Jakarta (ANTARA) - Pelukis Srihadi Soedarsono Adhikoesoemo meninggal pada usia 90 tahun, pukul 05.15 WIB Sabtu di kediamannya di Bandung, Jawa Barat.

"Innalillahi Wa Inna Illaihi Raji'un. Telah berpulang Bp. Prof. Srihadi Soedarsono pada hari Sabtu tanggal 26 Februari 2022, pukul 05.15 WIB di kediaman beliau Jl. Ciumbuleuit no 173 Bandung," demikian pesan tertulis yang diterima wartawan.

Pelukis kelahiran 4 Desember 1931 itu disemayamkan di Aula Timur Institut Teknologi Bandung (ITB) dan akan disalatkan di Masjid Salman. Seniman lulusan Fakultas Seni Rupa di ITB dan pernah mengajar sebagai dosen ITB itu akan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

Prof. Kanjeng Raden Haryo Tumenggung H Srihadi Soedarsono Adhikoesoemo, MA adalah seorang pelukis Indonesia yang karyanya banyak diburu kolektor dalam dan luar negeri. Karya Srihadi berjudul "Meditasi Bedhoyo Ketawang" pada Juli 2020 dijual dalam lelang Sotheby's Hong Kong senilai HKD3,5 juta (setara Rp6,4 miliar).

Ia menikah dengan pelukis Farida Srihadi yang belajar di ITB, kemudian di Belanda, dan Inggris. Srihadi pernah diangkat menjadi anggota Tentara Pelajar pada rentang tahun 1945 hingga 1948 sebagai wartawan pelukis yang menciptakan poster-poster untuk Balai Penerangan Divisi IV BKR/TKR/TNI di Solo.

Dia bergabung dalam Seniman Indonesia Muda di Solo dan Yogyakarta pada 1947-1952, memasuki pendidikan seni di Balai Pendidikan Universiter Guru Gambar Fakultas Teknik Universitas Indonesia Bandung (sekarang Fakultas Seni Rupa Institut Teknologi Bandung) pada 1952 dan lulus sebagai sarjana seni rupa pada 1959. Setahun kemudian, dia belajar di Ohio State University dan mendapat gelar master of art pada 1962.

Srihadi punya karakter khusus yang membuatnya dikenal sebagai salah satu pelukis modern Indonesia. Dikutip dari keterangan resmi, Sabtu, karyanya dibentuk akar budaya dan sejarah Jawa. Karya awalnya dipengaruhi hasil pendidikan, geometris sintetik.

Dia mulai bereksperimen pada bentuk abstrak lewat tempelan potongan kertas dan spontanitas warna pada 1960. Pada era 70-an, dia cenderung ke arah impresionis lewat cat air dan ekspresionis lewat cat minyak. Dia pun kerap memasukkan unsur simbolis ke dalam lukisannya. Karyanya juga muncul dalam bentuk simplifikasi dengan garis horizon kuat, juga lukisan figur puitis terinspirasi ajaran Zen.

Sang istri yang juga akademisi seni rupa, Farida, menjelaskan suaminya tak cuma mengajak untuk melihat, tapi juga merasakan warna yang jadi unsur utama dalam karya.

"Penggunaan warna emas dalam lukisannya itu menunjukkan kejayaan dan kemakmuran sebuah era," ucapnya, dalam pameran terakhir Srihadi di Jakarta, tahun lalu.

Lukisan-lukisan Srihadi terkenal dengan pendekatan lanskapnya. Ketertarikannya akan lanskap lebih jelas dideskripsikan antara 1954-1959 ketika beberapa kali berkunjung ke Bali.

Pada 1953, sang seniman tinggal di di pantai Sindhu, Sanur, Bali yang saat itu masih sepi, selain ada perahu-perahu, upacara, dan perempuan Bali di pantai. Masa itu adalah masa dirinya memikirkan apa yang dicari dari seni lukis. Farida menuturkan, Srihadi memahami arah karyanya dari momen-momen kontemplasi di Bali kala itu.

"Dan saat mengamati pantai, ia menemukan fenomena alam bahwa antara langit dan laut selalu ada garis penghubung yang lurus, bersih, dan indah. Garis horizon. Semacam titik nol yang siap untuk dikembangkan."

Pewarta : Nanien Yuniar
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024