Jakarta (ANTARA) - Badan Standardisasi Nasional (BSN) menetapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) sistem peringatan dini bencana 8840-1:2019 dalam upaya untuk menanggulangi dan mengurangi dampak dan jatuhnya korban jiwa akibat bencana.
SNI 8840-1:2019 menjadikan otoritas lokal, tim siaga, dan masyarakat memiliki kesamaan pengertian dan mempunyai panduan yang baku dalam menangkap peringatan dini sehingga semua bisa bergerak secara bersama-sama mengantisipasi dampak bencana.
"Sistem peringatan dini bencana ditujukan untuk memberdayakan individu-individu dan masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana agar bisa melakukan antisipasi bencana sesuai arahan otoritas lokal maupun tim siaga bencana. Peningkatan kesiapsiagaan tersebut penting dilakukan secara terus menerus dengan maksud untuk mengurangi dampak dan risiko korban jiwa akibat terjadinya bencana," kata Direktur Pengembangan Standar Infrastruktur, Penilaian Kesesuaian, Personal, dan Ekonomi Kreatif BSN Hendro Kusumo dalam keterangan tertulis yang diterima ANTARA, Jakarta, Selasa.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Strategi Internasional Pengurangan Risiko Bencana (UN-ISDR /United Nations Office for Disaster Risk Reduction/UNISDR), Indonesia merupakan negara yang paling rawan terhadap bencana di dunia. Tingginya posisi Indonesia ini dihitung dari jumlah korban jiwa yang terdampak akibat bencana alam. Pada awal tahun 2020, telah terjadi 13 kejadian bencana di Indonesia, salah satunya bencana banjir di wilayah Jakarta, Banten, dan Jawa Barat dengan 169 titik banjir di seluruh wilayah Jakarta, Banten, dan Jawa Barat. Sebagai dampak dari banjir itu, terdapat 27.971 warga mengungsi dengan jumlah korban 61 orang.
SNI 8840-1:2019 dirumuskan agar dapat digunakan sebagai pedoman dalam penerapan sistem peringatan dini bencana di kawasan rawan bencana.
SNI ini akan menjadi acuan bagi otoritas lokal seperti rukun tetangga, rukun warga, kelurahan; tim siaga bencana serta masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana untuk bisa memberi dan atau menangkap adanya peringatan dini bencana serta menentukan langkah-langkah antisipasi.
Tim siaga bencana akan mendorong dan melakukan upaya pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, penanganan darurat, dan penanganan pasca bencana.
Tim siaga bencana sebaiknya terdiri dari individu-individu dengan pengetahuan tentang daerah rawan bencana, pengelolaan data dan informasi, peringatan dini dan sistem evakuasi, kesehatan, logistik, dan keamanan.
Tim siaga juga harus memahami sistem peringatan dini bencana yang terdiri atas lima sub-sistem utama yaitu pengetahuan tentang risiko; diseminasi dan komunikasi; pemantauan dan penyampaian peringatan; kemampuan merespon; serta membangun komitmen dalam pengoperasian dan pemeliharaan.
Tim siaga bencana akan bertugas untuk melakukan seluruh kegiatan antara lain menentukan daerah risiko bencana, tempat evakuasi, dan jalur evakuasi; mengarahkan, menyiapkan, dan melatih masyarakat; serta mengatur desain-pemasangan-operasional-pemeliharaan sistem peringatan dini.
"Masyarakat harus mengikuti instruksi dan panduan dari tim siaga bencana, terutama kemampuan merespon. Dan juga, masyarakat harus mengikuti denah dan jalur evakuasi, panduan operasional evakuasi dan tak lupa ikut serta secara aktif dalam latihan evakuasi," ujar Hendro.
Tim siaga bencana dan atau otoritas akan melakukan pemasangan alat peringatan dini yang diprioritaskan pada daerah dengan sumber ancaman berisiko paling tinggi dan potensi dampak jiwa terpapar yang paling besar. Alat peringatan dini disesuaikan dengan jenis atau tipe bencana yang mengancam suatu wilayah. Pengamatan data dari alat peringatan dini dilakukan secara regular; dan perawatan alat peringatan dini dilakukan secara berkelanjutan.
Kemudian, hasil pemantauan itu dianalisis oleh instansi yang berwenang, selanjutnya dilaporkan kepada pemerintah atau pemerintah daerah untuk disampaikan dalam bentuk peringatan atau perintah evakuasi kepada masyarakat.
SNI 8840-1:2019 menjadikan otoritas lokal, tim siaga, dan masyarakat memiliki kesamaan pengertian dan mempunyai panduan yang baku dalam menangkap peringatan dini sehingga semua bisa bergerak secara bersama-sama mengantisipasi dampak bencana.
"Sistem peringatan dini bencana ditujukan untuk memberdayakan individu-individu dan masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana agar bisa melakukan antisipasi bencana sesuai arahan otoritas lokal maupun tim siaga bencana. Peningkatan kesiapsiagaan tersebut penting dilakukan secara terus menerus dengan maksud untuk mengurangi dampak dan risiko korban jiwa akibat terjadinya bencana," kata Direktur Pengembangan Standar Infrastruktur, Penilaian Kesesuaian, Personal, dan Ekonomi Kreatif BSN Hendro Kusumo dalam keterangan tertulis yang diterima ANTARA, Jakarta, Selasa.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Strategi Internasional Pengurangan Risiko Bencana (UN-ISDR /United Nations Office for Disaster Risk Reduction/UNISDR), Indonesia merupakan negara yang paling rawan terhadap bencana di dunia. Tingginya posisi Indonesia ini dihitung dari jumlah korban jiwa yang terdampak akibat bencana alam. Pada awal tahun 2020, telah terjadi 13 kejadian bencana di Indonesia, salah satunya bencana banjir di wilayah Jakarta, Banten, dan Jawa Barat dengan 169 titik banjir di seluruh wilayah Jakarta, Banten, dan Jawa Barat. Sebagai dampak dari banjir itu, terdapat 27.971 warga mengungsi dengan jumlah korban 61 orang.
SNI 8840-1:2019 dirumuskan agar dapat digunakan sebagai pedoman dalam penerapan sistem peringatan dini bencana di kawasan rawan bencana.
SNI ini akan menjadi acuan bagi otoritas lokal seperti rukun tetangga, rukun warga, kelurahan; tim siaga bencana serta masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana untuk bisa memberi dan atau menangkap adanya peringatan dini bencana serta menentukan langkah-langkah antisipasi.
Tim siaga bencana akan mendorong dan melakukan upaya pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, penanganan darurat, dan penanganan pasca bencana.
Tim siaga bencana sebaiknya terdiri dari individu-individu dengan pengetahuan tentang daerah rawan bencana, pengelolaan data dan informasi, peringatan dini dan sistem evakuasi, kesehatan, logistik, dan keamanan.
Tim siaga juga harus memahami sistem peringatan dini bencana yang terdiri atas lima sub-sistem utama yaitu pengetahuan tentang risiko; diseminasi dan komunikasi; pemantauan dan penyampaian peringatan; kemampuan merespon; serta membangun komitmen dalam pengoperasian dan pemeliharaan.
Tim siaga bencana akan bertugas untuk melakukan seluruh kegiatan antara lain menentukan daerah risiko bencana, tempat evakuasi, dan jalur evakuasi; mengarahkan, menyiapkan, dan melatih masyarakat; serta mengatur desain-pemasangan-operasional-pemeliharaan sistem peringatan dini.
"Masyarakat harus mengikuti instruksi dan panduan dari tim siaga bencana, terutama kemampuan merespon. Dan juga, masyarakat harus mengikuti denah dan jalur evakuasi, panduan operasional evakuasi dan tak lupa ikut serta secara aktif dalam latihan evakuasi," ujar Hendro.
Tim siaga bencana dan atau otoritas akan melakukan pemasangan alat peringatan dini yang diprioritaskan pada daerah dengan sumber ancaman berisiko paling tinggi dan potensi dampak jiwa terpapar yang paling besar. Alat peringatan dini disesuaikan dengan jenis atau tipe bencana yang mengancam suatu wilayah. Pengamatan data dari alat peringatan dini dilakukan secara regular; dan perawatan alat peringatan dini dilakukan secara berkelanjutan.
Kemudian, hasil pemantauan itu dianalisis oleh instansi yang berwenang, selanjutnya dilaporkan kepada pemerintah atau pemerintah daerah untuk disampaikan dalam bentuk peringatan atau perintah evakuasi kepada masyarakat.