Mataram, NTB (ANTARA Sulsel) - Hamparan areal persawahan yang diselingi kebun jagung, menyambut pandangan siapapun ketika memasuki Dusun Karang Bucu, Kelurahan Jagaraga, Kecamatan Kuripan Utara, Kabupaten Lombok Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Pemandangan itu tidak jauh berbeda dengan dusun lainnya, namun ada keunikan tersendiri dari kelompok masyarakatnya yang memiliki semangat tinggi untuk mengetahui hal-hal yang baru yang dapat membantu pengembangan sumber daya manusia di dusun itu.

Sosok perempuan menjelang paru baya, Sitti Aminah tercatat satu di antaranya yang mampu menjadi pionir penggerak warga untuk mendapatkan hak-haknya.

Ketika salah seorang anaknya ingin masuk ke Sekolah Menengah Pertama (SMP), kendala itu pun muncul.

"Anak saya tidak memiliki Akta Kelahiran, dan kalau pun harus mengurus pembuatan Akta Kelahiran itu, kata Komite Sekolah, dibutuhkan biaya sebanyak Rp300 ribu," ucap perempuan yang hanya mengenyam pendidikan sekolah dasar ini.

Dengan segala keterbatasan yang dimiliki, Aminah tidak mau berpangku tangan, dia pun mulai kasak-kusuk mempertanyakan cara mengurus Akta Kelahiran.

Informasi yang didapat bila melalui perantara (calo), sedikitnya dibutuhkan biaya Rp500 ribu, bahkan ada yang mencapai Rp1 juta untuk satu lembar Akta Kelahiran.

Akhirnya, setelah bertanya sana-sini dan mendapat pendampingan dari Pusat Telaah dan Informasi Regional "Community Acces to Information" (Pattiro Cati) NTB, Aminah pun bertekad mengurus sendiri Akta Kelahiran untuk anaknya.

Sedikitnya, hal itu berlangsung selama dua pekan untuk mendapatkan dokumen Pencatatan Akta Kelahiran dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Lombok Barat.

"Saya puas dan bahagia, dapat mengurus sendiri Akta Kelahiran dan biayanya ternyata hanya Rp10 ribu, itupun hanya untuk biaya laminating," tuturnya dengan sinar mata berbinar-binar.

Berangkat dari pengalamannya itu, ibu dari tiga orang anak ini bertekad menularkan pengetahuan dan pengalamannya kepada warga Dusun Karang Bucu, khususnya anggota Kelompok Perempuan Maju Bersama (KPMB) yang sudah menjadi bagian dari hidupnya.

Ibarat pepatah, "gayung bersambut" itulah yang dialami Aminah ketika kelompoknya mendapat pendampingan dari "Pattiro Cati" NTB.

Kalau selama ini kelompoknya (perempuan) hanya berperan seputar kegiatan Posyandu ataupun sosialisasi layanan kesehatan, maka melalui KPMB sebagai "Community Center" lebih memperluas lagi jangkauannya.

Keterbukaan dan rasa ingin tahu menjadi modal utama KPMB, termasuk ketika sosialisasi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) diperkenalkan oleh Nurjannah selaku pendamping dari Pattiro Cati.

"Warga Dusun Karang Bucu ini, sangat inovatif dan terbuka menerima hal-hal baru yang bertujuan meningkatkan kapasitas mereka," ungkap Nurjannah yang telah mendampingi KPMB selama delapan bulan.

Berbaur bersama warga dalam suka dan duka, menjadi perekat antara pendamping dengan warga Karang Bucu, sehingga ketika menyosialisasikan UU KIP dengan bahasa yang lugas dan menggunakan kearifan lokal, anggota KPMB cepat menyerap informasi yang disampaikan.

Mereka pun mulai tahu bahwa UU KIP dapat menjadi "jimat" untuk mendapatkan informasi terkait dengan kebutuhan dasar mereka, kebijakan pemerintah yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, maupun pengalokasian anggaran untuk kepentingan publik.

Salah satu diantaranya, hak mendapatkan dokumen kependudukan seperti Akta Kelahiran telah dibuktikan Aminah bersama Nurul yang merupakan kader Posyandu yang senantiasa mendampinginya, mengurus Akta Kelahiran secara kolektif bagi warga Karang Bucu.

"Banyak hal yang kami dapatkan dari pendampingan Cati dan sosialisasi UU KIP. Dulu, kami takut ke kantor pemerintah untuk mencari informasi atau mengurus keperluan," tukas Nurul.

Namun setelah mengetahui pentingnya KIP itu, lanjut dia, warga dusunnya sudah mendapatkan Akta Kelahiran dengan biaya murah. Dari hasil pengurusan berkas pada tahap pertama, kini sudah ada 20 orang anak dari 13 Kepala Keluarga yang memperoleh Akta kelahiran dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil setempat.

Kini, berkas pengajuan Akta Kelahiran dari 57 KK masih dalam proses penerbitan yang dijadwalkan pada akhir Oktober 2013. Warga yang dulunya dipermainkan calo, karena tidak memiliki akses informasi, kini tidak ingin menjadi korban calo lagi.

"Karena ternyata setelah tahu cara mengurusnya, biayanya tidak semahal yang diminta calo. Cukup dengan foto copy Kartu Tanda Penduduk, KK dan Surat Keterangan Nikah, sudah dapat memenuhi persyaratan pembuatan Akta Kelahiran," timpal Nurul yang menjabat sekretaris KPMB.

Meskipun persyaratan mendapatkan Akta Kelahiran hanya tiga syarat, namun ternyata tidak semua berkas yang diajukan Aminah dan Nurul berjalan mulus.

Hal itu karena sejumlah keluarga yang mengajukan pembuatan Akta Kelahiran untuk anaknya, tidak memiliki Surat Keterangan Nikah.

Dengan bekal semangat "jimat" KIP itu, kemudian Aminah bersama Nurul tak segan-segan keluar masuk kantor pemerintah dari level kelurahan hingga kabupaten untuk mencari solusinya.

"Alhamdulillah, setelah duduk bersama dengan pihak Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil serta aparat desa, akhirnya yang belum memiliki Surat Keterangan Nikah dari Kantor Kanwil Agama atau Catatan Sipil, cukup mencantumkan keterangan nikah dari Kantor Desa/Kelurahan," papar Aminah penuh semangat.

Menurut ibu rumah tangga yang juga berprofesi sebagai petani ini, apabila melalui isbat nikah dengan persidangan di tingkat desa, itu akan memakan waktu lama. Sementara kebutuhan Akta Kelahiran untuk mendaftar sebagai siswa baru ataupun mendapatkan ijazah sekolah, sudah sangat mendesak.

Kini, perlahan tapi pasti, jelaga informasi yang menutupi aktivitas warga Karang Bucu yang mayoritas adalah buruh tani, sudah mulai terkikis.

Rasa percaya diri pun tumbuh untuk mengetahui hak dan kewajibannya sebagai warga negara, sekaligus berpartisipasi dalam proses pembangunan dan tidak lagi sekedar menjadi penonton atau objek dari hasil kebijakan yang memarjinalkan masyarakat ekonomi lemah. EM Yacub

Pewarta : Suriani Mappong
Editor : Daniel
Copyright © ANTARA 2024