Purwokerto (ANTARA) - Pakar pertanian dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof Suprayogi menilai, mau tidak mau kebijakan impor beras tetap harus dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya menekan gejolak harga komoditas pangan tersebut.
Saat ditemui di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Rabu, Suprayogi mengakui kenaikan harga beras yang terjadi saat ini merupakan suatu fenomena yang tidak bisa dielakkan.
"Ini salah satunya karena faktor alam yang kering lama, sehingga panen padi langka sekali, hanya satu-dua yang bisa panen," kata Guru Besar Ilmu Pemuliaan Tanaman itu.
Ia mengatakan sebagian besar area persawahan yang tidak bisa ditanami padi maupun panen disebabkan oleh minimnya ketersediaan air irigasi, sehingga banyak sekali sawah yang bero atau dibiarkan tanpa ditanami padi.
Menurut dia, area persawahan yang bisa ditanami karena aliran irigasinya bagus, jumlahnya tidak begitu banyak.
Oleh karena sebagian besar area persawahan tidak bisa panen, kata dia lagi, terjadilah kelangkaan pasokan gabah yang berdampak terhadap kenaikan harga beras secara signifikan.
"Saat ini, harga gabahnya saja sudah mencapai kisaran Rp8.000 per kilogram. Sayangnya, harga gabah yang bagus itu tidak membuat petani menjadi sejahtera," kata dia yang terlibat dalam perakitan padi varietas Inpari Unsoed 79 Agritan itu lagi.
Dia mengatakan harga gabah yang tinggi itu dalam bahasa gaulnya "harga PHP (pemberi harapan palsu)", karena tidak semua petani bisa menikmatinya.
Dalam hal ini, kata dia lagi, harga gabah yang tinggi tersebut hanya bisa dinikmati sebagian petani, sedangkan petani lainnya justru menjadi korban harga beras yang melambung.
"Petani itu 'kan konsumen beras juga. Oleh karena tidak punya lumbung, begitu panen, gabahnya dijual, dan sekarang membeli beras yang harganya melambung," ujarnya pula.
Lebih lanjut, Suprayogi mengatakan hal itu merupakan problematik, sehingga mau atau tidak mau pemerintah harus melaksanakan operasi pasar terhadap beras karena suplai dalam negeri sudah cukup berat.
Dengan demikian, kata dia, peran Perum Bulog saat sekarang menjadi penting sekali dengan melepas beras yang dibeli dari petani pada masa panen sebelumnya.
Menurut dia, hal itu dilakukan untuk stabilisasi harga beras di pasar umum bisa turun, bahkan bisa mencapai harga eceran terendah.
Akan tetapi, jika lonjakan harga beras itu tidak bisa ditekan hingga turun, kata dia lagi, minimal harganya tidak terus melonjak.
"Kalau memang tidak bisa lagi, walaupun itu tidak populer, memang ya akhirnya harus impor. Tapi impor pun sekarang ini tidak mudah walaupun pemerintah punya uang, punya devisa, karena banyak negara seperti India yang menyetop ekspor, kalau Vietnam belum," katanya pula.
Ia mengakui impor beras sebenarnya merupakan kebijakan yang tidak disukai, tetapi dapat menjadi terapi yang cukup baik untuk saat ini, dengan asumsi jika Bulog tidak punya stok untuk operasi pasar.
Kendati demikian, dia mengaku tidak tahu dan tidak mencermati apakah Bulog masih memiliki stok beras untuk operasi pasar atau sudah tidak punya.
"Tetapi biasanya, Bulog ini responsif, sehingga kalau harga naik ini kok kelihatannya Bulog itu tidak bisa menurunkan, barangkali biar tidak diartikan Bulog tidak punya stok, karena kemaraunya panjang, sedangkan gudang Bulog tidak besar sekali. Untuk operasi pasar mungkin ya sudah menipis," ujarnya lagi.
Oleh karena itu, dengan kondisi seperti saat sekarang, kata dia, mau atau tidak mau tetap harus impor, mengingat harga gabah yang telah mencapai Rp8.500/kg merupakan harga psikologis yang berat sekali tidak hanya bagi petani, juga masyarakat yang terdampak kenaikan harga beras.
Bahkan, kata dia pula, kenaikan harga beras dapat mempengaruhi inflasi dan bisa menimbulkan keresahan sosial.
"Inflasi dan keresahan sosial ini yang harus diperhatikan serta menjadi pertimbangan operasi pasar. Apakah operasi pasar itu dari beras Bulog atau beras impor, itu tetap penting sekali," kata Suprayogi.
Saat ditemui di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Rabu, Suprayogi mengakui kenaikan harga beras yang terjadi saat ini merupakan suatu fenomena yang tidak bisa dielakkan.
"Ini salah satunya karena faktor alam yang kering lama, sehingga panen padi langka sekali, hanya satu-dua yang bisa panen," kata Guru Besar Ilmu Pemuliaan Tanaman itu.
Ia mengatakan sebagian besar area persawahan yang tidak bisa ditanami padi maupun panen disebabkan oleh minimnya ketersediaan air irigasi, sehingga banyak sekali sawah yang bero atau dibiarkan tanpa ditanami padi.
Menurut dia, area persawahan yang bisa ditanami karena aliran irigasinya bagus, jumlahnya tidak begitu banyak.
Oleh karena sebagian besar area persawahan tidak bisa panen, kata dia lagi, terjadilah kelangkaan pasokan gabah yang berdampak terhadap kenaikan harga beras secara signifikan.
"Saat ini, harga gabahnya saja sudah mencapai kisaran Rp8.000 per kilogram. Sayangnya, harga gabah yang bagus itu tidak membuat petani menjadi sejahtera," kata dia yang terlibat dalam perakitan padi varietas Inpari Unsoed 79 Agritan itu lagi.
Dia mengatakan harga gabah yang tinggi itu dalam bahasa gaulnya "harga PHP (pemberi harapan palsu)", karena tidak semua petani bisa menikmatinya.
Dalam hal ini, kata dia lagi, harga gabah yang tinggi tersebut hanya bisa dinikmati sebagian petani, sedangkan petani lainnya justru menjadi korban harga beras yang melambung.
"Petani itu 'kan konsumen beras juga. Oleh karena tidak punya lumbung, begitu panen, gabahnya dijual, dan sekarang membeli beras yang harganya melambung," ujarnya pula.
Lebih lanjut, Suprayogi mengatakan hal itu merupakan problematik, sehingga mau atau tidak mau pemerintah harus melaksanakan operasi pasar terhadap beras karena suplai dalam negeri sudah cukup berat.
Dengan demikian, kata dia, peran Perum Bulog saat sekarang menjadi penting sekali dengan melepas beras yang dibeli dari petani pada masa panen sebelumnya.
Menurut dia, hal itu dilakukan untuk stabilisasi harga beras di pasar umum bisa turun, bahkan bisa mencapai harga eceran terendah.
Akan tetapi, jika lonjakan harga beras itu tidak bisa ditekan hingga turun, kata dia lagi, minimal harganya tidak terus melonjak.
"Kalau memang tidak bisa lagi, walaupun itu tidak populer, memang ya akhirnya harus impor. Tapi impor pun sekarang ini tidak mudah walaupun pemerintah punya uang, punya devisa, karena banyak negara seperti India yang menyetop ekspor, kalau Vietnam belum," katanya pula.
Ia mengakui impor beras sebenarnya merupakan kebijakan yang tidak disukai, tetapi dapat menjadi terapi yang cukup baik untuk saat ini, dengan asumsi jika Bulog tidak punya stok untuk operasi pasar.
Kendati demikian, dia mengaku tidak tahu dan tidak mencermati apakah Bulog masih memiliki stok beras untuk operasi pasar atau sudah tidak punya.
"Tetapi biasanya, Bulog ini responsif, sehingga kalau harga naik ini kok kelihatannya Bulog itu tidak bisa menurunkan, barangkali biar tidak diartikan Bulog tidak punya stok, karena kemaraunya panjang, sedangkan gudang Bulog tidak besar sekali. Untuk operasi pasar mungkin ya sudah menipis," ujarnya lagi.
Oleh karena itu, dengan kondisi seperti saat sekarang, kata dia, mau atau tidak mau tetap harus impor, mengingat harga gabah yang telah mencapai Rp8.500/kg merupakan harga psikologis yang berat sekali tidak hanya bagi petani, juga masyarakat yang terdampak kenaikan harga beras.
Bahkan, kata dia pula, kenaikan harga beras dapat mempengaruhi inflasi dan bisa menimbulkan keresahan sosial.
"Inflasi dan keresahan sosial ini yang harus diperhatikan serta menjadi pertimbangan operasi pasar. Apakah operasi pasar itu dari beras Bulog atau beras impor, itu tetap penting sekali," kata Suprayogi.