Jakarta (ANTARA) - Survei yang dilakukan perusahaan teknologi finansial Amartha dan Katadata Insight Center menunjukkan masih sedikit usaha mikro dan ultra mikro yang menggunakan platform digital untuk mengembangkan usaha.
"Kami mendapatkan temuan bahwa pelaku usaha mikro dan ultra mikro di Indonesia sudah cukup melek dengan inklusi keuangan, tetapi belum mahir memanfaatkan teknologi untuk mengembangkan usahanya," kata Chief Risk and Sustainability Officer Amartha, Aria Widyanto, dalam siaran pers, dikutip Jumat.
Hasil riset "The Indonesia Grassrot Entrepreneur Report" menunjukkan adopsi digital berperan lebih besar dalam mendorong akselerasi bisnis usaha mikro dan ultra mikro. Amartha dan Katadata juga mengukur pemanfaatan produk keuangan dan inklusi finansial.
Dalam hal adopsi digital, skor yang diperoleh cukup baik yaitu 66,08. Sebanyak 97 persen pelaku usaha sudah memiliki gawai, akses internet dan menggunakan media sosial. Sayangnya, skor penggunaan e-commerce untuk memperluas jangkauan pasar masih sangat rendah, yaitu 20,50.
Amartha melihat adopsi teknologi oleh pelaku usaha mikro dan ultra mikro baru sebatas untuk komunikasi harian dan hiburan.
Manajer Riset Katadata Insight Center, Vivi Zabkie, menjelaskan skor pemanfaatan kanal digital untuk mengembangkan usaha rendah karena pelaku usaha belum memiliki keterampilan yang memadai.
"Mereka mengerti cara menggunakan media sosial, mengerti cara berbelanja online, tetapi, tidak tahu cara mempromosikan usahanya lewat kanal digital. Jadi, seutuhnya mengandalkan interaksi fisik/offline," kata Vivi.
Dia menilai perlu ada edukasi lebih lanjut soal kecakapan digital agar pelaku usaha bisa mengikuti kemajuan teknologi.
Dalam pemanfaatan produk keuangan untuk tingkat lanjutan, skor menunjukkan angka 29,98. Pelaku usaha sudah masuk ekosistem produk keuangan, namun, penggunaanya baru untuk transaksi umum, belum dioptimalkan untuk mengembangkan usaha.
Survei ini menunjukkan 92 persen pelaku usaha mikro dan ultra mikro memulai usaha dengan modal pribadi. Baru 34 persen yang mendapatkan modal dari pinjaman institusi formal seperti perbankan.
Penggunaan teknologi finansial untuk memperoleh modal juga masih minim, yaitu 2,7 persen. Mereka beralasan khawatir tidak sanggup membayar pinjaman.
"Stigma bahwa berutang merupakan hal buruk, sebenarnya bisa diluruskan. Pinjaman produktif seperti yang disediakan oleh Amartha justru dapat membuka peluang bagi UMKM untuk lebih maju dan sejahtera, " kata Aria.
Survei "The Indonesia Grassrot Entrepreneur Report" melibatkan 402 pelaku usaha mikro dan ultra mikro di wilayah sub-urban, sesuai dengan karakteristik mitra Amartha, yaitu Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Jawa Tengah, Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan dan Sulawesi Selatan, pada November 2021.
"Kami mendapatkan temuan bahwa pelaku usaha mikro dan ultra mikro di Indonesia sudah cukup melek dengan inklusi keuangan, tetapi belum mahir memanfaatkan teknologi untuk mengembangkan usahanya," kata Chief Risk and Sustainability Officer Amartha, Aria Widyanto, dalam siaran pers, dikutip Jumat.
Hasil riset "The Indonesia Grassrot Entrepreneur Report" menunjukkan adopsi digital berperan lebih besar dalam mendorong akselerasi bisnis usaha mikro dan ultra mikro. Amartha dan Katadata juga mengukur pemanfaatan produk keuangan dan inklusi finansial.
Dalam hal adopsi digital, skor yang diperoleh cukup baik yaitu 66,08. Sebanyak 97 persen pelaku usaha sudah memiliki gawai, akses internet dan menggunakan media sosial. Sayangnya, skor penggunaan e-commerce untuk memperluas jangkauan pasar masih sangat rendah, yaitu 20,50.
Amartha melihat adopsi teknologi oleh pelaku usaha mikro dan ultra mikro baru sebatas untuk komunikasi harian dan hiburan.
Manajer Riset Katadata Insight Center, Vivi Zabkie, menjelaskan skor pemanfaatan kanal digital untuk mengembangkan usaha rendah karena pelaku usaha belum memiliki keterampilan yang memadai.
"Mereka mengerti cara menggunakan media sosial, mengerti cara berbelanja online, tetapi, tidak tahu cara mempromosikan usahanya lewat kanal digital. Jadi, seutuhnya mengandalkan interaksi fisik/offline," kata Vivi.
Dia menilai perlu ada edukasi lebih lanjut soal kecakapan digital agar pelaku usaha bisa mengikuti kemajuan teknologi.
Dalam pemanfaatan produk keuangan untuk tingkat lanjutan, skor menunjukkan angka 29,98. Pelaku usaha sudah masuk ekosistem produk keuangan, namun, penggunaanya baru untuk transaksi umum, belum dioptimalkan untuk mengembangkan usaha.
Survei ini menunjukkan 92 persen pelaku usaha mikro dan ultra mikro memulai usaha dengan modal pribadi. Baru 34 persen yang mendapatkan modal dari pinjaman institusi formal seperti perbankan.
Penggunaan teknologi finansial untuk memperoleh modal juga masih minim, yaitu 2,7 persen. Mereka beralasan khawatir tidak sanggup membayar pinjaman.
"Stigma bahwa berutang merupakan hal buruk, sebenarnya bisa diluruskan. Pinjaman produktif seperti yang disediakan oleh Amartha justru dapat membuka peluang bagi UMKM untuk lebih maju dan sejahtera, " kata Aria.
Survei "The Indonesia Grassrot Entrepreneur Report" melibatkan 402 pelaku usaha mikro dan ultra mikro di wilayah sub-urban, sesuai dengan karakteristik mitra Amartha, yaitu Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Jawa Tengah, Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan dan Sulawesi Selatan, pada November 2021.