Bondowoso (ANTARA) - Kisah hikmah ini barangkali mampu memantik kesadaran kita mengenai perlunya "mengekang keinginan" pergi haji ke Tanah Suci Mekkah lebih dari satu kali, apalagi berkali-kali.
Suatu ketika salah seorang ulama di Mekkah, yakni Abu Abdurrahman Abdullah ibn al-Mubarak al-Hanzhali al-Mawarzi, tertidur seusai menjalani ritual ibadah haji. Dalam tidurnya, ulama itu bermimpi mendengar percakapan dua malaikat mengenai hanya satu dari ribuan orang berhaji yang statusnya dicatat mabrur oleh Allah Swt.
Pada mimpi itu, malaikat satu bertanya kepada malaikat lainnya, berapa jumlah orang berhaji tahun ini dan berapa orang yang mabrur.
Abu Abdurrahman merasa gemetar dalam mimpi itu ketika mendengar penjelasan malaikat bahwa dari ratusan ribu orang yang datang untuk berhaji, hanya satu orang yang ibadahnya diterima oleh Allah atau mabrur.
Si malaikat menjelaskan bahwa ratusan ribu orang yang berhaji itu datang dari belahan Bumi yang jauh, mereka sudah berupaya mengatasi berbagai kesulitan dan keletihan, namun ikhtiar mereka sia-sia belaka.
Abu Abdurrahman terkejut ketika malaikat itu menjelaskan hanya ada satu orang, meskipun orang itu tidak datang ke Mekkah untuk berhaji, ibadahnya telah diterima dan dinilai sebagai haji mabrur. Semua dosa-dosa orang itu juga sudah diampuni oleh Allah.
Ketika malaikat itu bertanya mengapa orang yang tidak datang ke Tanah Suci justru dinilai sebagai haji mabrur oleh Allah, dijawab oleh malaikat satunya bahwa semua itu adalah kehendak Allah.
Si malaikat juga mengungkapkan jati diri si haji yang berstatus mabrur itu, yaitu Ali bin Al Muwaffaq, tukang sol sepatu di Damaskus, kota terbesar di Suriah.
Mendengar nama si haji mabrur itu, Abu Abdurrahman langsung terbangun dari tidurnya. Ia menjadi penasaran dengan amalan apa yang dilakukan si tukang sol sepatu itu.
Dari Tanah Suci, Abu Abdurrahman tidak langsung pulang, melainkan pergi ke Damaskus untuk menemui si tukang sol sepatu.
Masih dengan rasa penasaran dan hati bergetar, ia kemudian bertemu dengan si haji mabrur itu. Betapa terkejutnya ulama itu ketika mengetahui tampilan si tukang sol sepatu yang terlihat lusuh.
Abu Abdurrahman bercerita mengenai mimpinya dan kini ingin tahu amalan apa yang dilakukan oleh si tukang sol sepatu.
Ali bin Al Muwaffaq, si tukang sol sepatu, bercerita bahwa ia telah puluhan tahun menabung dari menyisihkan penghasilan memperbaiki sepatu untuk biaya haji.
Ketika uang yang dikumpulkan sudah memenuhi ketentuan pergi naik haji, ia menemukan seorang janda tua miskin yang memerlukan bantuan karena kelaparan. Akhirnya, ia membatalkan pergi ke Tanah Suci karena semua uangnya diserahkan ke janda miskin yang terpaksa memasak daging bangkai keledai. Si janda dan anaknya sudah beberapa hari tidak makan.
Mendengar cerita itu, Abu Abdurrahman baru sadar bahwa amalan yang dianggap sebagai haji mabrur, meskipun seseorang tidak menjalankan haji, itu berupa amalan sosial atau kepedulian pada orang yang kelaparan.
Cerita hikmah mengenai si tukang sol sepatu itu relevan dengan wacana yang disampaikan oleh Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengenai wacana larangan naik haji lebih dari satu kali untuk mengatasi antrean yang kini mencapai hingga belasan tahun.
Kewajiban berhaji sesungguhnya hanya satu kali seumur hidup dan selanjutnya adalah sunnah. Berhaji lebih dari satu kali telah menyumbang peran semakin banyaknya calon haji dengan kondisi lanjut usia (lansia).
Sebagai ibadah napak tilas atas perjuangan Nabi Ibrahim dan Ismail pada masa lalu, haji memerlukan ketahanan fisik yang lebih tangguh. Ibadah haji yang dilakukan oleh lansia memerlukan perhatian lebih dari penyelenggara, baik dari pemerintah Saudi Arabia maupun dari Pemerintah Indonesia.
Berdasarkan landasan berpikir itu, apa yang diwacanakan oleh Menko PMK adalah yang patut dipertimbangkan, bahkan didukung, termasuk oleh masing-masing individu yang memiliki harta berlimpah dan punya keinginan untuk berhaji lebih dari satu kali.
Almarhum KH Ali Mustofa Yaqub, semasa menjadi imam besar Masjid Istiqlal, Jakarta, pernah menegaskan bahwa hakikat ibadah haji cukup sekali dilakukan sepanjang hayat, sebagaimana sudah dicontohkan oleh Rasullullah Muhammad Saw.
Ali Mustofa Yaqub bahkan mengingatkan umat Islam di Tanah Air yang sangat mampu atau memiliki harta melimpah agar lebih memprioritaskan ibadah sosial daripada berkali-kali naik haji, yang justru dapat mendorong ibadahnya menjadi makruh atau haram.
Nabi Muhammad memiliki kesempatan beberapa kali untuk naik haji, namun hanya melakukan sekali, dan peluang umrah hanya dua kali dan sekali batal dari sekian peluang yang dimiliki. Nabi lebih mengutamakan menyantuni anak yatim dan para janda yang kini lebih populer dengan sebutan ibadah sosial.
Peringatan bahwa haji berkali-kali berpotensi makruh, bahkan haram, karena ada kemungkinan (godaan) bergesernya motif atau niat, misalnya, ingin mendapat pujian dan mengejar status sosial, atau yang lainnya.
Mereka yang telah menunaikan rukun Islam kelima itu memang akan lebih baik jika dananya digunakan untuk ibadah sosial, seperti membantu biaya pendidikan keluarga terdekat atau tetangga yang anaknya membutuhkan biaya pendidikan.
Ketika menemukan warga lain yang kelaparan, justru harta kita lebih wajib diberikan kepada mereka yang kelaparan dari pada naik haji untuk kesekian kali. Nabi mengingatkan bahwa tergolong tidak beriman seseorang yang dirinya kenyang dan tidak peduli pada tetangganya yang kelaparan.
Haji adalah ibadah yang dampaknya hanya dirasakan secara individu jika ibadah itu berstatus diterima oleh Allah atau mabrur, sedangkan ibadah sosial memberi dampak lebih luas, bahkan bisa menjadi amal jariah tak putus-putus jika dana itu untuk membantu pendidikan, kelangsungan hidup seseorang atau generasi, dan lainnya.
Jika di suatu lingkungan ada warga miskin, bukankah lebih mulia bila orang berkelimpahan harta dan sudah berhaji mengikuti jejak si tukang sol sepatu di Damaskus yang ibadahnya dipuji-puji oleh kalangan malaikat.
Suatu ketika salah seorang ulama di Mekkah, yakni Abu Abdurrahman Abdullah ibn al-Mubarak al-Hanzhali al-Mawarzi, tertidur seusai menjalani ritual ibadah haji. Dalam tidurnya, ulama itu bermimpi mendengar percakapan dua malaikat mengenai hanya satu dari ribuan orang berhaji yang statusnya dicatat mabrur oleh Allah Swt.
Pada mimpi itu, malaikat satu bertanya kepada malaikat lainnya, berapa jumlah orang berhaji tahun ini dan berapa orang yang mabrur.
Abu Abdurrahman merasa gemetar dalam mimpi itu ketika mendengar penjelasan malaikat bahwa dari ratusan ribu orang yang datang untuk berhaji, hanya satu orang yang ibadahnya diterima oleh Allah atau mabrur.
Si malaikat menjelaskan bahwa ratusan ribu orang yang berhaji itu datang dari belahan Bumi yang jauh, mereka sudah berupaya mengatasi berbagai kesulitan dan keletihan, namun ikhtiar mereka sia-sia belaka.
Abu Abdurrahman terkejut ketika malaikat itu menjelaskan hanya ada satu orang, meskipun orang itu tidak datang ke Mekkah untuk berhaji, ibadahnya telah diterima dan dinilai sebagai haji mabrur. Semua dosa-dosa orang itu juga sudah diampuni oleh Allah.
Ketika malaikat itu bertanya mengapa orang yang tidak datang ke Tanah Suci justru dinilai sebagai haji mabrur oleh Allah, dijawab oleh malaikat satunya bahwa semua itu adalah kehendak Allah.
Si malaikat juga mengungkapkan jati diri si haji yang berstatus mabrur itu, yaitu Ali bin Al Muwaffaq, tukang sol sepatu di Damaskus, kota terbesar di Suriah.
Mendengar nama si haji mabrur itu, Abu Abdurrahman langsung terbangun dari tidurnya. Ia menjadi penasaran dengan amalan apa yang dilakukan si tukang sol sepatu itu.
Dari Tanah Suci, Abu Abdurrahman tidak langsung pulang, melainkan pergi ke Damaskus untuk menemui si tukang sol sepatu.
Masih dengan rasa penasaran dan hati bergetar, ia kemudian bertemu dengan si haji mabrur itu. Betapa terkejutnya ulama itu ketika mengetahui tampilan si tukang sol sepatu yang terlihat lusuh.
Abu Abdurrahman bercerita mengenai mimpinya dan kini ingin tahu amalan apa yang dilakukan oleh si tukang sol sepatu.
Ali bin Al Muwaffaq, si tukang sol sepatu, bercerita bahwa ia telah puluhan tahun menabung dari menyisihkan penghasilan memperbaiki sepatu untuk biaya haji.
Ketika uang yang dikumpulkan sudah memenuhi ketentuan pergi naik haji, ia menemukan seorang janda tua miskin yang memerlukan bantuan karena kelaparan. Akhirnya, ia membatalkan pergi ke Tanah Suci karena semua uangnya diserahkan ke janda miskin yang terpaksa memasak daging bangkai keledai. Si janda dan anaknya sudah beberapa hari tidak makan.
Mendengar cerita itu, Abu Abdurrahman baru sadar bahwa amalan yang dianggap sebagai haji mabrur, meskipun seseorang tidak menjalankan haji, itu berupa amalan sosial atau kepedulian pada orang yang kelaparan.
Cerita hikmah mengenai si tukang sol sepatu itu relevan dengan wacana yang disampaikan oleh Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengenai wacana larangan naik haji lebih dari satu kali untuk mengatasi antrean yang kini mencapai hingga belasan tahun.
Kewajiban berhaji sesungguhnya hanya satu kali seumur hidup dan selanjutnya adalah sunnah. Berhaji lebih dari satu kali telah menyumbang peran semakin banyaknya calon haji dengan kondisi lanjut usia (lansia).
Sebagai ibadah napak tilas atas perjuangan Nabi Ibrahim dan Ismail pada masa lalu, haji memerlukan ketahanan fisik yang lebih tangguh. Ibadah haji yang dilakukan oleh lansia memerlukan perhatian lebih dari penyelenggara, baik dari pemerintah Saudi Arabia maupun dari Pemerintah Indonesia.
Berdasarkan landasan berpikir itu, apa yang diwacanakan oleh Menko PMK adalah yang patut dipertimbangkan, bahkan didukung, termasuk oleh masing-masing individu yang memiliki harta berlimpah dan punya keinginan untuk berhaji lebih dari satu kali.
Almarhum KH Ali Mustofa Yaqub, semasa menjadi imam besar Masjid Istiqlal, Jakarta, pernah menegaskan bahwa hakikat ibadah haji cukup sekali dilakukan sepanjang hayat, sebagaimana sudah dicontohkan oleh Rasullullah Muhammad Saw.
Ali Mustofa Yaqub bahkan mengingatkan umat Islam di Tanah Air yang sangat mampu atau memiliki harta melimpah agar lebih memprioritaskan ibadah sosial daripada berkali-kali naik haji, yang justru dapat mendorong ibadahnya menjadi makruh atau haram.
Nabi Muhammad memiliki kesempatan beberapa kali untuk naik haji, namun hanya melakukan sekali, dan peluang umrah hanya dua kali dan sekali batal dari sekian peluang yang dimiliki. Nabi lebih mengutamakan menyantuni anak yatim dan para janda yang kini lebih populer dengan sebutan ibadah sosial.
Peringatan bahwa haji berkali-kali berpotensi makruh, bahkan haram, karena ada kemungkinan (godaan) bergesernya motif atau niat, misalnya, ingin mendapat pujian dan mengejar status sosial, atau yang lainnya.
Mereka yang telah menunaikan rukun Islam kelima itu memang akan lebih baik jika dananya digunakan untuk ibadah sosial, seperti membantu biaya pendidikan keluarga terdekat atau tetangga yang anaknya membutuhkan biaya pendidikan.
Ketika menemukan warga lain yang kelaparan, justru harta kita lebih wajib diberikan kepada mereka yang kelaparan dari pada naik haji untuk kesekian kali. Nabi mengingatkan bahwa tergolong tidak beriman seseorang yang dirinya kenyang dan tidak peduli pada tetangganya yang kelaparan.
Haji adalah ibadah yang dampaknya hanya dirasakan secara individu jika ibadah itu berstatus diterima oleh Allah atau mabrur, sedangkan ibadah sosial memberi dampak lebih luas, bahkan bisa menjadi amal jariah tak putus-putus jika dana itu untuk membantu pendidikan, kelangsungan hidup seseorang atau generasi, dan lainnya.
Jika di suatu lingkungan ada warga miskin, bukankah lebih mulia bila orang berkelimpahan harta dan sudah berhaji mengikuti jejak si tukang sol sepatu di Damaskus yang ibadahnya dipuji-puji oleh kalangan malaikat.