Makassar (ANTARA) - Tanaman eceng gondok merupakan salah satu gulma yang ternyata juga bernilai ekonomis, meskipun belum banyak yang memberdayakannya di Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan. Potensi ekonomisnya seakan terabaikan.

Salah satu pihak yang telah menyadari manfaat ekonomis eceng gondok yakni pengurus Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kota Makassar. Itu pun baru memulai memberdayakan potensi eceng gondok pada 2015.

Pengurus Dekranasda melihat eceng gondok cukup banyak di sejumlah waduk seperti di Borong, Kecamatan Manggala, Kota Makassar. Namun, warga sekitar belum memanfaatkanya.

"Awalnya itu karena banyaknya eceng gondok yang tumbuh di waduk Kota Makassar, sehingga muncul ide untuk mengembangkan eceng gondok menjadi sebuah kerajinan,” ujar Mimi Putrati, selaku pengurus Dekranasda Kota Makassar yang membidangi pengembangan produk.

Eceng gondok adalah salah satu jenis tumbuhan air yang mengapung dan ada yang berakar dalam tanah. Tingginya sekitar 0,4 - 0,8 meter. Tidak mempunyai batang. Daunnya tunggal dan berbentuk oval. Ujung dan pangkalnya meruncing, pangkal tangkai daun menggelembung. Permukaan daunnya licin dan berwarna hijau.

Bunganya termasuk bunga majemuk, berbentuk bulir, kelopaknya berbentuk tabung. Bijinya berbentuk bulat dan berwarna hitam. Buahnya kotak beruang tiga dan berwarna hijau. Akarnya merupakan akar serabut.
  Dua orang pengrajin anyaman dari bahan baku eceng gondok, di Kelurahan Mannuruki, Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, yang ditemui pada Kamis (16/7). (ANTARA/HO/Ramona)

Eceng gondok memiliki kecepatan tumbuh yang tinggi sehingga tumbuhan ini dianggap sebagai gulma yang dapat merusak lingkungan perairan.

Gulma air ini bisa menyebabkan air danau dan sungai mengering. Selain itu, bangkai tanaman ini menyebabkan endapan yang cukup tinggi di dasar danau dan mempercepat pendangkalan.

Meskipun enceng gondok sangat mengganggu perairan, namun manfaat dari tumbuhan ini sangat banyak, salah satunya sebagai kerajinan anyaman.


Pemberdayaan masyarakat

Pengurus Dekranasda mengawali usaha pengembangan eceng gondok dengan survei atau peninjauan langsung ke lapangan guna mengetahui potensi ketersediaan bahan baku untuk kerajinan anyaman.

Selain itu, mereka melakukan studi banding ke pusat kerajinan anyaman dari bahan baku eceng gondok di Yogyakarta,  untuk mengetahui tata cara pembuatannya, termasuk teknis pengambilan bahan baku dari permukaan air.  

Selanjutnya, dengan berbekal pengetahuan studi banding, Tim Dekranasda Kota Makassar kemudian memulai usaha kerajinan anyaman, yang melibatkan warga setempat.

Pendaftaran calon anggota kelompok pengrajin eceng gondok dilakukan dan awalnya diminati oleh 150 orang yang berasal dari berbagai kecamatan di Kota Makassar. Selanjutnya, diseleksi hingga menghasilkan 53 orang yang diyakini mampu terlibat dalam usaha kerajinan eceng gondok tersebut.
  Kerajinan anyaman berbahan baku eceng gondok di Kelurahan Mannuruki, Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, Sulsel. Foto diambil Kamis (16/7). (ANTARA/HO/Novita Sari)
Seiring dengan waktu, dari 53 orang tersebut kini tersisa 10 orang, yang kemudian dibagi menjadi dua kelompok masing-masing beranggotakan lima orang.  

“Jumlah pendaftar sekitar 150 orang, lalu mereka diseleksi dengan melihat bakat dan keterampilan para peserta dalam membuat kerajinan, setelah terpilih maka kita bentuk perkelompok yang tinggalnya berdekatan agar lebih memudahkan,” ujar Mimi.

Dengan terbentuknya kelompok tersebut, Dekranasda Kota Makassar lalu mengundang instruktur dari Yogyakarta guna memberikan pelatihan tentang menganyam eceng gondok pada para pengrajin selama lima hari.

Namun, tidaklah mudah membuat anyaman dari enceng gondok tersebut. Para peserta butuh waktu 1 sampai 2 tahun untuk membuat anyaman yang layak untuk dipasarkan.

Cara membuat anyaman eceng gondok dimulai dengan menjemur eceng gondok, setelah kering enceng gondok kemudian dipres dan digunting sedikit lurus. Kemudian menganyam dan terakhir pengemasan.

Hasil dari kerajinan enceng gondok berupa tas, sendal, bantal kursi, kursi dan berbagai perabot rumah tangga lainnya. Dengan kisaran harga mulai dari Rp5 ribu sampai Rp750 ribu.

Mulanya kerajinan dari eceng gondok ini belum dikenal oleh masyarakat di Kota Makassar, sehingga produk tersebut ditawarkan ke Pemerintah Daerah (Pemda), bagian wisata, dan bidang Industri.

Seiring berjalannya waktu, kerajinan ini sedikit demi sedikit mulai dikenal orang, banyak turis dari mancanegara yang datang ke pameran yang dilakukan di Dekranasda Kota Makassar.

“saya berharap kedepannya banyak orang lagi yang mau menjadi pengrajin eceng gondok, supaya dapat memudahkan dalam membuat anyaman serta menambah persediaan alat agar sebanding tenaga dan orderan,” ujar Ijeng, selaku ketua pengrajin Kelurahan Mannuruki, Kecamatan Tamalate.

Lina menjelaskan bahwa awalnya ia membeli kerajinan eceng gondok kerena penasaran dengan kerajinan tersebut, dan ternyata produknya bagus.

“Awalnya saya beli kerajinan ini karena bagus dan juga saya berteman dengan Ibu Surya (pengrajin)” ujarnya.

Hingga kini, usaha kerajinan anyaman eceng gondok itu masih "survive" meski belum beromzet miliaran rupiah dan konsumennya belum banyak.

Kendati demikian, eceng gondok merupakan tanaman limbah yang dapat disulap menjadi kerajinan yang unik dan menarik serta ramah lingkungan. Itu berarti, eceng gondok punya potensi ekonomis yang menjanjikan, dan berpeluang menjadi salah satu komoditas unggulan di kemudian hari. Akankah kerajinan eceng gondok akan lebih dikenal masyarakat luas di Kota Makassar? Semoga.... (*/Mhs magang)

Pewarta : Nur Fadillah, Ramona dan Novita Sari
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024