Makassar (ANTARA) - Di era ketika notifikasi menjadi pengganti percakapan dan emoji seolah menggantikan empati, cinta perlahan kehilangan kedalaman maknanya. 

Generasi muda tumbuh di tengah budaya serba cepat dimana hubungan dibangun lewat like dan runtuh lewat unfollow. Padahal, di balik setiap rasa, tersimpan tanggung jawab yang jauh lebih besar daripada sekadar status hubungan.

Survei Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tahun 2024 mencatat, sekitar 45,5 persen remaja Indonesia telah menjalin hubungan pacaran sejak usia sekolah. Lebih mengkhawatirkan lagi, 22 persen di antaranya mengaku pernah mengalami tekanan emosional akibat hubungan yang tidak sehat, sementara sekitar 17 persen menyebutkan mengalami perundungan digital setelah putus cinta. 

Data ini menggambarkan satu hal penting, yakni sebagian generasi muda belum siap secara emosional untuk menghadapi kompleksitas cinta di era digital.

Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari pergeseran nilai sosial dan minimnya pendidikan karakter yang membahas relasi dan emosi secara sehat. Banyak remaja belajar tentang cinta bukan dari keluarga atau pendidikan formal, tapi dari konten media sosial yang sering kali dangkal dan permisif.

Akibatnya, cinta yang seharusnya menjadi fondasi pembentuk karakter justru berubah menjadi ruang eksperimen yang rawan melukai diri sendiri maupun orang lain, Padahal, cinta bukan sekadar “perasaan”, ia adalah cermin dari kualitas generasi. Bagaimana anak muda mencintai, menghormati, dan memperlakukan pasangannya, merefleksikan bagaimana mereka kelak memperlakukan sesama di masyarakat. 

Cinta yang bertanggung jawab akan melahirkan pribadi yang stabil, empatik, dan berdaya guna. Sebaliknya, cinta yang salah arah justru bisa mencetak generasi yang rapuh, mudah frustrasi, dan kehilangan arah hidup.

Hari ini, pembicaraan soal cinta sering diremehkan, dianggap urusan pribadi. Padahal, ia punya dampak sosial yang luas, mulai dari meningkatnya angka kekerasan remaja, stres mental, hingga penurunan produktivitas belajar. 

Dalam konteks pembangunan karakter bangsa, cinta seharusnya menjadi bagian dari pendidikan bukan sekadar kisah di media sosial. Kita sering mengira cinta hanyalah urusan hati, padahal ia adalah keputusan strategis yang menentukan arah masa depan. 

Bagi remaja, cinta bukan sekadar pengalaman emosional pertama, tetapi juga proses belajar mengenali diri dan dunia. Dalam konteks ini, cinta adalah bentuk investasi bukan dalam arti materi, melainkan investasi nilai, karakter, dan masa depan.

Data Kementerian Kesehatan RI tahun 2024 menunjukkan bahwa lebih dari 42 persen remaja Indonesia mengalami gangguan emosional ringan hingga berat, yang salah satunya disebabkan oleh hubungan personal yang tidak sehat. 

Sementara survei We Are Social dan DataReportal (2025) mencatat, remaja Indonesia berusia 15–24 tahun menghabiskan rata-rata 3,2 jam per hari di media sosial, sebagian besar untuk mengakses konten bertema percintaan. Ini bukan sekadar kebiasaan digital, tetapi cerminan bahwa cinta atau ilusi tentangnya telah menjadi pusat gravitasi identitas generasi ini.

Cinta yang salah arah bisa menjadi jebakan. Tapi cinta yang benar, yang tumbuh bersama nilai dan kesadaran diri, bisa jadi fondasi kuat bagi masa depan. Ketika seorang remaja memilih pasangan yang menghargai proses, belajar, dan visi hidupnya, ia sesungguhnya sedang memilih masa depan yang sehat bukan hanya untuk dirinya, tapi juga bagi bangsa. Karena masa depan bangsa dibangun dari generasi yang mampu mencintai dengan bijak: mencintai dirinya, cita-citanya, dan Tanah Airnya.

Psikolog Goleman (2023) dalam riset tentang emotional intelligence menyebut bahwa keberhasilan seseorang di masa depan lebih banyak dipengaruhi oleh kemampuan mengelola emosi, termasuk cinta dan empati, daripada sekadar kecerdasan intelektual. 

Jika cinta menjadi tempat kita belajar menata emosi, maka ia adalah laboratorium kemanusiaan yang paling jujur. Di sana kita belajar menahan diri, memaafkan, dan memahami batas. Sayangnya, banyak dari kita tumbuh dalam budaya yang menjadikan cinta sebagai konten, bukan komitmen. Kita lebih sibuk menampilkan hubungan di depan kamera, daripada menjaga kedewasaan di belakang layar. 

Padahal, cinta yang matang tidak butuh pembuktian publik. Ia butuh arah, visi, dan tanggung jawab.
Bangsa yang besar dibangun dari individu yang utuh. Dan individu yang utuh lahir dari hubungan yang sehat hubungan yang tidak mengekang, tapi menumbuhkan. 

Ketika remaja Indonesia belajar mencintai dengan cara yang sehat, mereka tidak hanya sedang menjaga hati sendiri, tapi juga sedang membangun ketahanan moral bangsa, Karena sesungguhnya, cinta adalah bentuk awal dari tanggung jawab sosial. Ia melatih kita untuk peduli, setia, dan konsisten. 

Jika cinta bisa menjadi dasar bagi kejujuran dan integritas personal, maka ia juga bisa menjadi fondasi bagi integritas nasional. Cinta yang sehat melahirkan generasi yang siap membangun, bukan menghancurkan. Generasi yang paham bahwa mencintai bukan berarti kehilangan arah, melainkan menemukan makna. 

Dan jika kita ingin bangsa ini tumbuh dengan kuat, maka kita harus mulai dari hal paling sederhana mengajarkan anak muda bahwa cinta bukan pelarian, tapi arah. Bahwa mencintai diri dan orang lain dengan bijak adalah bagian dari mencintai Indonesia itu sendiri.

Cinta bukan sekadar getar di dada atau caption yang diburu likes. Cinta adalah pilihan pilihan yang tiap hari membentuk siapa kita, apa yang kita pegang, dan ke mana langkah bangsa ini akan dituju. 

Ketika remaja memilih pasangan, mereka tidak hanya memilih teman jalan; mereka sedang menanam benih karakter, tanggung jawab, dan masa depan. Jika benih itu dirawat dengan baik, ia akan tumbuh menjadi pohon yang memberi naungan bagi keluarga dan komunitas. Jika diracuni, dampaknya tak hanya merusak pribadi, tetapi juga merambat ke ruang sosial yang lebih luas, 

Faktanya jelas dan tidak bisa kita abaikan. Survei nasional menunjukkan masalah kesehatan mental pada remaja berada pada angka yang mengkhawatirkan jutaan remaja mengalami gangguan emosional dan depresi, yang menuntut perhatian serius dari keluarga, sekolah, dan pembuat kebijakan. 

Data I-NAMHS memberikan gambaran awal prevalensi gangguan mental pada remaja di Indonesia, yang harus menjadi alarm bagi kita semua. 
Di sisi lain, dominasi dunia digital mempercepat pembentukan citra cinta yang semu, waktu layar yang besar dan paparan konten percintaan instan mengubah harapan dan standar hubungan. 

Angka penggunaan internet dan media sosial yang tinggi menunjukkan bahwa pengalaman emosional generasi muda banyak dibentuk di ruang daring ruang yang bisa mendidik, tetapi juga bisa menjerumuskan. 

Data penggunaan internet dan media sosial mempertegas urgensi kontrol dan pendidikan digital untuk anak-anak dan remaja. Kesehatan mental remaja bukan persoalan pribadi semata. Itu persoalan publik. 

UNICEF dan Kemenkes menempatkan isu ini sebagai salah satu prioritas kesehatan remaja karena konsekuensinya nyata yakni menurunnya produktivitas pendidikan, meningkatnya risiko bunuh diri, dan beban sosial jangka panjang apabila dibiarkan. 

Kita tidak boleh menunggu sampai krisis menjadi tragedi yang baru terlihat di statistik. 

Jadi apa yang harus dilakukan? Singkatnya, bertindak terukur dan kolektif. Orang tua harus belajar membaca tanda, sekolah harus memasukkan kecerdasan emosional dan pendidikan relasi ke kurikulum, platform digital harus bertanggung jawab terhadap konten yang mereka sebarkan, dan pembuat kebijakan harus memastikan layanan kesehatan mental yang mudah diakses untuk remaja. Ini bukan soal moralitas semata ini soal investasi masa depan bangsa.

Tulisan ini ditutup dengan satu fakta sederhana dengan memilih dengan bijak dalam hal cinta adalah keputusan kecil yang berdampak besar. Bila setiap remaja mendapat pendidikan emosi yang benar, dukungan sosial yang cukup, dan akses layanan kesehatan mental, maka kita sedang menanam masa depan yang lebih sehat bukan hanya untuk individu itu sendiri, tetapi untuk keluarga, komunitas, dan negara. Jangan biarkan luka menjadi warisan. Mari rawat, ajari, dan bangunlah cinta sebagai fondasi bukan beban bagi generasi berikutnya.

 

*Penulis adalah mahasiswa Universitas Muhammadiyah Makassar.


 


Pewarta : Frotza Alifi
Editor : Riski Maruto
Copyright © ANTARA 2025