Kupang (ANTARA Sulsel) - Masyarakat Desa Oesao, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, Jumat, mendeklarasikan penolakan terhadap alih fungsi lahan pertanian supaya daerahnya bertahan sebagai lumbung pangan.

Deklarasi itu dibacakan Kepala Desa Oesao, Kecamatan Kupang Timur, Trayanus A Saduk, di hamparan sawah yang mengering setelah masyarakat mendapatkan advokasi dari Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana Dr Karolus Kopong Medan tentang penguatan regulasi desa untuk mencegah alih fungsi lahan.

Oesao berjarak sekitar 25 km arah timur Kupang, ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur, merupakan salah satu lumbung pangan terbesar di wilayah Kabupaten Kupang.

Kebutuhan masyarakat kota dan kabupaten Kupang akan beras, sayur-sayuran serta buah-buahan, sebagian besar didatangkan dari Oesao.

Namun, seiring dengan perjalanan waktu serta kuatnya para pemodal, para pemilik lahan pertanian di wilayah yang subur itu, mulai menjual sawah yang oleh pembelinya dijadikan investasi atau dialifungsikan menjadi perumahan.

"Dari sekitar 505 hektare luas persawahan di Desa Oesao, sekitar 200 hektare di antaranya sudah berubah fungsi menjadi permukiman penduduk serta bangunan-bangunan lainnya," kata Kepala Desa Oesao Trayanus Saduk.

Ia mengatakan alih fungsi lahan di wilayah Oesao semakin tidak terkontrol, sehingga membawa dampak besar terhadap ketersediaan pangan yang mulai terus menurun dari waktu ke waktu.

Mantan Kepala Desa Oesao Philips Saduk mengharapkan Pemerintah Kabupaten Kupang segera membuat sebuah regulasi tentang larangan alih fungsi lahan pertanian untuk kepentingan bisnis dan perumahan serta bangunan lainnya, sehingga menjadi rujukan hukum bagi masyarakat setempat.

"Kalau tidak ada peraturan daerah yang mengatur tentang hal itu (alih fungsi lahan pertanian) maka masyarakat setempat tidak bisa dilarang untuk menjual lahan sawahnya untuk kepentingan nonpertanian," ujarnya.

Ia mengharapkan Fakultas Hukum Undana Kupang sebagai motor penggerak dalam upaya penguatan regulasi desa untuk pencegahan alih fungsi lahan tersebut, perlu membuka ruang diskusi dengan pemerintah daerah serta DPRD setempat untuk membicarakan masalah tersebut secara rutin.

"Kalau tidak ada aturan yang mengaturnya maka tidak ada alasan bagi siapapun untuk melarang petani menjual lahan pertaniannya kepada para pemodal. Boleh saja dijual, yang penting areal tersebut tetap untuk kepentingan pertanian. Ini yang kami harapkan dari pemerintah," katanya.

Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Undana Kupang Dr Karolus Kopong Medan menilai pernyataan mantan kepala desa Oesao tersebut sebagai sesuatu yang logis, sehingga diharapkan DPRD Kabupaten Kupang dapat menyusunnya menjadi sebuah rancangan peraturan daerah inisiatif.

"Memang perlu ada Perda yang mengaturnya, sehingga lahan pertanian yang tersisa tetap dimanfaatkan para petani untuk usaha sawah. Jika tidak ada terobosan seperti itu, maka Oesao yang biasa dikenal orang sebagai lumbung pangan di Kabupaten Kupang, hanya tinggal kenangan," demikian Kopong Medan. A.J.S. Bie

Pewarta : Laurensius Molan
Editor :
Copyright © ANTARA 2024