telah memicu Gubernur Sulsel H Syahrul Yasin Limpo mematok target 2009 lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya yakni dua juta ton surplus beras dari target produksi sekitar tiga juta ton.

"Target tersebut dapat saja dicapai Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulsel, jika semua pihak bersinergi satu sama lain," kata Ketua Kelompok Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Sulsel Rahman Daeng Tayang di Makassar baru-baru ini.

Persoalan lainnya yang dihadapi petani pada musim tanam dan sudah menjadi siklus tahunan adalah kelangkaan pupuk di pasaran. Akibatnya, banyak petani yang telat memberikan pupuk, bahkan pemberian pupuknya sudah tidak menggunakan pola yang berimbang.

Sementara itu, Gubernur Sulsel H Syahrul Yasin Limpo dalam upaya menarik investor ke bumi "Anging Mammiri" ini, telah berjanji akan memberikan sejumlah kemudahan, termasuk berupaya membebaskan 'tax holiday' bagi para investor yang menanamkan sahamnya untuk pengembangan sektor komoditi unggulan, termasuk sektor perberasan.

Menurut dia, sejumlah komoditi andalan daerah ini, seperti beras telah menjadi komsumsi nasional, sekaligus berpotensi untuk pangsa pasar dunia.

"Peluang ekspor pasar beras Sulsel sangat besar, karena itu sejak dulu Pemprov Sulsel meminta kepada pemerintah pusat agar membuka kran eskpor beras, sehingga petani di daerah ini juga dapat menikmati harga yang pantas dari hasil produksinya," katanya.

Berkaitan dengan hal tersebut, dicanangkanlah target ekspor beras Sulsel 100 ribu ton untuk memenuhi kebutuhan pasar luar negeri, khususnya Malaysia yang merupakan negara tetangga terdekat.

Hanya saja pengiriman beras ke luar negeri lewat pintu pemerintah yakni Perum Bulog Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat (Sulselbar) masih sulit direalisasikan. Termasuk untuk menyerap produksi petani di lapangan yang pada pertengahan Desember 2009 baru mencapai 433 ribu ton dari prognosa 450 ribu ton beras.

Padahal, prognosa 2009 itu pun sudah direvisi dari 600 ribu ton, kemudian diturunkan menjadi 500 ribu ton dan terakhir menjadi 450 ribu ton.

"Harga beras di pasaran cukup kompetitif, sehingga hanya sebagian petani yang menjual produksinya ke Bulog dan sebagian lagi memilih menjual kepada pedagang antarpulau," kata Humas Perum Bulog Sulselbar Umar Said.

Lebih jauh dia menjelaskan, keberadaan Bulog salah satu fungsinya untuk menjadi penetralisir harga beras, jika terjadi kenaikan harga yang tidak wajar di pasaran. Upaya itu melalui operasi pasar (OP) untuk melindungi masyarakat.

Sementara itu, Kepala Bidang Perdagangan Luar Negeri Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Sulsel Achmad Habib mengatakan, komoditi beras Sulsel sebenarnya sangat potensial untuk pasar mancanegara.

"Namun, kebijakan pemerintah pusat masih memposisikan produksi pangan daerah ini sebagai stok pangan nasional yang sewaktu-waktu siap dikirim ke daerah minus pangan," ujarnya.

Menurut dia, apabila beras Sulsel diekspor ke Malaysia misalnya dengan harga jual di negara itu Rp10 ribu per liter, sementara di Sulsel hanya Rp5 ribu per liter, tentu selisih harga itu akan memberikan implikasi positif pada pendapatan petani.

Kalaupun posisi Sulsel harus tetap menjadi penyangga pangan nasional, katanya, semestinya mendapat perlakuan khusus atau insentif yang pada akhirnya dapat dinikmati para petani.


Masih Rawan Pangan



Meskipun Sulsel berlabel sebagai daerah penyangga pangan nasional, namun berdasarkan data Nutrition Map of Indonesia, masih ada sekitar 1.185.000 atau 15,2 persen dari delapan juta lebih total penduduk Sulawesi Selatan (Sulsel) yang masih rawan pangan.

Menurut Kepala Badan Ketahanan Pangan Sulsel Kasim Alwi, masalah rawan pangan ini, juga terkait dengan masalah gizi kurang dan gizi buruk yang dialami anak bawah usia lima tahun (balita).

Hal itu diperkuat dengan data Dinas Kesehatan Sulsel bahwa pada periode 2007 terdapat kasus gizi kurang sebanyak 4,74 persen dan gizi buruk 1,89 persen dari total populasi balita 239.364 orang.

Fenomena itu sungguh ironis karena dapat dianalogikan ayam kelaparan hingga mati di lumbung pangan. Kondisi inilah yang perlu dijawab oleh para pihak terkait, khususnya pemerintah setempat sebagai pengambil kebijakan.

Apalagi pada 2010, Sulsel seperti halnya daerah dan negara lainnya, mau tidak mau harus siap menerima era perdagangan bebas.

Mampukah Sulsel bertahan sebagai penyangga pangan nasional di balik kasus rawan pangan dan harga beras lokal yang relatif murah dibandingkan pasar mancanegara, sementara peluang ekspor terbuka sedemikian luas?

(S036/H-KWR)



Pewarta :
Editor :
Copyright © ANTARA 2024