Makassar (ANTARA News) - Sulawesi Selatan merupakan satu dari 33 provinsi di Indonesia yang sejak zaman Orde Baru hinggga kini masih menyandang sebagai daerah penyangga pangan nasional.

Predikat yang disandang tersebut, telah memposisikan Sulawesi Selatan (Sulsel) sebagai daerah ketiga terbanyak produksi padinya setelah Jawa Barat dan Jawa Timur.

Namun jika dilihat dari sisi jumlah penduduk Sulsel yang tercatat hanya sekitar delapan juta jiwa dengan jumlah produksi beras atau gabah rata-rata 2,5 juta ton per tahun, maka Sulsel setiap tahunnya mengalami surplus.

"Rata-rata konsumsi masyarakat di daerah ini hanya sembilan ribu ton per bulan, sehingga sisa dari produksi yang ada terdapat surplus sekitar 1,5 juta ton per tahun, termasuk yang diantarpulaukan," kata Kasi Gasar Perum Bulog Sulsel dan Sulbar Arvan Taufik.

Terkait dengan harga beras di lapangan, dia mengatakan, karena Sulsel terbilang produsen yang mampu memenuhi kebutuhan sendiri, biasanya tidak mengalami gejolak harga beras yang berarti.

Kenaikan harga beras di lapangan, biasanya hanya terjadi pada musim tanam, namun kenaikan harga beras tidak melampui dari 10 persen dari batas harga normal yang ditetapkan pemerintah.

"Kalau kenaikan di atas 10 persen, barulah kami melakukan operasi pasar (OP) untuk menekan harga beras di lapangan," kata Arvan.

Sementara dari sisi produksi, dia mengatakan, di Sulsel terdapat sentra produksi yakni Kabupaten Sidrap, Pinrang dan Kota Parepare dengan jumlah ketersedian pangannya mencapai 62 bulan. Selebihnya, 21 kabupaten/kota di Sulsel rata-rata memiliki stok pangan empat bulan ke depan.

Menurut dia, stok daerah sentra produksi tersebut umumnya digunakan sebagai persedian beras "move in national" (movnas) untuk membantu daerah lainnya yang kekurangan pangan, termasuk daerah yang terkena bencana alam.
Mengenai ketersediaan pangan di Sulsel, lanjut dia, Perum Bulog Sulselbar yang membawahi dua provinsi di Sulawesi i ni, masih memeliki stok untuk 12 bulan atau setahun ke depan.

"Adapun jumlah pengadaan beras hingga awal panen tahap kedua 2011 tercatat sebanyak 175.773 ton gabah setara beras," katanya.

Dia mengatakan, Jumlah tersebut masih akan terus bertambah karena di Sulsel baru awal panen dan puncaknya pada September 2011.

Terkait dengan flukstuasi harga beras di lapangan, pedagang pengecer di Pasar Terong H Mursalim mengatakan, harga beras yang biasanya naik pada masa tanam hanya yang kualitas utama, seperti beras kepala, Celebes dan Ciliwung, namun biasanya kenaikannya hanya Rp200 per kg.

"Sedang beras medium, tidak terlalu mengalami perubahan harga pada saat musim tanam. Sementara pada musim panen raya, harga beras untuk semua jenis biasanya turun harga Rp300 - Rp500 per kg dari harga normal," katanya.


Perlindungan Petani



Selaku salah satu daerah penyangga pangan nasional, Ketua Kelompok Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Sulsel Rahman Daeng Tayang mengatakan, seharusnya pemerintah memberikan perlindungan khusus bagi petani.

"Pada saat musim tanam, biasanya petani dipusingkan dengan harga sarana produksi (saprodi) yang diatas harga normal, karena ulah spekulan," katanya.

Menurut dia, persoalan klasik tersebut seharusnya dapat diantisipasi pihak pemerintah setiap memasuki masa tanam, karena persoalan itu sudah terjadi berulang kali.

Sementara pada saat masa panen, lanjut dia, harga beras atau gabah di tingkat petani biasanya anjlok, sementara untuk dapat masuk ke gudang Bulog, harus memenuhi kriteria yang telah ditetapkan pemerintah misalnya kadar air, bulir hampa dan sebagainya.

"Pihak penggilingan ataupun pedagang pengumpul selalu membeli dengan harga rendah pada saat panen. Sementara petani membutuhkan dana yang cepat untuk menutupi biaya saprodi dan kebutuhan rumah tangganya," katanya.

Terkait dengan dua persoalan tersebut yakni harga saprodi dan harga pasca panen, Rahman berharap agar pemerintah pusat maupun daerah dapat memberikan perlindungan khusus pada petani, sehingga tidak menjadi korban para spekulan.

Pada saat produksi berlimpah, lanjut dia, petani tidak dapat menikmati harga yang layak. Namun pada saat harga membaik, petani masih dalam posisi masa tanam.

Hal itu dibenarkan salah seorang petani di Kelurahaan Allepolea, Kecamatan Lau, Kabupaten Maros, Sulsel Abdul Wahid.

"Bulog selaku perpanjangan tangan pemerintah, tidak dapat menampung semua produksi petani, sementara jika petani ingin menjual langsung ke Bulog di daerah, sudah tidak bisa karena harus melalui mitra Bulog di lapangan," katanya.

Mitra Bulog yang dimaksud adalah pengusaha penggilingan dan perusahaan berbadan hukum yang telah mendapatkan rekomendasi untuk menyerap produksi petani di lapangan.

Berdasarkan data Bulog Sulselbar diketahui terdapat sekitar 450 mitra Bulog yang tersebar di Sulsel dan Sultra. Sementara aktivitas mitra Bulog dalam membeli produksi petani, biasanya dibawah harga yang ditetapkan pihak Bulog.

"Ini disebabkan karena kami masih harus mengolah gabah petani untuk memenuhi kriteria yang ditetapkan Bulog, sehingga harus mempertimbangan biaya pengolahan tersebut," kata salah seorang pemilik penggilingan di Kabupaten Maros, Sulsel H Bohari.

Menanggapi hal tersebut, Wahid mengatakan, memang ada sebagian produksi petani yang dibawah standar ketetapan Bulog, namun ada juga yang memenuhi standar tetapi harganya tetap disamakan dengan yang tidak memenuhi kriteria.

Dia mengatakan, apabila petani dapat dilindungi, tentu akan merasa lebih baik dalam menyiapkan kebutuhan pangan masyarakat.

Namun sebaliknya, jika petani terus merugi, maka fenomena yang terjadi adalah petani lebih cenderung menjual sawahnya untuk dijadikan lahan perumahan atau pabrik.

Akibat dari kondisi tersebut, maka implikasi berikutnya adalah ketahanan pangan di daerah akan terancam di satu sisi, sedang sisi lainnya kran beras impor akan terus mengalir dan itu akan mematikan produksi beras petani dalam negeri. (T.S036/Z002) 


Pewarta : Suriani Mappong
Editor : Daniel
Copyright © ANTARA 2024