Makassar (ANTARA News) - Sekretaris Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Andi Muallim mengakui terjadi kesalahan dalam pencairan dan bantuan sosial (bansos) sebesar Rp8,8 miliar kepada 202 lembaga fiktif karena adanya penandatanganan kwitansi kosong.

"Saya memang menandatangani kwitansi kosong karena di dalamnya sudah ada tandatangan Kepala Biro Keuangan (Yushar Huduri) dan posisi saya sebagai Sekda hanya menyetujui pencairan anggaran," ujarnya di Makassar, Senin.

Ia mengatakan, permohonan lembaga atau yayasan untuk mendapatkan dana bantuan sosial ditujukan pada gubernur dan sekda atas nama gubernur mengeluarkan disposisi untuk meminta saran dan pertimbangan dari Biro Keuangan.

Mengenai nilai ditentukan kemudian berdasarkan pertimbangan dari BPKD dan kebutuhan lembaga penerima. Sedangkan posisi terdakwa AB selaku bendahara pengeluaran akan melakukan pembayaran setelah ada persetujuan.

Dihadapan majelis hakim, Muallim menyebutkan pada tahun 2008 Pemprov belum memiliki standar untuk menilai lembaga atau yayasan yang layak menerima dana bansos, penyaluran dana bansos hanya disesuaikan dengan kegiatan yayasan yang mengajukan permohonan.

"Pada tahun anggaran 2008 itu belum ada standar penilaian apakah lembaga ini berhak menerima atau tidak. Nanti setelah tahun anggaran itu berlalu, barulah ada aturan dan standar penilaian, apalagi diperkuat dengan peraturan gubernur," katanya.

Menurutnya, persetujuan yang dikeluarkannya untuk melakukan pembayaran dana bantuan sosial kepada lembaga atau yayasan, akan dinilai layak setelah ada pertimbangan dari BPKD dan pos anggaran tersedia.

"Persetujuan saya dan kwitansi yang saya tandatangani bersama lampiran proposal kembali ke BPKD kemudian diserahkan ke bendahara pengeluaran untuk dilakukan pembayaran," tegasnya.

Disisi lain, ia juga dicecar pertanyaan persyaratan lembaga atau yayasan menerima dana bansos juga mengetahui dengan adanya pembayaran pada lembaga atau yayasan yang tidak jelas itu berpotensi merugikan negara.

Muallim yang sudah menjabat Sekda sejak 2006 itu menyebutkan, kalau pencairan anggaran sebesar Rp8,8 miliar itu menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang kemudian memerintahkan Sekda, Kepala Biro Keuangan dan bendahara untuk menagih kembali dana tersebut.

Kepala BPKD Yushar Huduri yang hadir sebagai saksi kedua juga mengakui kalau pihaknya tidak melakukan verivikasi penerima dana bansos.

Akan tetapi, dia menyebutkan kalau dalam proses pencairan anggaran dana bansos itu ada disposisi Andi Muallim sebagai pengguna anggaran, melalui surat perintah membayar (SPM).

Dalam kasus ini, Bendahara Pengelolaan Keuangan Daerah, AB yang menjadi terdakwa dijerat dengan dakwaan Undang Undang Tindak Pidana Korupsi.

Tersangka dijerat dengan pasal 2 dan 3 Undang Undang Nomor 31 tahun 1999 yang telah diubah ke dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi juncto pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHPidana dengan ancaman hukuman minimal empat tahun dan maksimal 20 tahun penjara.

Semula disebut-sebut kasus itu merugikan keuangan negara sekitar Rp25 miliar tetapi berdasarkan hasil audit tim Badan pemeriksa Keuangan Perwakilan wilayah Sulawesi Selatan dinyatakan sekitar Rp8,8 miliar adalah nilai yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. (T.KR-MH/F003) 

Pewarta :
Editor : Daniel
Copyright © ANTARA 2024