Makassar (ANTARA) - Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan fokus menggenjot sejumlah daerah dengan temuan terendah kasus Tuberkolosis atau TBC, dalam upaya pencegahan penularan TBC di Sulsel.
Penanggungjawab TB Dinkes Sulsel Dr Andi Julia Junus di Makassar, Minggu mengemukakan bahwa daerah dengan capaian temuan kasus TBC terendah di Sulsel yakni Tana Toraja, Enrekang dan Toraja Utara.
"Kami mau fokus pada daerah Toraja, Enrekang, Toraja Utara, ini yang mau digenjot karena sedikit ditemukan (kasus TBC)," ujar dia.
Julia menjelaskan bahwa rekapitulasi untuk penemuan kasus TBC tahun 2022 belum berakhir dan akan ditutup pada akhir Februari 2023. Sehingga dimungkinkan penemuan kasus TBC di tiga daerah itu masih bisa didapatkan.
Selama tahun 2022 hingga saat ini, persentase temuan masing-masing daerah paling rendah dari target beban TBC yakni Kabupaten Tana Toraja 34,47 persen, Enrekang 37,53 persen dan Toraja Utara 40,02 persen.
"Jika kita tidak segera datang, maka pengidap penyakit TBC bisa menularkan, jadi harus ditemukan sedini mungkin," urai Julia.
Pemerintah Pusat telah menghitung beban TB di setiap provinsi. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan Pemerintah Pusat, Sulsel ditargetkan mendapat beban TB sebanyak 30.985 kasus.
Target ini menurun dari tahun 2021, yakni 31.022, sedangkan tahun 2022 ini Sulsel ditargetkan 30.985 kasus.
Sementara penemuan kasus di Sulsel menunjukkan tren positif karena berhasil mencapai 20.388 kasus atau 65,79 persen dari target nasional di 24 kabupaten/kota.
Koordinator Program Yayasan Masyarakat Peduli Tuberkulosis Sulawesi Selatan atau Yamali TB Sulsel Kasri Riswadi mengatakan rendahnya penemuan kasus TBC di sejumlah daerah terjadi karena dipicu beberapa isu.
"Dari sisi promosi kesehatan, secara umum isu TBC belum diketahui dan dipahami dengan baik oleh masyarakat, masih banyak bahkan warga yang menganggap penyakit menular ini sebagai penyakit keturunan dan guna-guna," urainya.
Selain itu, stigma terkait penyakit TBC juga dinilai masih sangat tinggi, sehingga banyak warga walaupun punya gejala TBC tapi enggan memeriksakan diri dan pengobatan ke layanan kesehatan, karena tidak mau diketahui mengidap penyakit TBC.
Padahal dari sisi kebijakan, persoalan TBC sudah ada pada Perpres Penanggulangan TBC No. 67 tahun 2021. Hanya saja, belum ada Perda, perbub maupun perwali TBC sebagai payung hukum untuk mendukung program penanggulangan TBC untuk eliminasi TBC 2030 sesuai target Pemerintah Pusat.
"Peraturan yang ada belum teriplementasi dengan baik di level daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota," kata Kasri.
Penanggungjawab TB Dinkes Sulsel Dr Andi Julia Junus di Makassar, Minggu mengemukakan bahwa daerah dengan capaian temuan kasus TBC terendah di Sulsel yakni Tana Toraja, Enrekang dan Toraja Utara.
"Kami mau fokus pada daerah Toraja, Enrekang, Toraja Utara, ini yang mau digenjot karena sedikit ditemukan (kasus TBC)," ujar dia.
Julia menjelaskan bahwa rekapitulasi untuk penemuan kasus TBC tahun 2022 belum berakhir dan akan ditutup pada akhir Februari 2023. Sehingga dimungkinkan penemuan kasus TBC di tiga daerah itu masih bisa didapatkan.
Selama tahun 2022 hingga saat ini, persentase temuan masing-masing daerah paling rendah dari target beban TBC yakni Kabupaten Tana Toraja 34,47 persen, Enrekang 37,53 persen dan Toraja Utara 40,02 persen.
"Jika kita tidak segera datang, maka pengidap penyakit TBC bisa menularkan, jadi harus ditemukan sedini mungkin," urai Julia.
Pemerintah Pusat telah menghitung beban TB di setiap provinsi. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan Pemerintah Pusat, Sulsel ditargetkan mendapat beban TB sebanyak 30.985 kasus.
Target ini menurun dari tahun 2021, yakni 31.022, sedangkan tahun 2022 ini Sulsel ditargetkan 30.985 kasus.
Sementara penemuan kasus di Sulsel menunjukkan tren positif karena berhasil mencapai 20.388 kasus atau 65,79 persen dari target nasional di 24 kabupaten/kota.
Koordinator Program Yayasan Masyarakat Peduli Tuberkulosis Sulawesi Selatan atau Yamali TB Sulsel Kasri Riswadi mengatakan rendahnya penemuan kasus TBC di sejumlah daerah terjadi karena dipicu beberapa isu.
"Dari sisi promosi kesehatan, secara umum isu TBC belum diketahui dan dipahami dengan baik oleh masyarakat, masih banyak bahkan warga yang menganggap penyakit menular ini sebagai penyakit keturunan dan guna-guna," urainya.
Selain itu, stigma terkait penyakit TBC juga dinilai masih sangat tinggi, sehingga banyak warga walaupun punya gejala TBC tapi enggan memeriksakan diri dan pengobatan ke layanan kesehatan, karena tidak mau diketahui mengidap penyakit TBC.
Padahal dari sisi kebijakan, persoalan TBC sudah ada pada Perpres Penanggulangan TBC No. 67 tahun 2021. Hanya saja, belum ada Perda, perbub maupun perwali TBC sebagai payung hukum untuk mendukung program penanggulangan TBC untuk eliminasi TBC 2030 sesuai target Pemerintah Pusat.
"Peraturan yang ada belum teriplementasi dengan baik di level daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota," kata Kasri.