Makassar (ANTARA Sulsel) - Solidaritas Perempuan Anging Mammiri menggelar aksi damai di DPRD Sulawesi Selatan menolak Undang Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) yang sudah disahkan beberapa waktu lalu.

Ketua Solidaritas Perempuan, Wahidah Rustam, di Makassar, Senin, menegaskan, pengesahan UU Pilkada merupakan ancaman serius bagi proses demokrasi di Indonesia.

"Mereka semua yang di DPR-RI yang telah mengesahkan rancangan undang undang itu tidak pernah memahami betul yang namanya proses demokrasi, meskipun mereka dipilih langsung oleh rakyat," tegasnya.

Wahidah menegaskan, dengan adanya pengesahan RUU Pilkada menjadi undang-undang, otomatis pemilihan kepala daerah gubernur, bupati dan wali kota diserahkan kepada DPRD sesuai tingkatan masing-masing.

"UU Pilkada ini menjadi bukti nyata atas kemunduran proses demokrasi di Indonesia. Pemilihan tidak langsung merupakan bentuk pembatasan terhadap hak politik rakyat, baik perempuan maupun laki-laki," tutur Wahidah.

Dia menambahkan, pengesahan RUU Pilkada sangat jelas membatasi rakyat untuk mengenal dan menentukan pimpinan yang diyakini dapat membawa kepentingan.

Termasuk menghilangkan ruang dan hak politik perempuan untuk akses langsung terhadap pengambilan keputusan, dimana perempuan juga mempunyai hak untuk itu.

"Hak yang seharusnya dipenuhi, dilindungi, dan diperkuat justru dikurangi. Sama halnya dengan akses perempuan untuk terlibat di dalam pengambilan keputusan yang selama ini sangat terbatas, juga dihilangkan. Hal itu jelas sebuah langkah konspiratif yang diambil oleh segelintir elite politik untuk kepentingan partainya dan mengesampingkan kepentingan rakyat," pungkasnya.

Lebih jauh, Wahidah menuturkan, elite politik berhasil mengubah undang-undang tentang MPR, DPD, dan DPRD yang mengarah pada penguasaan di parlemen. Kemudian perubahan undang-undang tersebut juga menghapus seluruh ketentuan yang menyangkut keterwakilan perempuan, salah satunya kuota 30 persen keterwakilan di lembaga legislatif.

"Meski Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan hal tersebut, namun upaya itu memperlihatkan perspektif anggota DPR yang tidak sensitif dan responsif gender," jelasnya.

Wahidah mengungkapkan, upaya anggota dewan untuk menghilangkan hak politik perempuan sangat terlihat dalam dua kebijakan yang baru disahkan. Yakni hak memilih dan menentukan langsung pemimpin daerahnya.

"Perempuan semakin tidak punya ruang untuk menyampaikan pandangan dan menentukan pemimpin daerah atas keputusan politiknya. Padahal sejak pilkada dilakukan secara langsung, pendidikan politik dan pemberdayaan perempuan semakin menguat," katanya.

Tidak hanya itu, sambung Wahidah, sejak pemilihan kepala daerah secara langsung tidak kurang dari 19 perempuan menjadi pemimpin di daerah masing-masing, baik berposisi sebagai bupati/walikota, wakil bupati/walikota, hingga gubernur dan wakil gubernur.

"Makanya kami mendesak MK mengabulkan permohonan pembatalan UU Pilkada. Kemudian kami mengajak seluruh elemen masyarakat, khususnya perempuan untuk bersatu dan menyuarakan perlawanan atas penghilangan hak politik rakyat," tutupnya. Biqwanto

Pewarta : Muh Hasanuddin
Editor :
Copyright © ANTARA 2024