Jakarta (ANTARA) - Dokter spesialis jantung dari Universitas Indonesia Bambang Budiono mengatakan dunia kedokteran tak memberi tempat untuk testimoni pada metode penyembuhan penyakit karena tidak bisa diuji secara klinis.
"Sekalipun diucapkan oleh seorang menteri atau bahkan presiden pun, testimoni tak akan pernah memiliki nilai setara bukti klinis," kata Bambang Budiono melalui pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat.
Bambang yang juga seorang pengamat masalah kesehatan mengatakan belakangan ini media online dan televisi diwarnai kabar pemberhentian seorang dokter ternama dari keanggotaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Ia mengatakan dalam menguji keampuhan suatu metode pengobatan ada beberapa cara atau metodologi yang lazim dilakukan dan telah diterima secara luas di dunia medis.
"Bisa menggunakan hasil antara atau 'surrogate end point', misalnya melihat adanya perubahan penanda khusus dari hasil laboratorium, melihat perubahan dari pencitraan khusus (kardiologi nuklir, ekokardiografi, dll) yang digunakan untuk melihat dampak suatu pengobatan," katanya.
Bisa juga dengan menggunakan data klinis sebagai hasil akhir, misalnya peningkatan kemampuan fisik, penurunan kekerapan dirawat di rumah sakit akibat gagal jantung, penurunan kejadian serangan jantung dan kematian, dan lainnya.
Menilai keunggulan suatu metode pengobatan, bisa dilakukan dengan membandingkan obat atau metoda baru dengan terapi standar (jika sudah ada), atau membandingkan dengan suatu bahan yang tidak aktif yang disebut plasebo, kata Bambang.
Metode penelitian yang terbaik jika dilakukan randomisasi atau acak, kata Bambang, pasien dan dokter tak tahu yang mana obat aktif dan mana plasebo, karena kemasan plasebo dibuat sedemikian rupa sehingga menyerupai bentuk obat atau zat aktif.
Biasanya akan diberi kode dan pada akhir penelitian baru dibuka untuk mengetahui mana yang zat aktif dan mana yang plasebo. "Perlu diketahui, plasebo meskipun bukan suatu zat aktif, bisa memiliki dampak seperti zat aktif, baik khasiat maupun efek sampingnya," katanya.
Ia mengatakan seorang pasien yang memperoleh kapsul berisi tepung, bisa terjadi penurunan kadar gula darah, penurunan tensi, penurunan kadar cholesterol, maupun berkurangnya keluhan klinis.
"Jangan heran juga jika pasien yang memperoleh plasebo mengeluhkan efek samping mirip halnya obat aktif, misal batuk, diare, demam, pusing, dan sebagainya," katanya.
Bambang mengatakan penelitian dengan desain yang baik akan menjawab apakah obat atau metode yang diberikan pada pasien benar memiliki manfaat klinis atau tidak. "Semakin banyak yang terlibat penelitian, semakin kuat kesimpulan yang bisa diambil apakah memang bermanfaat atau tak lebih baik dari plasebo," katanya.
"Sekalipun diucapkan oleh seorang menteri atau bahkan presiden pun, testimoni tak akan pernah memiliki nilai setara bukti klinis," kata Bambang Budiono melalui pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat.
Bambang yang juga seorang pengamat masalah kesehatan mengatakan belakangan ini media online dan televisi diwarnai kabar pemberhentian seorang dokter ternama dari keanggotaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Ia mengatakan dalam menguji keampuhan suatu metode pengobatan ada beberapa cara atau metodologi yang lazim dilakukan dan telah diterima secara luas di dunia medis.
"Bisa menggunakan hasil antara atau 'surrogate end point', misalnya melihat adanya perubahan penanda khusus dari hasil laboratorium, melihat perubahan dari pencitraan khusus (kardiologi nuklir, ekokardiografi, dll) yang digunakan untuk melihat dampak suatu pengobatan," katanya.
Bisa juga dengan menggunakan data klinis sebagai hasil akhir, misalnya peningkatan kemampuan fisik, penurunan kekerapan dirawat di rumah sakit akibat gagal jantung, penurunan kejadian serangan jantung dan kematian, dan lainnya.
Menilai keunggulan suatu metode pengobatan, bisa dilakukan dengan membandingkan obat atau metoda baru dengan terapi standar (jika sudah ada), atau membandingkan dengan suatu bahan yang tidak aktif yang disebut plasebo, kata Bambang.
Metode penelitian yang terbaik jika dilakukan randomisasi atau acak, kata Bambang, pasien dan dokter tak tahu yang mana obat aktif dan mana plasebo, karena kemasan plasebo dibuat sedemikian rupa sehingga menyerupai bentuk obat atau zat aktif.
Biasanya akan diberi kode dan pada akhir penelitian baru dibuka untuk mengetahui mana yang zat aktif dan mana yang plasebo. "Perlu diketahui, plasebo meskipun bukan suatu zat aktif, bisa memiliki dampak seperti zat aktif, baik khasiat maupun efek sampingnya," katanya.
Ia mengatakan seorang pasien yang memperoleh kapsul berisi tepung, bisa terjadi penurunan kadar gula darah, penurunan tensi, penurunan kadar cholesterol, maupun berkurangnya keluhan klinis.
"Jangan heran juga jika pasien yang memperoleh plasebo mengeluhkan efek samping mirip halnya obat aktif, misal batuk, diare, demam, pusing, dan sebagainya," katanya.
Bambang mengatakan penelitian dengan desain yang baik akan menjawab apakah obat atau metode yang diberikan pada pasien benar memiliki manfaat klinis atau tidak. "Semakin banyak yang terlibat penelitian, semakin kuat kesimpulan yang bisa diambil apakah memang bermanfaat atau tak lebih baik dari plasebo," katanya.