Makassar (ANTARA) - Dosen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin (FT Unhas) Farouk Maricar mendorong optimalisasi kolam retensi sebagai upaya mengurangi genangan di Makassar, Sulawesi Selatan.
Farouk Maricar dalam keterangannya di Makassar, Sabtu, mengatakan berdasarkan pantauan pada Bendungan Bili-bili yang mengendalikan air dari hulu Sungai Jeneberang dalam kondisi normal. Demikian pula Kolam Regulasi Nipa-nipa juga tercatat dalam kondisi normal.
Sementara wilayah kota termasuk di daerah pesisir, kata dia, mengalami banjir dan genangan karena curah hujan yang tinggi, namun tidak dapat mengalir secara normal akibat muka air laut yang relatif tinggi.
Anggota Himpunan Ahli Teknik Hidrolik Indonesia (HATHI) ini menjelaskan beberapa wilayah yang awalnya menjadi kantong air berubah menjadi pemukiman. Oleh sebab itu, kata dia, setiap pengembang yang melakukan pembangunan dengan memanfaatkan bekas kantong air harus mempersiapkan kolam komunal sebagai kolam retensi atau detensi.
Khusus Kota Makassar, lanjutnya, sistem drainase yang ada terdiri dari System Drainase Primer berupa sungai dan kanal yang menjadi kewenangan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pompengan Jeneberang Kementerian PUPR. Sedangkan Drainase Sekunder/Tersier menjadi kewenangan Kota Makassar.
Oleh sebab itu, menurut dia, perlu ada koordinasi antar-sektor agar koneksitas tetap terjaga. Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Selatan diharapkan akan menjadi koordinator untuk mengatasi perbedaan kewenangan tersebut.
Farouk mengingatkan curah hujan adalah kondisi alam yang tidak bisa dicegah. Oleh sebab itu yang bisa dilakukan adalah pengendalian guna mengurangi dampak, bukan menghilangkan 100 persen, keberadaan Bendungan Bili-bili dan Kolam Regulasi Nipa-nipa adalah salah satu upaya mitigasi bencana guna mengendalikan kelebihan air atau mengurangi dampak banjir di perkotaan.
“Dipandang perlu melakukan upaya mitigasi bencana sejak dini agar dapat mengurangi dampak genangan di kawasan perkotaan sebab curah hujan tidak dapat dicegah, diantaranya dengan adanya Kolam Regulasi Nipa-nipa dan Bendungan Bili-bili serta kolam retensi untuk pemukiman perumahan dengan memanfaatkan fasum fasos," jelasnya.
Lebih jauh dikemukakan, beberapa contoh saluran drainase yang tidak optimal dan saluran drainase yang mengalami penyempitan di beberapa titik di Kota Makassar, yang mengakibatkan timbulnya genangan saat curah hujan tinggi.
“Ada beberapa contoh saluran drainase di Kota Makassar yang tidak dalam kondisi optimal adalah cross drain di Jalan Pettarani yang penuh dengan utilitas seperti kabel dan pipa, selanjutnya Jalan Andi Jemma yang tidak optimal akibat penyangga beton tidak dibersihkan sehingga sampah tersangkut di dalam saluran. Sementara Sungai Daya yang terletak tak jauh dari Jalan Poros Provinsi dengan lebar 25 meter, menyempit di muara menjadi 1 meter," paparnya.
Farouk menegaskan masyarakat harus menjaga agar tidak membuang sampah di drainase karena dampaknya akan terlihat pada saat hujan.
Dampak yang ditimbulkan adalah kapasitas saluran berkurang serta terjadi penumpukan pada penghalang tertentu yang menyebabkan saluran menjadi tersumbat. Di sisi lain, pemerintah harus mengontrol pemanfaatan ruang yang mengganggu sistem drainase yang ada.
Selain itu, lanjutnya, dalam mengontrol pembangunan harus memperhatikan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR), terutama daerah sempadan sungai dan alur drainase. Beberapa saluran ditemukan mengalami penyempitan dan pendangkalan akibat perizinan pembangunan yang tidak terkontrol.
"Namun demikian kita tetap harus mewaspadai kejadian ekstrem ke depan dengan menjaga kinerja sistem drainase yang ada, agar kinerja tetap baik. Menjaga koneksitas antar-drainase primer dan sekunder/tersier," ujarnya.
Berita ini juga telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Akademisi Unhas paparkan penyebab dan solusi banjir di Makassar
Farouk Maricar dalam keterangannya di Makassar, Sabtu, mengatakan berdasarkan pantauan pada Bendungan Bili-bili yang mengendalikan air dari hulu Sungai Jeneberang dalam kondisi normal. Demikian pula Kolam Regulasi Nipa-nipa juga tercatat dalam kondisi normal.
Sementara wilayah kota termasuk di daerah pesisir, kata dia, mengalami banjir dan genangan karena curah hujan yang tinggi, namun tidak dapat mengalir secara normal akibat muka air laut yang relatif tinggi.
Anggota Himpunan Ahli Teknik Hidrolik Indonesia (HATHI) ini menjelaskan beberapa wilayah yang awalnya menjadi kantong air berubah menjadi pemukiman. Oleh sebab itu, kata dia, setiap pengembang yang melakukan pembangunan dengan memanfaatkan bekas kantong air harus mempersiapkan kolam komunal sebagai kolam retensi atau detensi.
Khusus Kota Makassar, lanjutnya, sistem drainase yang ada terdiri dari System Drainase Primer berupa sungai dan kanal yang menjadi kewenangan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pompengan Jeneberang Kementerian PUPR. Sedangkan Drainase Sekunder/Tersier menjadi kewenangan Kota Makassar.
Oleh sebab itu, menurut dia, perlu ada koordinasi antar-sektor agar koneksitas tetap terjaga. Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Selatan diharapkan akan menjadi koordinator untuk mengatasi perbedaan kewenangan tersebut.
Farouk mengingatkan curah hujan adalah kondisi alam yang tidak bisa dicegah. Oleh sebab itu yang bisa dilakukan adalah pengendalian guna mengurangi dampak, bukan menghilangkan 100 persen, keberadaan Bendungan Bili-bili dan Kolam Regulasi Nipa-nipa adalah salah satu upaya mitigasi bencana guna mengendalikan kelebihan air atau mengurangi dampak banjir di perkotaan.
“Dipandang perlu melakukan upaya mitigasi bencana sejak dini agar dapat mengurangi dampak genangan di kawasan perkotaan sebab curah hujan tidak dapat dicegah, diantaranya dengan adanya Kolam Regulasi Nipa-nipa dan Bendungan Bili-bili serta kolam retensi untuk pemukiman perumahan dengan memanfaatkan fasum fasos," jelasnya.
Lebih jauh dikemukakan, beberapa contoh saluran drainase yang tidak optimal dan saluran drainase yang mengalami penyempitan di beberapa titik di Kota Makassar, yang mengakibatkan timbulnya genangan saat curah hujan tinggi.
“Ada beberapa contoh saluran drainase di Kota Makassar yang tidak dalam kondisi optimal adalah cross drain di Jalan Pettarani yang penuh dengan utilitas seperti kabel dan pipa, selanjutnya Jalan Andi Jemma yang tidak optimal akibat penyangga beton tidak dibersihkan sehingga sampah tersangkut di dalam saluran. Sementara Sungai Daya yang terletak tak jauh dari Jalan Poros Provinsi dengan lebar 25 meter, menyempit di muara menjadi 1 meter," paparnya.
Farouk menegaskan masyarakat harus menjaga agar tidak membuang sampah di drainase karena dampaknya akan terlihat pada saat hujan.
Dampak yang ditimbulkan adalah kapasitas saluran berkurang serta terjadi penumpukan pada penghalang tertentu yang menyebabkan saluran menjadi tersumbat. Di sisi lain, pemerintah harus mengontrol pemanfaatan ruang yang mengganggu sistem drainase yang ada.
Selain itu, lanjutnya, dalam mengontrol pembangunan harus memperhatikan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR), terutama daerah sempadan sungai dan alur drainase. Beberapa saluran ditemukan mengalami penyempitan dan pendangkalan akibat perizinan pembangunan yang tidak terkontrol.
"Namun demikian kita tetap harus mewaspadai kejadian ekstrem ke depan dengan menjaga kinerja sistem drainase yang ada, agar kinerja tetap baik. Menjaga koneksitas antar-drainase primer dan sekunder/tersier," ujarnya.
Berita ini juga telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Akademisi Unhas paparkan penyebab dan solusi banjir di Makassar