Kupang (ANTARA Sulsel) - Ketua Seksi Bimbingan Masyarakat Nelayan Himpunan Nelayan Indonesia Kota Kupang Wahab Sidin berpendapat larangan menangkap lobster yang panjang badannya kurang dari delapan centimeter adalah sebuah kebijakan yang positif bagi Nusa Tenggara Timur (NTT).

"Kalau pemerintah melarang penangkapan lobster baik, dan itu akan membantu melindungi ekosistem di wilayah perairan laut NTT dari tindakan-tindakan nelayan luar yang menggunakan segala cara untuk menangkap lobster," kata Wahab Sidin, di Kupang, Rabu.

Dia mengatakan, selama ini para nelayan terutama yang berasal dari luar NTT melakukan penangkapan lobster di perairan NTT dengan cara menyelam dan menbius daerah sekitar karang untuk mematikan lobster.

Selain itu, para nelayan ini juga sering menggunakan bahan alami yakni tembako dicampur dengan rinso. Campuran ini disiran di atas karang-karang sehingga membuat lobster mabuk.

"Peralatan yang digunakan ini juga merusak alam di laut. Jadi kalau menteri larang ya..pantas," katanya.

Pemerintah mengeluarkan Permen Nomor 1 Tahun 2015 tentang larangan penangkapan lobster, kepiting, dan rajungan serta Permen Nomor 2 Tahun 2015 yang melarang penggunaan trawl hela, termasuk sejumlah alat yang selama ini digunakan nelayan tradisional seperti cantrang dan dogol.

Kedua permen itu dikeluarkan untuk mencegah ekploitasi berlebihan di laut yang bisa menyebabkan makin menurunnya tangkapan nelayan.
Wahab Sidin menambahkan banyak sekali menjumpai para nelayan menggunakan kompresor untuk membius lobster serta penggunaan bahan komia lainnya yang merusak karang.

Namun, tidak semua nelayan tradisional NTT menggunakan peralatan seperti ini untuk menangkap lobster.

Di wilayah perairan Kabupaten Alor dan Lembata misalnya, para nelayan masih menggunakan alat tangkap pancing untuk mencari lobster.

Karena itu, menurut dia, Permen 1 dan 2 2015 harus didukung demi kelestarian di wilayah perairan laut, khususnya di NTT. A.J.S. Bie

Pewarta : Bernadus Tokan
Editor : Daniel
Copyright © ANTARA 2024