Jakarta (ANTARA) - Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigjen Pol Awi Setiyono menjelaskan soal ketidakhadiran Divisi Hukum Polri dalam sidang gugatan praperadilan yang diajukan tersangka kasus ujaran kebencian Ruslan Buton.
"Perihal ketidakhadiran dari kuasa Polri dalam persidangan gugatan praperadilan RB (Ruslan Buton) karena tim kuasa hukum Polri masih melengkapi administrasi kelengkapan sidang dan masih menyusun materi untuk persidangan," kata Brigjen Awi di Kantor Bareskrim Polri, Jakarta, Kamis.
Awi menegaskan Polri sangat menghargai proses praperadilan tersebut dan sudah mengkoordinasikan ketidakhadiran Divisi Hukum Polri kepada pihak-pihak terkait.
Menurut dia, Divisi Hukum Polri akan hadir di sidang berikutnya yang dijadwalkan akan dilaksanakan pada Rabu (17/6) pekan depan. "Nanti bila seluruh berkas sudah lengkap, tim kuasa Polri akan hadir," ujarnya.
Tersangka Ruslan Buton melalui kuasa hukumnya, Tonin Tachta Singarimbun melayangkan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, terkait penetapan tersangka Ruslan yang dinilai tidak sah.
Tonin beralasan kliennya belum pernah diperiksa dan penyidik juga dianggap belum memiliki minimal dua alat bukti untuk menetapkan Ruslan Buton sebagai tersangka.
Yang digugat pihak Ruslan dalam praperadilan yakni Kapolri, Kabareskrim dan Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri.
Sidang perdana praperadilan penetapan tersangka Ruslan Buton seharusnya digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Rabu (10/6). Namun, sidang ditunda karena pihak termohon yakni Divisi Hukum Polri tidak hadir.
Tonin pun menyayangkan ketidakhadiran Polri sehingga sidang diundur. Menurut Tonin, Polri sebagai penegak hukum seharusnya menaati hukum dengan menghadiri sidang praperadilan yang ditempuh oleh tersangka.
"Artinya masyarakat disuruh menghargai hukum, ternyata mereka tidak menghargai hukum dengan tidak datang praperadilan," imbuh Tonin.
Sebelumnya, tim Bareskrim Polri bersama Polda Sultra dan Polres Buton menangkap Ruslan alias Ruslan Buton di Jalan Poros, Pasar Wajo Wasuba, Dusun Lacupea, Desa Wabula 1, Kecamatan Wabula, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara pada Kamis (28/5).
Dalam kasus ini, barang bukti yang disita polisi yakni satu ponsel pintar dan sebuah KTP milik Ruslan.
Bareskrim Polri kemudian menetapkan Ruslan Buton sebagai tersangka dalam kasus penyebaran informasi hoaks dan ujaran kebencian terkait surat terbuka yang meminta Joko Widodo untuk mundur dari jabatannya sebagai Presiden RI.
Ruslan pun langsung ditahan di Rutan Bareskrim per Jumat (29/5) selama 20 hari hingga 17 Juni 2020.
Ruslan dijerat dengan Pasal 14 ayat (1) dan (2) dan atau Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang dilapis dengan Pasal 28 ayat (2) UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan ancaman pidana enam tahun dan atau Pasal 207 KUHP, dapat dipidana dengan ancaman penjara dua tahun.
Ruslan ditangkap setelah membuat pernyataan terbuka kepada Presiden Joko Widodo dalam bentuk rekaman suara pada 18 Mei 2020 dan kemudian rekaman suara itu menjadi viral di media sosial.
Dalam rekamannya, Ruslan mengkritisi kepemimpinan Jokowi. Menurut Ruslan, solusi terbaik untuk menyelamatkan bangsa Indonesia adalah bila Jokowi rela mundur dari jabatannya sebagai Presiden.
"Perihal ketidakhadiran dari kuasa Polri dalam persidangan gugatan praperadilan RB (Ruslan Buton) karena tim kuasa hukum Polri masih melengkapi administrasi kelengkapan sidang dan masih menyusun materi untuk persidangan," kata Brigjen Awi di Kantor Bareskrim Polri, Jakarta, Kamis.
Awi menegaskan Polri sangat menghargai proses praperadilan tersebut dan sudah mengkoordinasikan ketidakhadiran Divisi Hukum Polri kepada pihak-pihak terkait.
Menurut dia, Divisi Hukum Polri akan hadir di sidang berikutnya yang dijadwalkan akan dilaksanakan pada Rabu (17/6) pekan depan. "Nanti bila seluruh berkas sudah lengkap, tim kuasa Polri akan hadir," ujarnya.
Tersangka Ruslan Buton melalui kuasa hukumnya, Tonin Tachta Singarimbun melayangkan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, terkait penetapan tersangka Ruslan yang dinilai tidak sah.
Tonin beralasan kliennya belum pernah diperiksa dan penyidik juga dianggap belum memiliki minimal dua alat bukti untuk menetapkan Ruslan Buton sebagai tersangka.
Yang digugat pihak Ruslan dalam praperadilan yakni Kapolri, Kabareskrim dan Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri.
Sidang perdana praperadilan penetapan tersangka Ruslan Buton seharusnya digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Rabu (10/6). Namun, sidang ditunda karena pihak termohon yakni Divisi Hukum Polri tidak hadir.
Tonin pun menyayangkan ketidakhadiran Polri sehingga sidang diundur. Menurut Tonin, Polri sebagai penegak hukum seharusnya menaati hukum dengan menghadiri sidang praperadilan yang ditempuh oleh tersangka.
"Artinya masyarakat disuruh menghargai hukum, ternyata mereka tidak menghargai hukum dengan tidak datang praperadilan," imbuh Tonin.
Sebelumnya, tim Bareskrim Polri bersama Polda Sultra dan Polres Buton menangkap Ruslan alias Ruslan Buton di Jalan Poros, Pasar Wajo Wasuba, Dusun Lacupea, Desa Wabula 1, Kecamatan Wabula, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara pada Kamis (28/5).
Dalam kasus ini, barang bukti yang disita polisi yakni satu ponsel pintar dan sebuah KTP milik Ruslan.
Bareskrim Polri kemudian menetapkan Ruslan Buton sebagai tersangka dalam kasus penyebaran informasi hoaks dan ujaran kebencian terkait surat terbuka yang meminta Joko Widodo untuk mundur dari jabatannya sebagai Presiden RI.
Ruslan pun langsung ditahan di Rutan Bareskrim per Jumat (29/5) selama 20 hari hingga 17 Juni 2020.
Ruslan dijerat dengan Pasal 14 ayat (1) dan (2) dan atau Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang dilapis dengan Pasal 28 ayat (2) UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan ancaman pidana enam tahun dan atau Pasal 207 KUHP, dapat dipidana dengan ancaman penjara dua tahun.
Ruslan ditangkap setelah membuat pernyataan terbuka kepada Presiden Joko Widodo dalam bentuk rekaman suara pada 18 Mei 2020 dan kemudian rekaman suara itu menjadi viral di media sosial.
Dalam rekamannya, Ruslan mengkritisi kepemimpinan Jokowi. Menurut Ruslan, solusi terbaik untuk menyelamatkan bangsa Indonesia adalah bila Jokowi rela mundur dari jabatannya sebagai Presiden.