Kupang (ANTARA Sulsel) - Akademisi dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Prof. Fredrik Benu, Ph.D menilai, pendekatan distribusi pangan melalui operasi pasar (OP) yang dilakukan Bulog rawan penyimpangan.

Selama ini Bulog menggunakan pendekatan Operasi Pasar yang diserahkan kepada pedagang yang memiliki kontrak distribusi.

"Pendekatan distribusi seperti ini juga jelas rawan penyimpangan, karena justru persoalan Bulog selama ini ada pada aspek pengawasan," kata Fredrik Benu, di Kupang, Kamis terkait sistem distribusi pangan melalui OP yang digunakan Bulog selama ini.

"Kita menyadari bahwa terlalu berat tugas yang harus diemban Bulog menyangkut distribusi pangan untuk wilayah Indonesia yang demikian luas. Tugas ini baru bisa efektif dijalankan jika ada kemitraan yang kuat dengan berbagai pemangku kepentingan lainnya, termasuk swasta pengelola, bahkan birokrat di tingkat bawah beserta masyarakat," katanya.

Tetapi kemitraan yang sudah mulai dibangun antara Bulog dengan swasta penyalur ini hendaknya jangan sampai mengabaikan aspek pengawasan secara efektif dari Bulog, sebagai institusi yang memiliki kewenangan dalam urusan pendistribusian pangan.

"Sejauh catatan kami, sampai saat ini belum terbaca mekanisme standar pengawasan efektif (SOP) yang dijalankan oleh Bulog untuk mengantisipasi persoalan ini," katanya.

Menurut dia, persoalannya bukan pada otoritas institusi tapi pada birokrat yang diserahi tugas untuk melakukan koordinasi.

"Kita jelas memerlukan birokrat yang kuat dan tegas dengan visi yang luas tentang penanganan masalah pangan nasional sehingga mampu menjalankan tugas koordinasi yang lebih efektif. Dan tugas ini ada pada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian," katanya.

Ia juga memberikan catatan tambahan lainnya bahwa Bulog tidak dapat dipaksa untuk menangani masalah logistik dan distribusi seluruh komoditi pangan bagi masyarakat. Sangat tidak mungkin Bulog diserahi tugas berat dengan wilayah pelayanan demikian luasnya.

Karena itu, pemerintah harus berani menetapkan komoditas pangan apa saja yang dapat diserahkan kepada mekanisme pasar sebagai komoditas komersil.

Tetapi harus pula berani untuk menetapkan komoditas pangan apa saja, misalnya beras dan jagung yang mekanisme logistik dan distribusinya diserahkan pada Bulog dengan penekanan pada fungsi pelayanan publik, katanya.

Karena alasan keterbatasan pula, maka pemerintah harus berkenan untuk mendorong proses desentralisasi urusan logistik dan distribusi pangan ke tingkat daerah.

Pemikiran ini muncul karena karakter produksi dan konsumsi pangan di setiap daerah sangat berbeda. Pangan bagi sebagian besar masyarakat NTT adalah soal jagung. Demikian pula Maluku adalah Sagu, dan Papua soal sagu dan ubi jalar, dan produksi sejumlah komoditas ini, kecuali sagu, lebih banyak mengandalkan potensi lahan kering yang ada.

"Persoalan pangan kita jelas berbeda antar daerah, tapi selama ini pendekatan strategis soal pangan bersifat sentralisasi (Jakarta) dan non-diversifikasi (beras)," katanya.

Ia mengatakan harus diakui bahwa pendekatan kebijakan seperti ini yang turut menyebabkan terjadinya kelangkaan pangan di daerah, baik karena pergeseran pola produksi maupun pola konsumsi ke komoditi tunggal beras. S. Suryatie

Pewarta : Bernadus Tokan
Editor :
Copyright © ANTARA 2024