Banjarmasin (ANTARA) - Pepatah lama Bugis mengatakan, seorang perempuan belum lengkap jika ia belum bisa menenun dan mengajar perempuan lain untuk menenun.

Kearifan budaya ini masih terjaga di wilayah Pagatan di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, ribuan kilometer dari tanah leluhur suku Bugis di Sulawesi Selatan.

Perempuan Bugis di Pagatan masih terampil menenun. Keberadaan tenun Pagatan menunjukkan kemauan kuat mereka untuk menjaga ketrampilan yang diturunkan oleh para leluhur serta menjaga identitas mereka sebagai suku Bugis.

Bayani dan Noorhayani adalah sedikit diantara perempuan Bugis di Desa Manurung, Kabupaten Tanah Bumbu yang masih mempertahankan budaya menenun ini.

Bahkan Bayani masih tetap bertahan menggunakan alat tenun tradisional "gedog" yang terbuat dari kayu, dan menolak untuk beralih menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM).

"Bisa dilihat hasilnya, jauh lebih halus menggunakan gedog dibandingkan dengan ATBM," kata perempuan berusia 60 tahun itu sambil menunjukkan hasil karyanya yang masih setengah jadi bermotif burung merak.

Butuh waktu 20 hari untuk menyelesaikan selembar kain tenun Pagatan berukuran 65 cm x 4 meter jika menggunakan alat tenun gedog. Itupun, mereka hanya bisa mengaplikasikan dua warna saja.

Berbeda dengan ATBM, penenun hanya memerlukan waktu 1-2 hari saja untuk menyelesaikan selembar kain tenun berukuran 1 x 2 meter.

Seorang penenun lain Noorhayani (40) mengatakan, dia berusaha mempertahankan teknik menenun yang diajarkan nini (nenek) dan kai (kakek) sejak kecil.

"Saya mendapatkan ilmu menenun dari kakek. Saya belajar mendesain kain tenun dari nenek. Sejak kecil suka melihat nenek mendesain," katanya.

Noorhayani bertugas mendesain kain, mengikat benang sesuai pola dan mencelupnya untuk memberi warna, serta memasukkannya ke dalam alat tenun bernama sisir, sebelum kemudian ia menyerahkan bahan tersebut ke penenun untuk diselesaikan menjadi selembar kain.

Dia mempunyai empat penenun dalam kelompoknya, termasuk Bayani, meskipun seringkali hanya dua penenun yang bekerja, terutama di saat musim panen tiba.

Selembar kain tenun Pagatan dijual dengan harga Rp200 ribu hingga Rp800 ribu tergantung motif dan bahannya. Harga kain yang dibuat dengan alat gedog lebih mahal dibandingkan dengan produksi ATBM.

Selain motif traditional seperti ombak, penenun juga membuat desain sesuai permintaan pemesan ataupun tren yang tengah berkembang. Pelanggan bisa memilih bahan untuk kain, seperti katun atau sutera.

Karena Bayani dan Noorhayani masih bertahan untuk menggunakan gedog, sangat sulit bagi mereka untuk menerima pesanan kain dalam jumlah banyak sekaligus.

Noorhayani menceritakan, beberapa tahun lalu ia pernah menerima pesanan sebanyak 150 lembar kain tenun Pagatan untuk seragam PNS. Pesanan tersebut baru bisa diselesaikannya setelah satu tahun, itupun ia mengerjakan secara keroyokan dengan kelompok penenun lain di desanya.

"Biarpun sudah dikerjakan secara keroyokan oleh seluruh penenun di desa ini, baru satu tahun orderan itu selesai dikerjakan," katanya.
  Perajin menyelesaikan pembuatan kain tenun Pagatan di Desa Manurung, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, Kamis (27/6/2019). Provinsi Kalsel selain mempunyai kain Sasirangan juga mempunyai kain tenun Pagatan yang menjadi kain khas di Kabupaten Tanah Bumbu dengan harga jual mulai Rp200 ribu-Rp800 ribu per helai kain. ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/wsj.

Migrasi suku Bugis

Keberadaan kain tenun Pagatan sangat erat kaitannya dengan kehadiran suku Bugis yang terkenal merupakan pelaut tangguh, di Kecamatan Kusan Hilir, Kabupaten Tanah Bumbu.

Para pedagang Bugis Wajo dari Sulawesi Selatan tiba di Pagatan pada tahun 1735 dipimpin oleh Puanna Dekke. Mereka berlayar meninggalkan tanah leluhurnya untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Oleh Sultan Banjar ketika itu, mereka diberi izin untuk mendirikan kerajaan, setelah Puanna Dekke bisa menjamin keamanan perairan Pagatan dari gangguan bajak laut.

Kawasan itu diberi nama Kampoeng Pegattang (dari kata Pemagatan atau memotong rotan), dan kemudian berubah menjadi Pagatan.

Meskipun sudah lama tinggal di Pagatan, warga Bugis masih mempertahankan gaya hidup seperti di tanah asal mereka, termasuk cara berpakaian, bahasa maupun upacara adat seperti Mappanretasi atau pesta laut.

Ketika dulu bermigrasi ke Kalimantan Selatan, para perempuan tidak lupa untuk membawa serta peralatan tenun atau gedog.

Di masa lalu, mereka hanya menenun untuk membuat sarung yang merupakan bagian dari baju adat Bugis.

Agar produk budaya ini tetap bisa bertahan dan bersaing dengan produk tekstil lain, Pemerintah Kabupaten Tanah Bumbu mendorong para penenun untuk mengembangkan tenun Pagatan menjadi kain yang bisa dipakai untuk berbagai model fesyen, bukan hanya sarung.

Pemerintah setempat juga meminta pegawai negeri sipil untuk mengenakan baju berbahan tenun Pagatan di setiap hari Kamis, dalam upayanya mempromosikan kain tradisional yang sudah mendapatkan sertifikat Warisan Budaya Tak Benda dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Langkah tersebut juga dimaksudkan untuk mendorong terciptanya lebih banyak penenun di kawasan tersebut, terutama generasi muda.

Seperti yang dikatakan Noorhayani, anak-anak perempuan dalam keluarganya sudah enggan belajar menenun. "Mereka lebih memilih bekerja di toko daripada menjadi penenun," katanya.

Menurut dia, saat ini di desanya hanya ada lima pendesain tenun yang masing-masing memiliki 2 hingga 4 penenun, sebagian besar ibu-ibu yang sudah berumur.

Pamor tenun Pagatan kembali naik ketika Presiden Joko Widodo mengenakan kain tersebut pada tahun 2017 saat menghadiri upacara Mappanretasi, pesta laut sebagai tanda syukur kepada Tuhan.

Presiden kembali mengenakan kain tradisional Pagatan tersebut saat memimpin upacara peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia pada Agustus 2017 di Jakarta.

Namun demikian, Bupati Tanah Bumbu H. Sudian Noor mengatakan, upaya untuk mengembangkan produk tradisional tersebut masih terhalang oleh kemampuan penenun untuk menjaga konsistensi kualitas produk.

"Kalau mau berkembang, ya penenun harus bisa meningkatkan dan menjaga kualitas," katanya.
 

Pewarta : Sri Haryati
Editor : Amirullah
Copyright © ANTARA 2024