Makassar (ANTARA News) - Penggunaan sistem komputerisasi resep diharapkan dapat menghindari terjadinya kesalahan obat (medication error) akibat tulisan tangan dokter yang sukar dibaca oleh apoteker.
"Ini tantangan ke depan untuk sarana pelayanan kesehatan, khususnya rumah sakit untuk menggunakan sistem komputerisasi," kata Kepala IFRS RSUD dr Soetomo Surabaya Nun Zairina pada seminar kefarmasian di Makassar, Sabtu.
Menurut dia, dengan sistem komputerisasi resep tersebut, seorang dokter yang membuat resep cukup mengetik nama dan dosis obat pasiennya pada komputer yang "online" dengan komputer apoteker.
Hal itu akan mengurangi kesalahan membaca resep, yang kemudian akan meminimalkan terjadinya kesalahan obat.
"Dampak dari kesalahan obat itu dapat menyebabkan lama suatu penyakit dan biaya pengobatan pasien meningkat," katanya.
Ia mengatakan, dalam dunia kesehatan tidak dapat dimungkiri banyak terjadi kesalahan obat. Di rumah sakit di Amerika saja, terdapat 98 ribu orang meninggal akibat kesalahan obat.
Bahkan terdapat sekitar 1 juta kasus kesalahan obat yang serius di negara itu.
Berkaitan dengan hal tersebut, lanjut Nun, paradigma apoteker dunia sudah harus diubah dari "drug oriented" (orientasi obat) ke "patient oriented" (orientasi pasien).
Menurut dia, apoteker dan dokter harus membangun komunikasi yang baik untuk penanganan pasien. Selanjutnya, 48 - 72 jam mengevaluasi kondisi pasien. Apabila kondisi pasien belum membaik, maka harus ada dianogsa atau assesment ulang. (T.S036/I007)
"Ini tantangan ke depan untuk sarana pelayanan kesehatan, khususnya rumah sakit untuk menggunakan sistem komputerisasi," kata Kepala IFRS RSUD dr Soetomo Surabaya Nun Zairina pada seminar kefarmasian di Makassar, Sabtu.
Menurut dia, dengan sistem komputerisasi resep tersebut, seorang dokter yang membuat resep cukup mengetik nama dan dosis obat pasiennya pada komputer yang "online" dengan komputer apoteker.
Hal itu akan mengurangi kesalahan membaca resep, yang kemudian akan meminimalkan terjadinya kesalahan obat.
"Dampak dari kesalahan obat itu dapat menyebabkan lama suatu penyakit dan biaya pengobatan pasien meningkat," katanya.
Ia mengatakan, dalam dunia kesehatan tidak dapat dimungkiri banyak terjadi kesalahan obat. Di rumah sakit di Amerika saja, terdapat 98 ribu orang meninggal akibat kesalahan obat.
Bahkan terdapat sekitar 1 juta kasus kesalahan obat yang serius di negara itu.
Berkaitan dengan hal tersebut, lanjut Nun, paradigma apoteker dunia sudah harus diubah dari "drug oriented" (orientasi obat) ke "patient oriented" (orientasi pasien).
Menurut dia, apoteker dan dokter harus membangun komunikasi yang baik untuk penanganan pasien. Selanjutnya, 48 - 72 jam mengevaluasi kondisi pasien. Apabila kondisi pasien belum membaik, maka harus ada dianogsa atau assesment ulang. (T.S036/I007)