Jakarta (ANTARA) - Di tengah persiapan panjang untuk menggelar Olimpiade Musim Dingin pada 4-20 Februari 2022, China menghadapi tekanan berupa aksi boikot dari sejumlah negara.
Sebagian negara yang melakukan boikot mengumumkan tidak akan mengirimkan perwakilan diplomatik ke Olimpiade Musim Dingin Beijing 2022.
Belanda dan Denmark menjadi dua negara terakhir yang mengumumkan langkah tersebut. Belanda memastikan langkah itu disebabkan oleh pembatasan COVID-19, bukan mengikuti jejak Amerika Serikat yang memang memboikot secara diplomatik ajang olahraga tersebut.
Sementara itu, Denmark mengikuti langkah sejumlah negara, seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia dan Inggris untuk memboikot secara diplomatik ajang Olimpiade di China. Boikot dilakukan atas dasar pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan Beijing terhadap minoritas Uighur di Xinjiang.
Amerika Serikat sebelumnya memulai langkah boikot dengan mengumumkan tak akan menghadiri ajang tersebut.
Negara adi kuasa itu menempuh langkah boikot lantaran menganggap pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan China. Meski memboikot secara diplomatik, AS akan tetap mengirimkan atlet ke ajang tersebut.
Sejumlah kalangan, termasuk di tanah air menilai ada baiknya penyelenggaraan ajang olahraga tidak dikaitkan dengan kepentingan politik atau politisasi tertentu.
Ketua Komisi X DPR RI, H. Syaiful Huda menegaskan terkait dengan Olimpiade Musim Dingin di China, sebaiknya penyelenggaraan olahraga jangan terlalu dikontaminasi oleh kepentingan politik tertentu.
Ia menilai semestinya ruang diplomasi politik perlu didorong, termasuk oleh pemerintah China, agar penyelenggaraan olahraga jangan terlalu didominasi oleh kepentingan politik tertentu.
Dia menegaskan, Indonesia mendapat undangan di acara Olimpiade Musim Dingin di China, namun belum diketahui apakah akan mengirimkan atlet sebagai perwakilan.
Terlepas dari hal tersebut, sebaiknya ke depan tidak ada situasi politik, terutama untuk politik olahraga. Idealnya, memang perlu didorong untuk mencari titik temu terkait diplomasi politik pelaksanaan acara itu.
Kecintaan Olahraga
Warga dunia pada dasarnya sangat mencintai olahraga sehingga Olimpiade Musim Dingin di China sejatinya menjadi bagian dari tontonan yang amat dinanti warga dunia, terlepas dari persoalan politik.
Sayangnya, politisasi olahraga terus terjadi, dan kali ini diawali oleh pemerintah Amerika Serikat yang menyatakan tidak akan mengirim diplomat serta pejabat ke Olimpiade Musim Dingin Beijing, sebagai protes terhadap pelanggaran hak asasi di China.
Langkah ini sempat memicu kemarahan Beijing yang langsung bertekad untuk melakukan "tindakan balasan yang tegas".
Sekretaris pers Gedung Putih Jen Psaki mengatakan keputusan AS diambil sehubungan dengan “genosida yang sedang berlangsung" dan "kejahatan terhadap kemanusiaan" di Xinjiang.
Otoritas China sendiri telah menegaskan bahwa ada keinginan besar negara itu terkait penyelenggaraan Olimpiade Musim Dingin (Winter Olympic) Beijing 2022 yang seharusnya dijauhkan dari hal-hal yang berbau politis.
Panitia penyelenggara telah mengingatkan agar para atlet asing tidak melanggar hukum selama ajang tersebut berlangsung.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China (MFA) Zhao Lijian mengatakan Komite Olimpiade Internasional (IOC) telah mengeluarkan larangan protes-protes berbau politis.
"Sepanjang yang saya ketahui, (IOC) meminta para atlet Olimpiade agar tidak melakukan protes di podium atau di tempat mana pun dengan cara berlutut atau bentuk lain," katanya di Beijing pada Rabu (19/1).
Ia juga berharap agar media tertentu tidak menggunakan hal-hal di luar konteks Olimpiade untuk mendiskreditkan China.
China telah bertekad menyambut kedatangan semua atlet dengan nyaman dan aman. Bahkan, negara itu optimistis Olimpiade akan berjalan lancar, aman dan semarak.
Dari Beijing, mereka mengaku sangat yakin bahwa boikot diplomatik tersebut tidak mengganggu pelaksanaan pesta olahraga musim dingin empat tahunan tersebut.
Dilarang
Dalam pelaksanaannya, sejumlah kalangan, termasuk misalnya Organisasi hak asasi manusia Human Rights Watch kemudian memperingatkan para atlet yang melakukan perjalanan ke Olimpiade Beijing agar tidak berbicara soal isu hak asasi manusia saat berada di China demi keselamatan diri mereka sendiri.
Penentuan China sebagai tuan rumah ajang tersebut pada dasarnya telah menuai kritik dari sejumlah organisasi hak manusia, yang merespons perlakuan pemerintah China terhadap Uighur dan kelompok minoritas muslim lainnya, yang dianggap Amerika Serikat sebagai genosida. Namun, China menyangkal tuduhan tersebut.
Banyak pihak meyakini bahwa tidak akan ada perlindungan yang memadai yang diberikan kepada para atlet. Maka kemudian mereka menyarankan agar para atlet tidak berbicara soal HAM selama berada di China demi keselamatan pribadi.
Hal itu juga mengutip aturan Rule 50 Piagam Olimpiade yang menyatakan bahwa "tidak ada jenis demonstrasi atau propaganda politik, agama atau rasial yang diizinkan di lokasi, venue, atau area Olimpiade mana pun."
Meski begitu, beberapa olahragawan berpikir sebaliknya, bahwa mereka para atlet seharusnya tetap mendapatkan perlindungan sehingga memiliki kebebasan penuh untuk berbicara tentang masalah yang penting bagi mereka, di mana pun tempatnya.
Intinya, tetap harus ada perlindungan menyeluruh bagi setiap atlet yang berbicara kapan saja tentang masalah hak asasi manusia.
Apapun yang terjadi, nyatanya Olimpiade tetap digelar di Beijing dan Zhangjiakou, Provinsi Hebei, dan sejumlah atlet pun sudah mulai berdatangan. Di tengah pandemi, penyelenggara mengadopsi sistem kawasan tertutup sebagai bagian dari protokol kesehatan pencegahan dan pengendalian COVID-19.
Penonton pun ditentukan berdasarkan seleksi ketat. Media peliput juga dibagi dalam beberapa kategori, baik di dalam lingkungan tertutup maupun di luar. China tetap saja menganut prinsip “the show must go on”.
Sebagian negara yang melakukan boikot mengumumkan tidak akan mengirimkan perwakilan diplomatik ke Olimpiade Musim Dingin Beijing 2022.
Belanda dan Denmark menjadi dua negara terakhir yang mengumumkan langkah tersebut. Belanda memastikan langkah itu disebabkan oleh pembatasan COVID-19, bukan mengikuti jejak Amerika Serikat yang memang memboikot secara diplomatik ajang olahraga tersebut.
Sementara itu, Denmark mengikuti langkah sejumlah negara, seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia dan Inggris untuk memboikot secara diplomatik ajang Olimpiade di China. Boikot dilakukan atas dasar pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan Beijing terhadap minoritas Uighur di Xinjiang.
Amerika Serikat sebelumnya memulai langkah boikot dengan mengumumkan tak akan menghadiri ajang tersebut.
Negara adi kuasa itu menempuh langkah boikot lantaran menganggap pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan China. Meski memboikot secara diplomatik, AS akan tetap mengirimkan atlet ke ajang tersebut.
Sejumlah kalangan, termasuk di tanah air menilai ada baiknya penyelenggaraan ajang olahraga tidak dikaitkan dengan kepentingan politik atau politisasi tertentu.
Ketua Komisi X DPR RI, H. Syaiful Huda menegaskan terkait dengan Olimpiade Musim Dingin di China, sebaiknya penyelenggaraan olahraga jangan terlalu dikontaminasi oleh kepentingan politik tertentu.
Ia menilai semestinya ruang diplomasi politik perlu didorong, termasuk oleh pemerintah China, agar penyelenggaraan olahraga jangan terlalu didominasi oleh kepentingan politik tertentu.
Dia menegaskan, Indonesia mendapat undangan di acara Olimpiade Musim Dingin di China, namun belum diketahui apakah akan mengirimkan atlet sebagai perwakilan.
Terlepas dari hal tersebut, sebaiknya ke depan tidak ada situasi politik, terutama untuk politik olahraga. Idealnya, memang perlu didorong untuk mencari titik temu terkait diplomasi politik pelaksanaan acara itu.
Kecintaan Olahraga
Warga dunia pada dasarnya sangat mencintai olahraga sehingga Olimpiade Musim Dingin di China sejatinya menjadi bagian dari tontonan yang amat dinanti warga dunia, terlepas dari persoalan politik.
Sayangnya, politisasi olahraga terus terjadi, dan kali ini diawali oleh pemerintah Amerika Serikat yang menyatakan tidak akan mengirim diplomat serta pejabat ke Olimpiade Musim Dingin Beijing, sebagai protes terhadap pelanggaran hak asasi di China.
Langkah ini sempat memicu kemarahan Beijing yang langsung bertekad untuk melakukan "tindakan balasan yang tegas".
Sekretaris pers Gedung Putih Jen Psaki mengatakan keputusan AS diambil sehubungan dengan “genosida yang sedang berlangsung" dan "kejahatan terhadap kemanusiaan" di Xinjiang.
Otoritas China sendiri telah menegaskan bahwa ada keinginan besar negara itu terkait penyelenggaraan Olimpiade Musim Dingin (Winter Olympic) Beijing 2022 yang seharusnya dijauhkan dari hal-hal yang berbau politis.
Panitia penyelenggara telah mengingatkan agar para atlet asing tidak melanggar hukum selama ajang tersebut berlangsung.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China (MFA) Zhao Lijian mengatakan Komite Olimpiade Internasional (IOC) telah mengeluarkan larangan protes-protes berbau politis.
"Sepanjang yang saya ketahui, (IOC) meminta para atlet Olimpiade agar tidak melakukan protes di podium atau di tempat mana pun dengan cara berlutut atau bentuk lain," katanya di Beijing pada Rabu (19/1).
Ia juga berharap agar media tertentu tidak menggunakan hal-hal di luar konteks Olimpiade untuk mendiskreditkan China.
China telah bertekad menyambut kedatangan semua atlet dengan nyaman dan aman. Bahkan, negara itu optimistis Olimpiade akan berjalan lancar, aman dan semarak.
Dari Beijing, mereka mengaku sangat yakin bahwa boikot diplomatik tersebut tidak mengganggu pelaksanaan pesta olahraga musim dingin empat tahunan tersebut.
Dilarang
Dalam pelaksanaannya, sejumlah kalangan, termasuk misalnya Organisasi hak asasi manusia Human Rights Watch kemudian memperingatkan para atlet yang melakukan perjalanan ke Olimpiade Beijing agar tidak berbicara soal isu hak asasi manusia saat berada di China demi keselamatan diri mereka sendiri.
Penentuan China sebagai tuan rumah ajang tersebut pada dasarnya telah menuai kritik dari sejumlah organisasi hak manusia, yang merespons perlakuan pemerintah China terhadap Uighur dan kelompok minoritas muslim lainnya, yang dianggap Amerika Serikat sebagai genosida. Namun, China menyangkal tuduhan tersebut.
Banyak pihak meyakini bahwa tidak akan ada perlindungan yang memadai yang diberikan kepada para atlet. Maka kemudian mereka menyarankan agar para atlet tidak berbicara soal HAM selama berada di China demi keselamatan pribadi.
Hal itu juga mengutip aturan Rule 50 Piagam Olimpiade yang menyatakan bahwa "tidak ada jenis demonstrasi atau propaganda politik, agama atau rasial yang diizinkan di lokasi, venue, atau area Olimpiade mana pun."
Meski begitu, beberapa olahragawan berpikir sebaliknya, bahwa mereka para atlet seharusnya tetap mendapatkan perlindungan sehingga memiliki kebebasan penuh untuk berbicara tentang masalah yang penting bagi mereka, di mana pun tempatnya.
Intinya, tetap harus ada perlindungan menyeluruh bagi setiap atlet yang berbicara kapan saja tentang masalah hak asasi manusia.
Apapun yang terjadi, nyatanya Olimpiade tetap digelar di Beijing dan Zhangjiakou, Provinsi Hebei, dan sejumlah atlet pun sudah mulai berdatangan. Di tengah pandemi, penyelenggara mengadopsi sistem kawasan tertutup sebagai bagian dari protokol kesehatan pencegahan dan pengendalian COVID-19.
Penonton pun ditentukan berdasarkan seleksi ketat. Media peliput juga dibagi dalam beberapa kategori, baik di dalam lingkungan tertutup maupun di luar. China tetap saja menganut prinsip “the show must go on”.