Jakarta (ANTARA) -
Koalisi Masyarakat Sipil untuk pendidikan tanpa kekerasan seksual mendorong Mahkamah Agung (MA) untuk menolak uji materiil Permendikbud No 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan perguruan tinggi.
 
"Kami mendorong MA menolak uji materiil Permendikbud tersebut," kata Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur saat jumpa pers secara daring, Senin.
 
Komisi masyarakat sipil juga akan menyerahkan "Amicus Curiae" ke Mahkamah Agung terkait perkara uji materiil Permendikbud No 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan perguruan tinggi.
 
"Amicus Curiae ini rencananya akan diserahkan pada Senin ini. Namun, kalau tidak bisa diserahkan hari ini karena ada aksi demonstrasi, maka akan diserahkan pada besok hari (Selasa) atau lusa (Rabu)," kata Isnur.
 
"Amicus Curiae" atau Sahabat Pengadilan merupakan pendapat hukum dari pihak yang merasa berkepentingan terhadap suatu perkara ke pengadilan.
 
Koalisi masyarakat sipil untuk pendidikan tanpa kekerasan seksual yang terdiri dari YLBHI, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik Jakarta, SAFEnet, dan Mappi FHUI itu berpendapat Permendikbudristek merupakan wujud keberpihakan negara pada banyaknya korban dari kasus kekerasan seksual khususnya dalam lingkup institusi perguruan tinggi.
 
Namun sayangnya, upaya baik dari pemerintah ini kemudian dimaknai berbeda bagi sebagian kelompok. Mereka melihat bahwa aturan ini dapat mengarah pada pembiaran terjadinya seks bebas, aborsi, pernikahan dini hingga asumsi perumusan peraturannya yang tidak berlandaskan ajaran agama dan kultur masyarakat Indonesia.
 
Asumsi itu kemudian dituangkan dalam upaya hukum berupa Permohonan Uji Materiil (Judicial Review) terhadap Permendikbud No. 30 Tahun 2021 dan sudah masuk dalam register No. 34P/HUM/2022 di Mahkamah Agung.
 
Isnur memandang bahwa permohonan uji materiil ini adalah salah satu langkah mundur terhadap upaya pencegahan dan perlindungan korban kekerasan seksual di lingkup perguruan Tinggi untuk mendapatkan kepastian hukum atas perlindungan serta pemulihan korban kekerasan seksual.
 
Peneliti ICJR Maidina Rahmawati meminta agar majelis hakim di MA menerapkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum dalam menguji Permendikbud itu.
 
Berdasarkan prinsip hak asasi manusia; kepentingan terbaik dan pemulihan Perempuan Berhadapan dengan Hukum; dan Analisis Gender, Permendikbud 30/2021 utamanya Pasal 5 ayat (2) huruf b, f, g, h, j, l dan m yang mengandung frasa redaksional "tanpa persetujuan" dan "yang tidak disetujui" tetap harus dimuat dalam Permendikbud 30/2021 untuk mendefinisikan kekerasan.
 
"Hal ini untuk membedakan mana korban mana pelaku, dengan tujuan tak lain dan tak bukan untuk melindungi korban," kata Maidina.
 
Oleh karena itu, pihaknya meminta agar MA dapat mempertimbangkan dasar Amicus Curiae (sahabat pengadilan) yang dibuat sebagai bentuk penggalian dan pemahaman nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Pewarta : Syaiful Hakim
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024