Makassar (ANTARA Sulsel) - Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Sulawesi mengecam tindakan aparat kepolisian Satuan Brimob atas perampasan tanah adat Seko guna memuluskan jalan pembangunan PLTA Seko di Luwu Utara, Sulawesi Selatan.

"Kami mengecam segala bentuk perampasan hak hak dasar bagi seluruh rakyat Indonesia. Kami percaya silang sengkarut perampasan hak wilayah dalam ruang hak ekosob akan melahirkan perampasan hak atas sipil politik," kata Badan Pekerja KontraS Sulawesi Asyari Mukrim, Kamis.

Dalam siaran pers diterima di Makassar, Asyari menyebut ada upaya pihak perusahaan PT Seko Power Prima memaksakan pembangunan PLTA yang sedianya akan dibangun diatas tanah masyarakat adat Seko di Luwu Utara.

Ia menyebutkan pasukan brimob telah diterjunkan dilokasi pada Rabu 21 Oktober bersama jajaran perusahaan dan pihak Pemerintah setempat guna memaksakan pengawalan di lokasi pembangkit tersebut padahal sudah ditolak masyarakat adat.

"Sampai hari ini polisi dan orang bayaran masih melakukan pemantauan dan pengawalan di lokasi tanah adat. Mereka tetap bersikukuh melakukan penjagaan," paparnya.

Kendati dilakukan penjagaan, lanjutnya masyrakat tanah adat juga bersikap rekatif dengan memasang palang di tengah jalan dan bersiap menghalau upaya aktivitas pembangunan.

"Kondisi ini dikhawatirkan akkan menyebabkan semakin tingginya eskalasi konflik yang berujung pada aksi kekerasan," sebut Kepala Biro Penelitian dan Pengembangan KontraS Sulawesi.

Senada Kepala Devisi Advokasi dan Kampanye KontraS Sulawesi Andi Ismira menyatakan Pemerintahan Kabupaten Luwu Utara dan perusahaan PT. Seko Power Prima diduga telah melakukan praktik perampasan hak atas tanah masyarakat adat Seko.

Selain itu telah melanggar konsep persetujuan pembangunan bebas tanpa paksaan yang telah disepakati secara global bagi segenap masyarakat adat global.

Ia menyebut konsep tersebut dikenal dengan terma Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) yang merujuk pada jaminan hak atas wilayah adat bagi masyarakat adat.

Menurut dia, situasi ini juga menujukkan bahwa karakter pembangunan yang diamini oleh rezim pemerintah sekarang, adalah pembangunan yang hanya merunut pada faktor kepentingan modal semata tanpa mempertimbangkan jaminan atas pemenuhan hak-hak asasi manusia.

"Kami mendorong solidaritas guna mendukung perlawanan Masyarakat Adat Seko. Selain itu, Kami juga mendesakkan agar pemaksaan dan kekerasan tidak boleh menjadi jalan keluar dalam konflik apapun, apalagi mengatasnamakan pembangunan," tegasnya.

Indikasi terjadinya kekerasan telah mulai tampak di lokasi peristiwa, dimana hari ini warga telah mendapati ancaman akan terjadinya penangkapan terhadap masyarakat adat Seko. "Kami akan terus melakukan pemantauan atas peristiwa ini," tambah Ismira.

Pewarta : Darwin Fatir
Editor :
Copyright © ANTARA 2024