Jakarta (ANTARA) - Konflik antara Israel dan Palestina terus menjadi sorotan global. Sejak Oktober tahun lalu, dunia menyaksikan serangkaian serangan dan respons silih berganti, menciptakan gelombang dukungan internasional terhadap Palestina di satu sisi, dan aksi militer Israel di sisi lain.
Sepuluh bulan telah berlalu sejak serangan besar-besaran oleh Hamas dan kelompok pejuang Palestina lainnya melalui Operasi Topan Al Aqsa, yang dilancarkan dari Jalur Gaza ke wilayah Israel selatan, invasi ke wilayah Israel kali pertama sejak Perang Arab-Israel tahun 1948.
Gelombang kekerasan ini tak hanya melibatkan Hamas tetapi juga kelompok pro-Palestina lainnya di Timur Tengah, seperti Houthi dan Hizbullah, yang menjadi ancaman serius bagi Israel, terutama setelah tewasnya tokoh penting seperti Ismail Haniyeh, Ketua Biro Politik Hamas di Teheran, dan komandan senior Hizbullah, Fouad Shukr di Lebanon. Konflik ini mencerminkan kompleksitas dan panjangnya sejarah pertikaian Israel-Palestina, yang telah berlangsung sejak berdirinya negara Israel pada tahun 1948.
Konflik Israel-Palestina berakar sejak akhir abad ke-19, ketika imigrasi Yahudi ke Palestina, yang kala itu berada di bawah kekuasaan Ottoman, meningkat. Ketegangan makin memuncak pasca-Perang Dunia I, ketika Liga Bangsa-Bangsa memberikan mandat kepada Inggris untuk mengelola Palestina.
Konflik antara komunitas Arab dan Yahudi di wilayah ini mencapai puncaknya pada 1947 dengan resolusi PBB yang mengusulkan pembagian Palestina menjadi dua negara, satu untuk Yahudi dan satu untuk Arab. Penolakan terhadap resolusi ini oleh negara-negara Arab memicu Perang Arab-Israel pada 1948.
Aksi kekerasan dan pelanggaran HAM Israel
Sejak saat itu, operasi militer Israel dan pembangunan permukiman di wilayah Palestina telah menyebabkan penderitaan yang luar biasa bagi rakyat Palestina. Seperti Operasi Cast Lead pada 2008--2009, yang mengakibatkan lebih dari 1.400 warga Palestina wafat dan ribuan lainnya terluka. Laporan dari berbagai organisasi HAM menyoroti penggunaan kekuatan berlebihan oleh Israel yang berdampak serius terhadap penduduk sipil.
Penderitaan rakyat Palestina semakin diperparah oleh Operasi Protective Edge pada tahun 2014. Dalam operasi militer yang menargetkan Jalur Gaza ini, lebih dari 2.200 warga Palestina wafat, termasuk lebih dari 500 anak-anak. Serangan tersebut juga menghancurkan infrastruktur vital di Gaza, termasuk rumah sakit dan sekolah, kian memperburuk krisis kemanusiaan yang telah berlangsung lama di wilayah tersebut.
Tindakan kekerasan Israel berlanjut dalam respons terhadap demonstrasi Palestina di perbatasan Gaza pada tahun 2018. Selama aksi protes "Great March of Return," pasukan Israel menembak dan membunuh lebih dari 200 demonstran Palestina, termasuk anak-anak, petugas medis, dan jurnalis. Ribuan orang lainnya terluka. Selain itu, pembangunan permukiman Yahudi di wilayah Palestina yang diduduki, khususnya di Tepi Barat, terus berlanjut, dengan lebih dari 600.000 pemukim Yahudi kini tinggal di lebih dari 200 permukiman. Permukiman ini tidak hanya ilegal menurut hukum internasional, tetapi juga sering menyebabkan penggusuran paksa dan perampasan tanah warga Palestina.
Tembok pemisah yang dibangun oleh Israel di Tepi Barat semakin memperburuk situasi, dengan membatasi pergerakan warga Palestina, memutus akses mereka ke lahan pertanian, pekerjaan, dan layanan kesehatan. Pada tahun 2004, Mahkamah Internasional menyatakan bahwa pembangunan tembok ini ilegal, namun Israel terus melanjutkannya, yang menunjukkan sedikitnya niat untuk menghormati keputusan internasional.
Sejak tahun 2007, Israel juga memberlakukan blokade ketat di Jalur Gaza, membatasi impor barang, dan pergerakan orang. Blokade ini telah menciptakan krisis kemanusiaan yang parah, dengan lebih dari dua juta warga Gaza hidup dalam kondisi kekurangan pangan, air bersih, dan layanan kesehatan yang memadai. Bahkan serangan berlanjut Israel selama 10 bulan terakhir telah merenggut nyawa hampir 40.000 orang, yang sebagian besar wanita dan anak-anak, serta melukai lebih dari 92.000 lainnya.
Di Tepi Barat, ribuan pos pemeriksaan semakin membatasi kebebasan bergerak warga Palestina, memengaruhi akses mereka ke pekerjaan, pendidikan, dan layanan kesehatan. Pembatasan ini sering kali diiringi dengan penghinaan dan pelecehan terhadap warga Palestina.
Harapan untuk solusi dua negara
Pembagian dua negara, yang mengusulkan pendirian negara Palestina yang merdeka berdampingan dengan Israel, telah lama dianggap sebagai solusi paling adil dan berkelanjutan untuk mengakhiri konflik ini.
Namun, berbagai rintangan terus menghalangi tercapainya solusi ini. Pembangunan permukiman yang terus berlanjut di Tepi Barat merusak prospek terbentuknya negara Palestina yang berkelanjutan. Ketidakmampuan kedua pihak untuk mencapai kesepakatan, ditambah dengan kepemimpinan Palestina yang terpecah antara Fatah dan Hamas, kian memperumit upaya negosiasi.
Namun, upaya diplomasi internasional tidak sepenuhnya padam. Pada Juli 2024, China berhasil mempertemukan 14 faksi Palestina dalam sebuah pertemuan di Beijing, yang menghasilkan Deklarasi Beijing. Deklarasi ini merupakan langkah maju menuju rekonsiliasi dan persatuan nasional Palestina, serta menegaskan kembali Palestine Liberation Organization (PLO) sebagai satu-satunya perwakilan sah rakyat Palestina. Pertemuan ini juga menyepakati pembentukan pemerintahan sementara untuk rekonstruksi Gaza pascakonflik serta komitmen untuk mendirikan negara Palestina merdeka dengan Yerusalem sebagai ibu kotanya, sesuai dengan resolusi PBB.
Deklarasi Beijing juga disambut oleh berbagai negara, termasuk Indonesia, yang terus mendukung hak-hak Palestina. Keputusan Mahkamah Pengadilan Internasional (ICJ) pada Juli 2024--meskipun tidak mengikat-- menyatakan bahwa Israel tidak berhak berdaulat atas wilayah yang diduduki, dan bahwa tindakan Israel melanggar hukum internasional yang melarang akuisisi wilayah secara paksa.
Keputusan ICJ ini mendapat dukungan luas dari komunitas internasional, dengan sejumlah negara seperti Australia, Brasil, Norwegia, dan Spanyol, memperkuat dukungan mereka terhadap Palestina. Bahkan, beberapa negara baru seperti Irlandia dan Slovenia secara resmi mengakui kedaulatan Palestina, menambah daftar panjang negara-negara yang mendukung perjuangan rakyat Palestina.
Tanda-Tanda keruntuhan Israel
Di tengah tekanan internasional yang semakin kuat, tanda-tanda keruntuhan Israel sebagai negara Zionis semakin nyata. Ilan Pappe, seorang sejarawan dan aktivis sosialis asal Israel, dalam esainya yang dipublikasikan pada Juni 2024, mengidentifikasi enam indikator yang menunjukkan keruntuhan Zionisme, fondasi utama pendirian Israel. Salah satu indikator utamanya adalah perpecahan dalam masyarakat Yahudi Israel sendiri, yang kini terbelah menjadi dua kelompok utama: "kelompok negara Israel" yang lebih sekuler dan liberal, dan "kelompok negara Yahudi" yang lebih konservatif dan religius.
Perpecahan ini diperburuk oleh krisis ekonomi yang melanda Israel, dengan perekonomian negara itu merosot hampir 20 persen pada kuartal terakhir tahun lalu. Ketergantungan Israel pada bantuan keuangan Amerika Serikat semakin memperburuk situasi, sementara konflik internal antara kelompok pro "negara Israel" dan "negara Yahudi" kian memaksa elite ekonomi untuk memindahkan modal mereka ke luar negeri.
Isolasi internasional Israel juga makin meluas, dengan banyak negara mulai menerapkan sanksi ekonomi terhadap Israel. Perubahan besar dalam sikap pemuda Yahudi di seluruh dunia, yang kini semakin menjauh dari Zionisme dan mendukung gerakan solidaritas Palestina, juga menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan negara Israel. Dukungan lobi Israel di tingkat global yang semakin terkikis, menunjukkan perubahan signifikan dalam dinamika politik global.
Militer Israel, meskipun tetap kuat, kini menghadapi tantangan besar. Keterbatasan militer Israel terungkap selama serangan pada 7 Oktober 2023, yang menunjukkan ketergantungan Israel pada koalisi regional yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Di sisi lain, semangat juang generasi muda Palestina semakin menguat, dengan mereka semakin terorganisasi dan memiliki visi yang jelas untuk masa depan Palestina.
Menurut Ilan Pappe, solusi dari masalah ini bukanlah sekadar perdamaian, melainkan dekolonisasi, sebuah langkah yang menuntut perubahan mendasar dalam struktur politik dan sosial di wilayah tersebut. Generasi muda Palestina kini memimpin dalam menyusun proposal untuk Palestina pascakolonial dan non-Zionis, dengan harapan menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara.
Konflik Israel-Palestina tetap menjadi salah satu konflik paling rumit dan berdarah dalam sejarah modern. Meskipun solusi dua negara sering dianggap sebagai jalan keluar terbaik, realisasinya masih jauh dari kenyataan.
Pada akhirnya, solusi dua negara hanya dapat terwujud jika ada kesediaan dari kedua belah pihak untuk berkompromi dan mengutamakan kepentingan bersama daripada kepentingan masing-masing.
Meskipun jalan menuju perdamaian masih panjang dan penuh rintangan, komitmen untuk mencari solusi yang adil dan berkelanjutan harus tetap menjadi tujuan utama semua pihak yang terlibat dalam konflik ini.
Editor: Achmad Zaenal M