Jakarta (ANTARA) - Tiga orang pemohon uji materi Undang-Undang Pilkada meminta agar Mahkamah Konstitusi (MK) melindungi eksistensi konstitusionalitas surat suara kosong atau blank vote, sehingga dikategorikan sebagai suara sah.
Para pemohon, antara lain, Heriyanto, Ramdansyah, dan Muhammad Raziv Barokah yang ketiganya memiliki latar belakang sebagai advokat. Berkas permohonan uji materi telah diajukan ke MK pada Kamis.
“Meminta kepada MK untuk menyatakan suara kosong atau blank vote sebagai suara sah pada pilkada dengan dua atau lebih pasangan calon,” kata Heriyanto saat dihubungi ANTARA di Jakarta.
Mereka memohonkan pengujian sejumlah pasal dalam UU Pilkada, yakni Pasal 79 ayat (1) dan Pasal 85 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi UU.
Kemudian, Pasal 94 UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi UU.
Selain itu, Pasal 107 ayat (1) dan Pasal 109 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi UU.
“Permintaan kami intinya meminta agar suara kosong atau blank vote dinyatakan sebagai suara sah pada pilkada dengan dua atau lebih pasangan calon. Jadi, untuk mendukung itu, agar MK mengubah pasal-pasal yang terkait,” imbuh Heriyanto.
Dijelaskan Heriyanto, permohonan uji materi ini dilatarbelakangi oleh kecenderungan warga pergi ke tempat pemungutan suara, tetapi tidak ingin memilih pasangan calon yang ada dalam surat suara. Alhasil, pemilih mencoblos semua pasangan calon atau di luar kolom.
“Tetapi, selama ini aturan yang ada itu dikategorikan sebagai suara tidak sah. Mau coblos semua calon atau coblos di luar calon, itu suara tidak sah. Makanya, kami meminta kepada MK, itu dikeluarkan dari suara tidak sah menjadi suara sah,” kata dia.
Menurut dia, suara kosong berbeda dengan suara tidak sah. Suara kosong berisi kehendak daulat rakyat sebagai bentuk protes terhadap kandidat yang berkompetisi, sementara suara sah disebabkan kesalahan pemilih yang mencoblos tidak sesuai dengan tata cara.
Ia menyebut, praktik suara kosong dihitung sebagai suara sah dapat dilihat di sejumlah negara, termasuk Kolombia, Spanyol, Argentina, Perancis, Mongolia, Ekuador, Bolivia, Brazil, Swiss, Swedia, Belanda, dan beberapa negara bagian di Amerika Serikat seperti Nevada.
Atas dasar itu, Heriyanto dan rekan memohon MK memfasilitasi agar suara kosong atau blank vote dihitung sebagai suara sah dan hasil penghitungannya turut mepengaruhi hasil pilkada.
“Kita meminta kepada MK agar calon terpilih itu adalah calon yang suara terbanyak dan suaranya mengalahkan blank vote. Misalkan, suara calon 33 persen dan blank vote 32 persen. Jadi, blank vote harus di bawah suara calon yang menang,” ucap Heriyanto.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Pemohon uji materi UU Pilkada minta MK sahkan suara kosong
Para pemohon, antara lain, Heriyanto, Ramdansyah, dan Muhammad Raziv Barokah yang ketiganya memiliki latar belakang sebagai advokat. Berkas permohonan uji materi telah diajukan ke MK pada Kamis.
“Meminta kepada MK untuk menyatakan suara kosong atau blank vote sebagai suara sah pada pilkada dengan dua atau lebih pasangan calon,” kata Heriyanto saat dihubungi ANTARA di Jakarta.
Mereka memohonkan pengujian sejumlah pasal dalam UU Pilkada, yakni Pasal 79 ayat (1) dan Pasal 85 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi UU.
Kemudian, Pasal 94 UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi UU.
Selain itu, Pasal 107 ayat (1) dan Pasal 109 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi UU.
“Permintaan kami intinya meminta agar suara kosong atau blank vote dinyatakan sebagai suara sah pada pilkada dengan dua atau lebih pasangan calon. Jadi, untuk mendukung itu, agar MK mengubah pasal-pasal yang terkait,” imbuh Heriyanto.
Dijelaskan Heriyanto, permohonan uji materi ini dilatarbelakangi oleh kecenderungan warga pergi ke tempat pemungutan suara, tetapi tidak ingin memilih pasangan calon yang ada dalam surat suara. Alhasil, pemilih mencoblos semua pasangan calon atau di luar kolom.
“Tetapi, selama ini aturan yang ada itu dikategorikan sebagai suara tidak sah. Mau coblos semua calon atau coblos di luar calon, itu suara tidak sah. Makanya, kami meminta kepada MK, itu dikeluarkan dari suara tidak sah menjadi suara sah,” kata dia.
Menurut dia, suara kosong berbeda dengan suara tidak sah. Suara kosong berisi kehendak daulat rakyat sebagai bentuk protes terhadap kandidat yang berkompetisi, sementara suara sah disebabkan kesalahan pemilih yang mencoblos tidak sesuai dengan tata cara.
Ia menyebut, praktik suara kosong dihitung sebagai suara sah dapat dilihat di sejumlah negara, termasuk Kolombia, Spanyol, Argentina, Perancis, Mongolia, Ekuador, Bolivia, Brazil, Swiss, Swedia, Belanda, dan beberapa negara bagian di Amerika Serikat seperti Nevada.
Atas dasar itu, Heriyanto dan rekan memohon MK memfasilitasi agar suara kosong atau blank vote dihitung sebagai suara sah dan hasil penghitungannya turut mepengaruhi hasil pilkada.
“Kita meminta kepada MK agar calon terpilih itu adalah calon yang suara terbanyak dan suaranya mengalahkan blank vote. Misalkan, suara calon 33 persen dan blank vote 32 persen. Jadi, blank vote harus di bawah suara calon yang menang,” ucap Heriyanto.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Pemohon uji materi UU Pilkada minta MK sahkan suara kosong