Makassar (ANTARA Sulsel) - Potensi-potensi wilayah pengembangan sawit di Indonesia harus terus dipertahankan. Kualitas produknya pun harus tetap dijaga agar tetap diminati negara-negara tujuan ekspor.

Pendapat tersebut dikemukakan dosen Universitas Hasanuddin Prof. Dr. Laode Asrul, salah satu pembicara seminar sehari bertema CSR Industri Sawit dan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat yang diselenggarakan Perum LKBN ANTARA Biro Sulsel di Makassar, Senin.

Untuk itu, masalah-masalah seputar industri sawit dalam negeri juga harus segera diatasi. Menurutnya, ada enam masalah utama yaitu kepastian hukum, tata ruang, tumpang tindih regulasi lahan, bea keluar yang tinggi dan pembatasan kepemilikan hutan.

Di samping itu, persaingan dengan pihak asing di industri minyak nabati juga menghambat industri sawit. Sawit yang banyak dihasilkan Indonesia sangat diperhitungkan bagi minyak nabati seperti "soy bean" yang dihasilkan negara-negara Eropa.

Ketua Bidang Hukum dan Advokasi Gabungan Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Dr. Ir. Tungkot Sipayung mengatakan, dukungan terhadap industri sawit itu sangat beralasan karena sawit merupakan lokomotif pertumbuhan perekonomian Indonesia.

Menurutnya, peran positif dan manfaat sawit sangat luar biasa karena daya sebar (backward lingkages) sawit bernilai lebih besar dari satu. Dampak perkembangan industri sawit ini pada gilirannya menarik perkembangan sektor-sektor lainnya .

Apalagi, lanjut Tungkot yang juga menjabat Direktur Eksekutif PASPI (Palm Oil Industries Agribusiness Strategic and Institute) peluang untuk mengatasi kemiskinan melalui industri sawit ini semakin terbuka karena karakteristik masyarakat pedesaan yang memang masih banyak hidup dari sektor pertanian.

Dari data BPS, 50 persen penduduk Indonesia berada di pedesaan dan 63 persen penduduk miskin Indonesia berada di pedesaan.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Kepala Sawit Indonesia, Asmar Arsjad, efek positif sawit sudah terlihat dari pola kemitraan dengan masyarakat sekitar perkebunan yang selama ini dijalankan perusahaan sawit. Misalnya, dengan menjadikan masyarakat sebagai petani plasma.

Sayangnya, pola yang sudah sangat baik ini, menurutnya, tengah menghadapi banyak hambatan seperti adanya kebijakan bea keluar dan moratorium yang banyak merugikan petani sawit.

Dari sisi petani juga ada kendala yang perlu solusi, yaitu masalah modal. Modal sangat dibutuhkan petani untuk meremajakan kebun plasma.

Sebenarnya sumber dana itu sudah tersedia, yaitu dana bea keluar serta dana moratorium hasil kesepakatan pemerintah Norwegia. Sejauh ini, menurutnya, dana bea keluar yang terkumpul sudah sebesar Rp 100 triliun sedangkan dana moratorium sebesar 1 milyar dolar Amerika dan dana Revitbun Rp500 triliun.

"Manfaatkan dana-dana ini untuk program `replanting`rehabilitas dan perluasan Kelapa Sawit Nasional," katanya yang berharap pemerintah lebih berpihak kepada kelapa sawit rakyat. Agus Setiawan

Pewarta : Riesmawan Yudhatama
Editor : Daniel
Copyright © ANTARA 2024