Makassar (ANTARA News) - Hosni Mubarak salah satu penerima dana korupsi bantuan sosial Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan menantang Jaksa Penuntut Umum dan Majelis Hakim serta pengacara terdakwa untuk membuktikan dakwaan terkait penyalahgunaan anggaran Rp8,8 miliar itu.

"Saya siap memberikan kesaksian dan siap menhadiri persidangan jika diminta. Tetapi saya meminta agar semua hak sebagai warga negara juga dipenuhi untuk kepentingan persidangan," ujarnya saat dihubungi melalui telepon genggamnya di Makassar, Senin.

Ia mengatakan, dirinya yang mempunyai kesibukan sebagai pengacara di Jakarta mengaku, jika dana bantuan sosial (Bansos) yang diterimanya itu dimanfaatkan sebagaimana mestinya sesuai dengan maksud serta tujuan permintaan dana tersebut pada tahun anggaran (TA) 2008.

Dikatakan, dia juga sadar akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara, sehingga meminta penjelasan pihak Kejaksaan jika kapasitasnya dihadirkan dalam persidangan untuk kepentingan negara ataukah kuasa hukum terdakwa Anwar Beddu yang juga mantan Bendahara Pengelolaan Keuangan dan Kas Pemrov Sulsel.

"Jika kepentingan negara, saya pasti akan datang dan negara harus membiayai seluruh akomodasi saya, karena tugas-tugasku di Jakarta sangat banyak," katanya.

Ia kemudian membantah jika uang yang diterimanya dari dana Bansos itu tidak sesuai dengan peruntukan, karena seusai melaksanakan kegiatan, pihaknya menyerahkan laporan hasil pertanggungjawaban ke Bagian Keuangan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Selatan (Sulsel).

Mengenai adanya yang menyebut jika lembaga yang digunakannya fiktif, karena tidak terdaftar di Bagian Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Provinsi Sulsel, dirinya membantahnya, dan membawa semua perlengkapan administrasi ke Kejaksaan saat diperiksa tim pidana khusus.

"Lembaga saya itu sudah terverifikasi sejak lama sebelum adanya kasus dana Bansos ini. Dan tidak benar kalau lembaga yang saya gunakan itu adalah fiktif dan saya siap membuktikannya," tandasnya.

Sebelumnya, kasus penyalahgunaan anggaran dana Bansos Sulsel 2008 ini terkuak setelah adanya temuan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

BPK menyebutkan, kerugian negara sekitar Rp8,8 miliar dalam penyaluran dana Bansos yang totalnya sekitar Rp151 miliar.

Dari penyalahgunaan anggaran Rp8,8 miliar itu, sebanyak 202 lembaga swadaya masyarakat (LSM) maupun organisasi kemasyarakatan (Ormas) penerima dana Bansos itu dinilai tidak terverifikasi di Badan Kesbangpol Sulsel.

Bukan cuma itu, ke-202 lembaga ini juga dinilai fiktif, karena dalam penyelidikan dan penyidikan tim pidana khusus Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulsel, tidak menemukan adanya satupun lembaga yang mempunyai struktur kepengurusan, alamat, maupun nomor telepon sesuai syarat legalitas suatu lembaga.

Sementara itu, Asisten Pidana Khusus Kejati Sulsel, Chaerul Amir, melalui Kepala Seksi Penerangan Hukum dan Humas Kejati Sulsel, Nur Alim Rachim, mengatakan seorang saksi juga harus sadar akan kewajibannya jika diminta untuk bersaksi dalam persidangan.

"Jika dia meminta haknya sebagai warga negara, maka dia juga harus paham dengan kewajibannya. Karena antara hak dan kewajiban itu tidak bisa dipisahkan," tandasnya.

Anggota Dewan Dipanggil

Sebelumnya, dilaporkan pula, Anggota DPRD Makassar, Mudjiburrahman, akan menjalani sidang terkait kasus dugaan penyalahgunaan dana Bansos Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulsel sebesar Rp8,8 miliar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Makassar.

"Undangannya sudah dikirimkan dan sesuai skedul, mereka semua termasuk Mujiburrahman akan hadir bersaksi di Pengadilan besok (2/7)," ujar Asisten Pidana Khusus Kejati Sulsel, Chaerul Amir, di Makassar, Senin.

Dalam keterangannya melalui Kepala Seksi Penerangan dan Hukum serta Humas Kejati Sulsel, Nur Alim Rachim, disebutkan, Mudjiburrahman yang juga legislator dari Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK) ini diketahui telah menerima dana Bansos sebesar Rp700 juta pada tahun anggaran (TA) 2008.

Dikatakan, Mudjiburrahman memperoleh gelontoran dana Bansos itu melalui tujuh LSM.

Masing-masing LSM itu, menurutnya, menerima Rp100 juta.

Ke-7 LSM yang digunakan anggota Fraksi PDK) ini, di antaranya Fungsionaris Harian Pengawasan Publik Dewan Sulsel, Pusat Informasi Pemberdayaan Masyarakat Indonesia Sulsel, dan Jaringan Wilayah HAM Sulsel.

Selain itu, Yayasan Solidaritas Putih Abu-abu, Lembaga Sosial Penelitian Pelatihan dan Pemberdayaan Masyarakat, Lembaga Pengkajian dan Riset Sosial Makassar Institute dan Dewan Eksekutif Hassanuddin 'Government Studi Club' Unhas.

Kepada tujuh LSM yang diduga fiktif ini, lanjutnya, telah cair dana sebanyak Rp700 juta, karena setiap LSM mendapat gelontoran dana Bansos sebesar Rp100 juta.

Sebagaimana temuan BPK, demikian Nur Alim Rachim, disebutkan, jika semuanya fiktif, tanpa adanya laporan pertanggungjawaban.

"Yang pasti keterangan Mujiburrahman sangat penting untuk didengarkan oleh Hakim. Hal itu guna mengetahui secara jelas siapa aktor utama di balik pencairan dana Bansos yang begitu mudah diterima legislator Sulsel dan Makassar," kata Chaerul Amir saat dimintai tanggapannya.

Ia menambahkan, ke-7 LSM ini berdasarkan hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, tidak memenuhi persyaratan untuk mendapatkan gelontoran dana Bansos.

Pasalnya, menurutnya, tidak terverifikasi pada Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Provinsi Sulsel.

"Bahkan ke-7 LSM itu dinilai fiktif, karena syarat administrasi seperti struktur kepengurusan, alamat dan nomor telepon sekretariat tidak ada, sehingga dinyatakan fiktif," demikian Chaerul Amir. (T.KR-MH/M036)

Pewarta :
Editor :
Copyright © ANTARA 2024