Jakarta (ANTARA) - Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melimpahkan berkas perkara kasus dugaan korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) serta tersangka mantan wali kota Bima Muhammad Lutfi kepada tim jaksa penuntut umum (JPU) untuk disidangkan.
Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri mengatakan berkas perkara Wali Kota Bima periode 2018-2023 Muhammad Lutfi (MLI) dalam kasus tersebut diserahkan kepada tim JPU pada Rabu (27/12), sehingga perkara tersebut dapat segera disidangkan.
"Unsur formal dan material dari isi berkas perkara, sebagaimana penilaian tim jaksa dinyatakan lengkap," kata Ali saat dikonfirmasi di Jakarta, Jumat.
Tim jaksa segera melakukan pelimpahan berkas perkara dan surat dakwaan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dalam waktu dua pekan atau 14 hari kerja.
"Penahanan untuk 20 hari ke depan masih berlaku untuk tersangka dimaksud sesuai dengan kewenangan tim jaksa," tambahnya.
Baca juga: KPK tahan Wali Kota Bima Muhammad Lutfi terkait rekayasa lelang proyek
Sebelumnya, pada tanggal 5 Oktober 2023, KPK menahan Muhammad Lutfi setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi dan TPPU.
Kasus yang menjerat Lutfi berawal pada sekitar tahun 2019. Saat itu Lutfi bersama dengan salah satu anggota keluarga intinya mulai mengondisikan proyek-proyek yang dikerjakan oleh Pemerintah Kota Bima.
Lutfi kemudian meminta dokumen berbagai proyek di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Pemkot Bima.
Dengan memanfaatkan jabatannya, Lutfi kemudian memerintahkan beberapa pejabat di Dinas PUPR dan BPBD Pemkot Bima untuk membuat berbagai proyek yang memiliki nilai anggaran besar dan proses penyusunannya dilakukan di rumah dinas jabatan wali kota Bima.
Nilai proyek di Dinas PUPR dan BPBD Pemkot Bima untuk Tahun Anggaran 2019-2020 itu mencapai puluhan miliar rupiah.
Lutfi kemudian secara sepihak langsung menentukan para kontraktor yang akan dimenangkan dalam lelang proyek-proyek dimaksud.
Baca juga: KPK periksa Pj Gubernur NTB soal izin pertambangan
Proses lelang tetap berjalan akan tetapi hanya sebagai formalitas semata dan faktanya para pemenang lelang tidak memenuhi kualifikasi persyaratan sebagaimana ketentuan.
Atas pengondisian tersebut, Lutfi menerima setoran uang Rp8,6 miliar dari para kontraktor yang dimenangkan.
Salah satu proyek yang terlibat dalam perkara tersebut antara lain proyek pelebaran jalan Nungga Toloweri serta pengadaan listrik dan penerangan jalan umum di perumahan Oi'Foo.
Teknis penyetoran uang kepada Lutfi dilakukan melalui transfer rekening bank atas nama orang-orang kepercayaan Lutfi, termasuk anggota keluarganya
Penyidik KPK juga menemukan dugaan penerimaan gratifikasi dalam bentuk uang oleh Lutfi, dari sejumlah pihak, dan tim penyidik KPK akan terus melakukan pendalaman lebih lanjut.
Atas perbuatannya, yang bersangkutan dijerat dengan Pasal 12 huruf (i) dan atau 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Baca juga: KPK periksa Penjabat Gubernur NTB soal peserta lelang di Pemkot Bima
Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri mengatakan berkas perkara Wali Kota Bima periode 2018-2023 Muhammad Lutfi (MLI) dalam kasus tersebut diserahkan kepada tim JPU pada Rabu (27/12), sehingga perkara tersebut dapat segera disidangkan.
"Unsur formal dan material dari isi berkas perkara, sebagaimana penilaian tim jaksa dinyatakan lengkap," kata Ali saat dikonfirmasi di Jakarta, Jumat.
Tim jaksa segera melakukan pelimpahan berkas perkara dan surat dakwaan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dalam waktu dua pekan atau 14 hari kerja.
"Penahanan untuk 20 hari ke depan masih berlaku untuk tersangka dimaksud sesuai dengan kewenangan tim jaksa," tambahnya.
Baca juga: KPK tahan Wali Kota Bima Muhammad Lutfi terkait rekayasa lelang proyek
Sebelumnya, pada tanggal 5 Oktober 2023, KPK menahan Muhammad Lutfi setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi dan TPPU.
Kasus yang menjerat Lutfi berawal pada sekitar tahun 2019. Saat itu Lutfi bersama dengan salah satu anggota keluarga intinya mulai mengondisikan proyek-proyek yang dikerjakan oleh Pemerintah Kota Bima.
Lutfi kemudian meminta dokumen berbagai proyek di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Pemkot Bima.
Dengan memanfaatkan jabatannya, Lutfi kemudian memerintahkan beberapa pejabat di Dinas PUPR dan BPBD Pemkot Bima untuk membuat berbagai proyek yang memiliki nilai anggaran besar dan proses penyusunannya dilakukan di rumah dinas jabatan wali kota Bima.
Nilai proyek di Dinas PUPR dan BPBD Pemkot Bima untuk Tahun Anggaran 2019-2020 itu mencapai puluhan miliar rupiah.
Lutfi kemudian secara sepihak langsung menentukan para kontraktor yang akan dimenangkan dalam lelang proyek-proyek dimaksud.
Baca juga: KPK periksa Pj Gubernur NTB soal izin pertambangan
Proses lelang tetap berjalan akan tetapi hanya sebagai formalitas semata dan faktanya para pemenang lelang tidak memenuhi kualifikasi persyaratan sebagaimana ketentuan.
Atas pengondisian tersebut, Lutfi menerima setoran uang Rp8,6 miliar dari para kontraktor yang dimenangkan.
Salah satu proyek yang terlibat dalam perkara tersebut antara lain proyek pelebaran jalan Nungga Toloweri serta pengadaan listrik dan penerangan jalan umum di perumahan Oi'Foo.
Teknis penyetoran uang kepada Lutfi dilakukan melalui transfer rekening bank atas nama orang-orang kepercayaan Lutfi, termasuk anggota keluarganya
Penyidik KPK juga menemukan dugaan penerimaan gratifikasi dalam bentuk uang oleh Lutfi, dari sejumlah pihak, dan tim penyidik KPK akan terus melakukan pendalaman lebih lanjut.
Atas perbuatannya, yang bersangkutan dijerat dengan Pasal 12 huruf (i) dan atau 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Baca juga: KPK periksa Penjabat Gubernur NTB soal peserta lelang di Pemkot Bima