Jayapura (ANTARA Sulsel) - Pelaksana tugas (Plt) Kepala Sekretariat Komnas HAM Provinsi Papua Frits Ramandey mengatakan, semua pihak di provinsi paling timur Indonesia itu harus terlibat aktif mencegah masuknya kelompok radikal yang melakukan kekerasan atas nama agama.

"Saya kira semua pihak mempunyai tanggungjawab yang sama untuk mencegah terjadinya kekerasan atas nama kelompok tertentu, atau kelompok radikal yang mengatasnamakan agama di daerah ini," kata mantan Ketua Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Jayapura Papua itu, di Jayapura, Minggu.

Frits mengemukakan pendapatanya itu, ketika menanggapi seminar yang digagas oleh Majelis Muslim Papua (MMP) dengan tema Radikalisasi Agama versus Papua Tanah Damai di aula SMKN 3 Kota Jayapura, pada Sabtu (22/11).

Frits menilai apa yang dilakukan oleh MMP merupakan hal yang baik karena memberikan perhatian kepada upaya rekonsiliasi dan perdamaian di Papua, dan patut diikuti oleh semua pemangku kepentingan di Bumi Cenderawasih itu.

"MMP itu kan organisasi muslim, yang lebih paham dan memberikan perhatian kepada upaya rekonsiliasi dan perdamaian di Papua. Mereka mengerti dengan karakter dan nilai-nilai orang Papua maka konsolidasi, diskusi, dialog-dialog yang dibangun pada berbagai tingkatan itu penting untuk membangun rekonsiliasi dalam perspektif HAM, ini amat sangat penting sebagai upaya promosi HAM," katanya.

Mengenai gejala-gejala yang bisa memunculkan gerakan kelompok radikal agama di Papua, Frits menilai hal itu sudah terjadi.

"Memang di Papua ada gejala-gejalanya, anda ingat beberapa waktu lalu ada seorang anak SD yang menggunakan jilbab kemudian dikeluarkan dari sekolah. Itu bisa memicu potensi radikaliasi kebencian terhadap keompok-kelompok tertentu, nah sehingga dari diskusi seperti yang digagas MMP, dialog itu menjadi penting untuk membangun kesepahaman semua stakeholder," katanya.

"Saya pikir MMP secara lokal dia lebih memahami nilai-nilai lokal orang Papua dan dia tidak terjebak dalam sebuah semangat nasional. Karena tidak mungkin kebijakan muslim di nasional itu, belum tentu bisa masuk dalam tingkatan lokal, misalnya ada orang Fakfak, orang Wamena dan Serui, itu ada penyesuaian-penyesuaian, adaptasi tradisi, atau misalnya cara beribadah," katanya.

Menurutnya, MMP sebagai salah satu ormas muslim berkewajiban untuk menjembatani dan membuka ruang komunikasi, apa lagi Papua, hal itu perlu dilakukan karena hampir disemua daerah di Indonesia telah terjadi konflik, yang tentunya bisa saja kelompok radikal mempunyai target berikut adalah Papua.

"Nah, mulai dari sekarang kita harus cegah. Mencegahnya tidak boleh dengan cara tertutup. Misalnya kelompok agama Protestan dan Khatolik, pencegahan itu tidak bisa dilokalisir, tapi pencegahan itu dilakukan dalam bentuk rekonsiliasi terbuka, terus membangun komunikasi," katanya.

Dialog, katanya, menjadi kata kunci dalam membendung radikal agama karena dalam teori pertahanan keamanan, keamaman yang paling kuat adalah keamanan pertahanan rakyat.

"Karena itu di Papua kita hidup dalam sebuah solidaritas yang baik. Tentu itu akan menjadi pagar yang baik dalam menghalau semua upaya-upaya radikalisasi agama yang merugikan," kata mantan wartawan itu.

Sehari sebelumnya, Majelis Muslim Papua (MMP) menggelar seminar sehari dengan tema Radikalisasi Agama versus Gerakan Papua Tanah Damai di aula SMKN 3 Kota Jayapura, Papua, Sabtu pagi hingga sore.

Hadir sebagai narasumber tokoh plurarisme dan multikulturalisme yang juga Direktur Interfidei Yogyakarta Elga Sarapung, peneliti gerakan radikalisasi agama dari IPAC Solahudin, aktivis perdamaian Pastor Jhon Djongga, dan tokoh muslim Papua dari MMP Thaha Al Hamid.  Anwar

Pewarta : Alfian Rumagit
Editor :
Copyright © ANTARA 2024