Makassar (ANTARA) - Kepala Dinas Kehutanan Sulawesi Selatan H Andi Parenrengi mengatakan pemanfaatan kawasan hutan untuk Program Perhutanan Sosial di Sulawesi Selatan mencapai 157.688,22 hektare.
Hal itu dikemukakan Andi Parenrengi pada Seminar Nasional Tata Kelola Hutan dan Lahan yang digelar Jurnal Celebes secara virtual di Makassar, Rabu.
Dia mengatakan program tersebut telah melibatkan 51.977 kepala keluarga atau 384 kelompok tani hutan (KTH) yang tersebar di 22 kabupaten/kota di Sulsel.
Adapun jumlah izin Perhutanan Sosial di Provinsi Sulsel sampai dengan Februari 2021 sekitar 2.751 izin.
Pemanfaatan hutan pada kegiatan perhutanan sosial itu tetap mengacu pada PP No 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan Dan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan.
Sementara pemanfaatan hutan hasil hutan bukan kayu (HHBK) seluas 25.421,74 ha yang terdiri dari hutan lindung (HL) seluar 16.295,89 ha, hutan produksi terbatas (HPT) 6.529,85 hektare (ha), hutan produksi biasa (HPB) seluas 98 ha dan areal penggunaan kawasan lain (di luar kawasan hutan) mencapai 2.500 ha.
Menurut Parenrengi, pemanfaatan kawasan jenis getah pinus terdapat 11 mitra kerja sama dengan skema pola kerja sama bagi hasil meliputi Kabupaten Bone, Pinrang, Tana Toraja, Toraja Utara dan Sinjai.
"Sedang pemanfaatan kawasan hutan jenis rotan hanya satu mitra kerja sama di Kabupaten Pinrang," katanya.
Sementara itu, Kepala Divisi Kehutanan dan Lahan, Indonesia Center for Enviromental Law (ICEL), Adrianus Eryan mengatakan, potensi pelanggaran izin usaha berbasis lahan rentan di lapangan.
Dia mengatakan, bentuk pelanggaran itu berupa pelanggaran terhadap izin dan pelanggaran terhadap undang-undang.
Bentuk pelanggaran terhadap izin itu misalnya tidak melaksanakan kemitraan perkebunan, tidak menjalankan reklamasi dan pascatambang,
melampaui ketentuan pembuangan limbah dalam izin, tidak melaksanakan RKL-RPL, dan tidak melaporkan secara berkala pelaksanaan Izin Lingkungan.
Pelanggaran terhadap Undang-Undang misalnya dengan merambah kawasan hutan tanpa izin, melakukan penanaman di luar areal perkebunan
yang dikuasai, kegiatan usahanya menimbulkan pencemaran limbah B3 terhadap lingkungan.
Tangkapan layar Kepala Dinas Kehutanan Sulawesi Selatan H Andi Parenrengi (ujung kanan) pada Seminar Nasional Tata Kelola Hutan dan Lahan yang digelar Jurnal Celebes secara virtual di Makassar, Rabu (17/11/2021). Antara / Suriani Mappong
Hal itu dikemukakan Andi Parenrengi pada Seminar Nasional Tata Kelola Hutan dan Lahan yang digelar Jurnal Celebes secara virtual di Makassar, Rabu.
Dia mengatakan program tersebut telah melibatkan 51.977 kepala keluarga atau 384 kelompok tani hutan (KTH) yang tersebar di 22 kabupaten/kota di Sulsel.
Adapun jumlah izin Perhutanan Sosial di Provinsi Sulsel sampai dengan Februari 2021 sekitar 2.751 izin.
Pemanfaatan hutan pada kegiatan perhutanan sosial itu tetap mengacu pada PP No 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan Dan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan.
Sementara pemanfaatan hutan hasil hutan bukan kayu (HHBK) seluas 25.421,74 ha yang terdiri dari hutan lindung (HL) seluar 16.295,89 ha, hutan produksi terbatas (HPT) 6.529,85 hektare (ha), hutan produksi biasa (HPB) seluas 98 ha dan areal penggunaan kawasan lain (di luar kawasan hutan) mencapai 2.500 ha.
Menurut Parenrengi, pemanfaatan kawasan jenis getah pinus terdapat 11 mitra kerja sama dengan skema pola kerja sama bagi hasil meliputi Kabupaten Bone, Pinrang, Tana Toraja, Toraja Utara dan Sinjai.
"Sedang pemanfaatan kawasan hutan jenis rotan hanya satu mitra kerja sama di Kabupaten Pinrang," katanya.
Sementara itu, Kepala Divisi Kehutanan dan Lahan, Indonesia Center for Enviromental Law (ICEL), Adrianus Eryan mengatakan, potensi pelanggaran izin usaha berbasis lahan rentan di lapangan.
Dia mengatakan, bentuk pelanggaran itu berupa pelanggaran terhadap izin dan pelanggaran terhadap undang-undang.
Bentuk pelanggaran terhadap izin itu misalnya tidak melaksanakan kemitraan perkebunan, tidak menjalankan reklamasi dan pascatambang,
melampaui ketentuan pembuangan limbah dalam izin, tidak melaksanakan RKL-RPL, dan tidak melaporkan secara berkala pelaksanaan Izin Lingkungan.
Pelanggaran terhadap Undang-Undang misalnya dengan merambah kawasan hutan tanpa izin, melakukan penanaman di luar areal perkebunan
yang dikuasai, kegiatan usahanya menimbulkan pencemaran limbah B3 terhadap lingkungan.