Mekanisme pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati, dan walikota) akhir-akhir ini banyak diperbincangkan di berbagai media massa.  Hasil pemilihan presiden yang baru berlangsung membuat peta dan dinamika politik terus berubah.

Tak kurang tokoh nasional yang dulu memperjuangkan pemilihan kepada daerah secara langsung oleh rakyat, kini berbalik memperjuangkan pemilihan kepada daerah cukup dilakukan oleh para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Munculnya keinginan agar kepala daerah dipilih oleh DPRD dilatarbelakangi oleh banyaknya kasus kecurangan yang terjadi saat pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada).

Tingginya biaya penyelenggaraan yang harus ditanggung oleh negara, maraknya money politics, mahalnya biaya pencalonan, bentrokan antarpendukung, perselisihan di Komisi Pemilihan Umum Daerah dan Mahkamah Konstitusi, serta kasus-kasus lain yang terus menggerogoti kenyamanan masyarakat adalah beberapa hal yang mendorong pengubahan pemilihan kepada daerah dari yang sekarang dipilih langsung oleh rakyat menjadi dipilih oleh DPRD.

Maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme di lingkungan pemerintah daerah ditengarai juga merupakan dampak dari pemilihan kepada daerah secara langsung. Sementara itu, pemilihan kepada daerah oleh DPRD dianggap lebih mudah untuk diawasi, lebih efektif, lebih efisien,dan lebih mudah diselesaikan apabila terjadi perselisihan.

Namun, mekanisme ini dianggap merampas hak demokrasi rakyat, tidak mampu melahirkan pemimpin idaman rakyat, dan dikhawatirkan kepala daerah yang terpilih akan menjadi “sapi perah” pada anggota DPRD.

Mekanisme apapun yang dipilih akan selalu memiliki kelebihan dan kekurangan. Pengalaman di era pemilihan kepada daerah yang dilakukan oleh DPRD terdapat pelaku yang berujung pada penjara karena kasus korupsi.

Banyak juga kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat juga harus mendekam di penjara yang diujung kepemimpinannya. Kedua mekanisme tersebut sama-sama bisa melahirkan pemimpin daerah yang merakyat dan berhasil meningkatkan kesejahteraan rakyat yang dipimpinnya.

Kedua mekanisme tersebut juga bisa melahirkan pemimpin daerah yang korup dan menyengsarakan rakyat.  Saat mengemban amanah rakyat, kualitas para kepala daerah  lebih banyak ditentukan oleh kualitas kepribadiannya dan tidak banyak ditentukan oleh mekanisme bagaimana dia dipilih/diangkat menjadi kepala daerah.

                            Kearifan Lokal
Kedua mekanisme yang sekarang diperbincangkan sama-sama pernah diterapkan dan diikuti oleh rakyat. Sebagian besar rakyat bisa menerima pemimpin baru yang terpilih sepanjang mampu menyejahterakan rakyat. Rakyat juga tidak banyak mempermasalahkan mekanisme pemilihan pemimpin mereka.

Bagi rakyat yang penting adalah terwujudnya kehidupan mereka yang lebih adil, makmur, dan sejahtera. Walaupun demikian, sebagai sebuah bangsa, mekanisme pemilihan kepala daerah harus ditentukan agar memiliki legalitas dan kepastian hukum yang kuat. Mekanisme  manakah yang paling sesuai dengan kehidupan masyarakat Indonesia ?.

Bagi rakyat Indonesia, praktik pemilihan pemimpin sudah mereka praktikkan jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk pada 17 Agustus 1945. Masyarakat Indonesia mulai Sabang sampai dengan Merauke telah memiliki mekanisme dalam menentukan kepala desa, kepala kampung, kepala/ketua suku, kepala/ketua nagari, dan pimpinan kemasyarakatan lainnya.

Tulisan ini menggunakan kata "pemilihan kepala desa" atau "pilkades" untuk mengistilahkan model pemilihan tradisional tersebut. Warga desa sudah terbiasa memilih kepala desa secara langsung walaupun mereka tidak pernah mempelajari teori demokrasi yang banyak diajarkan ilmuwan barat.

Setiap warga memiliki hak yang sama dalam menentukan kepada desa yang diinginkannya. Bahkan setiap warga yang merasa mampu memimpin desa juga dapat mencalonkan diri tanpa harus mendapatkan restu dan dukungan dari partai politik manapun.

Pemilihan pimpinan daerah melalui mekanisme ala pemilihan kepala desa merupakan praktik yang telah lama dilaksanakan di seluruh wilayah Indonesia. Model pemilihan semacam ini berbeda dengan dua alternatif yang sekarang diperbincangkan di media massa. Tidak dipilih oleh DPRD dan tidak dicalonkan oleh partai politik yang selanjutnya dipilih oleh rakyat.

Dibandingkan dengan pemilihan secara langsung yang selama ini dilaksanakan, pemilihan kepala daerah ala pemilihan kepada desa (pilkades) memiliki perbedaan antara lain berupa  pencalonan mereka yang tidak melalui partai politik. Mekanisme pemilihan langsung yang sekarang ini dilaksanakan belum mencerminkan kedaulatan yang betul-betul berada di tangan rakyat.

Dalam mekanisme yang sekarang ini berlaku, sebaik apapun gaya kepemimpinan seseorang dan sekuat apa pun arus dukungan politik kepadanya, belum tentu  bisa menjadi kepala daerah. Calon tersebut belum tentu bisa mencalonkan diri apabila tidak melalui partai politik.

Pencalonan kepala daerah melalui jalur independen relatif sulit untuk dilaksanakan. Sementara itu, partai politik memiliki banyak kader dan kepentingan. Guna mendapatkan dukungan dari partai politik diperlukan dana, yang sering disebut dengan “mahar”, yang tidak sedikit.

Dalam mekanisme pemilihan secara langsung yang dewasa ini dilaksanakan sebenarnya kedaulatan rakyat berada dalam sandera partai politik sehingga tidak mudah bagi rakyat mencalonkan diri sebagai kepala daerah ataupun untuk memilih calon yang mereka inginkan apabila tidak dicalonkan oleh partai politik.

Kepala daerah hasil pemilihan secara langsung ala pilkades merupakan pemimpin yang betul-betul dilahirkan dari rakyat dan oleh rakyat. Sementara itu, kepala daerah yang dihasilkan dari mekanisme langsung yang sekarang ini dilaksanakan adalah pemimpin yang dilahirkan oleh partai politik sehingga tidak jarang muncul politik pencitraan agar rakyat memilihnya.

Apabila dikaitkan dengan pemilihan kepala daerah yang dilakukan oleh DPRD, mekanisme pemilihan kepala daerah ala pilkades relatif lebih aman dari praktik money politic. Rakyat yang berjumlah ribuan bahkan jutaan tentu akan lebih sulit untuk dikendalikan pilihannya apabila dibandingkan dengan pemilihan yang dilakukan oleh anggota DPRD.

Anggota DPRD yang jumlahnya hanya puluhan lebih mudah untuk  dikendalikan agar memilih calon tertentu. Apalagi jika anggota DPRD tersebut juga telah mengeluarkan biaya besar untuk dapat duduk di kursi wakil rakyat, mereka akan terdorong untuk mencari potensi pundi-pundi yang dapat menutup atau mengembalikan “modal” pencalonan dirinya saat mencalonkan sebagai anggota DPRD. Kepala daerah yang terpilih melalui mekanisme pemilihan oleh DPRD tentu lebih mementingkan kepentingan para anggota DPRD daripada kepentingan rakyat di daerah tersebut.

Kepentingan kesejahteraan rakyat akan dinomorduakan daripada kepentingan para anggota DPRD, apalagi jika DPRD sewaktu-waktu dapat memberhentikan kepala daerah apabila dianggap melanggar peraturan perundangan ataupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai kepada daerah. Pemilihan langsung oleh rakyat memiliki kekuatan politik dan legalitas yang lebih kuat daripada kepala daerah yang dipilih oleh DPRD.

Pemilihan pemimpin ala pilkades merupakan kearifan lokal yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Mekanisme ini pun telah banyak dimengerti oleh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke.

Kearifan lokal ini sering kali dilupakan karena tidak dilahirkan oleh ilmuwan-ilmuwan barat. Teori politik dari ilmuwan barat laksana baju yang kita impor dan selanjutnya kita pakai.

Belum tentu baju tersebut sesuai dengan ukuran tubuh kita (bangsa Indonesia) dan mampu mengikuti dinamika kehidupan kita. Sementara itu, kita sudah memiliki “baju” yang sudah ratusan tahun kita produksi dan kita gunakan. “Baju” produk kita tersebut juga telah mampu mengikuti perkembangan zaman dan bahkan jauh lebih demokratis daripada demokrasi langsung ala barat yang selama ini ditiru dan ikuti oleh bangsa Indonesia.

    Penutup
Pertentangan mengenai mekanisme pemilihan kepala daerah yang dewasa ini berkembang harus mendapatkan solusi terbaik. Penyelesaian masalah tersebut harus win-win solution bagi semua pihak dan seluruh rakyat Indonesia.

Kembali kepada nilai-nilai yang selama ini lahir dan berkembang di masyarakat tentu merupakan solusi yang dapat diterima oleh sebagian besar rakyat. Apabila para politisi yang menyuarakan demi kepentingan demokrasi dan kesejahteraan rakyat, pilihan solusi ini tentunya dapat diterima.

Kecuali apabila di dalam suara demokrasi dan kepentingan rakyat yang mereka teriakkan terselip keinginan “harus saya atau kelompok saya yang berkuasa”. Ujung dari perdebatan mekanisme pemilihan kepala daerah akan menunjukkan pada seluruh rakyat Indonesia mengenai siapa sebenarnya yang diperjuangkan oleh para politisi yang sekarang pada berteriak lantang.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan petunjuk-Nya sehingga para pengambil keputusan tidak salah dalam menentukan pilihan demi masa depan bangsa Indonesia yang lebih baik, amin.

*) Penulis adalah widyaiswara Kementerian Keuangan pada Balai Diklat Keuangan Malang, Doktor Ekonomi Islam alumni Universitas  Islam Negeri Alauddin Makassar


Pewarta : Dr. Achmat Subekan, S.E., M.Si.
Editor :
Copyright © ANTARA 2024