Makassar (ANTARA Sulsel) - Gonjang-ganjing masuknya beras impor di Indonesia, baik secara legal maupun "diam-diam" selalu menjadikan petani lokal menjadi gundah.

Kegundahan itu juga dirasakan oleh petani di Sulawesi Selatan (Sulsel) yang daerahnya dikenal sebagai salah satu lumbung pangan nasional.

Perum Bulog yang menjadi badan teknis mengatur masalah persediaan dan distribusi pangan, khususnya beras, menekankan bahwa pengadaan beras impor tersebut hanya untuk menjaga stok nasional. Bukan untuk kepentingan komersial yang bakal menguntungkan pihak-pihak tertentu.

Komitmen pemerintah itu diharapkan dapat meminimalisasi kegundahan petani lokal, sekaligus dapat menjadi satu pegangan bagi penentang beras impor yang dinilai akan membuat petani lokal semakin terpuruk.

"Kondisi yang selama ini sudah dijalani, petani lokal harus diperhadapkan dengan harga sarana produksi yang tinggi, sementara harga produksinya sendiri rendah," kata Ketua Kelompok Tani Toddopuli M Wahid di Kabupaten Maros, Sulsel.

Menurut dia, itu tidak sebanding dengan jerih payah dan biaya yang telah keluarkan petani.

Sebagai gambaran, untuk mengerjakan satu petak sawah seluas satu hektare, minimal dibutuhkan biaya sekitar Rp2 juta hingga Rp3 juta mulai dari musim tanam hingga panen.

Sementara hasil yang diperoleh, hanya berkisar Rp2,5 juta. Itu pun kalau tidak berbenturan dengan musim hujan yang dapat menurunkan kualitas produksi.

Disisi lain, Sulsel setiap tahunnya memperoleh surplus sekitar 2,5 juta ton beras dari total produksi sekitar 3,5 juta ton beras. Sebagian dari surplus itu sudah digunakan untuk menyuplai sedikitnya 12 provinsi di Indonesia.

"Sulsel telah menyuplai ke daerah di Kawasan Timur Indonesia (KTI) dan juga di sejumlah daerah di Kawasan Barat Indonesia (KBI) seperti Jakarta, Riau, Bengkulu dan sebagainya," kata Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo.

Gubernur Sulsel menjamin tak akan ada beras impor yang beredar di Sulsel, karena beras produksi lokal mampu menutupi kebutuhan konsumsi sekitar delapan juta jiwa penduduk di daerah itu.

"Sampai saat ini belum ada beras impor yang dilempar ke Sulsel, bahkan kalau ada beras impor yang beredar di pasar, sebaiknya ditelusuri dari mana, apakah legal atau illegal?" ujarnya.

Karena itu, masyarakat Sulsel diminta agar tidak perlu risau dengan masuknya beras impor, karena beras itu hanya akan menutupi daerah-daerah yang minus. Meskipun sudah ada jaminan dari pemerintah bahwa beras impor tidak akan memasuki areal Sulsel, namun Ilyas dari Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), tetap mewanti-wanti agar pemerintah memperketat pengawasan peredaran beras impor.

Menyikapi kemelut persoalan perberasan di negeri ini, Ketua Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) Sulsel M Asri mengatakan, sebenarnya untuk optimalisasi pengadaan beras, cukup memberikan perhatian khusus pada petani dengan mempermudah untuk mendapatkan sarana produksi pada saat membutuhkan.

Sementara pada saat panen, produksi petani hendaknya dibeli dengan harga yang dapat membuat petani bertahan hidup dan tidak berpindah ke profesi lainnya.

Proteksi terhadap petani lokal dinilai penting, apalagi dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang memungkinkan produksi pangan negara tetangga masuk ke Indonesia.

Hal senada dikemukakan pengamat sosial ekonomi Dr Hurriah AH di Makassar. Menurut dia, sepanjang masih ada yang dapat dibeli pemerintah di dalam negeri (dari petani lokal), lebih baik mengeluarkan tambahan anggaran untuk menyejahterakan petani lokal, daripada mengeluarkan anggaran pengadaan beras impor.

Untuk melihat persoalan beras ini, sedikit banyak pemerintah diuji ketebalan rasa nasionalismenya dan sejauh mana upayanya menyelamatkan petani lokal.

Dalam menghadapi MEA, lanjut dia, petani lokal harus dibekali pengetahuan dan keterampilan dalam meningkatkan produksinya, bukan sekadar memberikan bantuan sarana produksi dan yang lainnya.

Karena itu, lanjut dia, ini akan menjadi tantangan bagi pemerintah pusat maupun daerah untuk lebih memperhatikan petani lokal dari momok beras impor.



Hadapi MEA

Dalam menghadapi MEA, petani Indonesia khususnya petani di wilayah sentra poduksi beras harus menyiapkan amunisi agar mampu menghadapi persaingan dengan produsen asing.

Salah satu upaya itu, menurut Kadis Perindag Sulsel Hadi Basalah dengan melakukan mendorong upaya pemasaran bersama. Hal itu dapat dilakukan apabila organisasi petani semakin kuat.

"Dengan pemasaran bersama itu juga meningkatkan posisi tawar petani lokal," katanya.

Dengan pemasaran bersama, lanjut dia, diharapkan ada suasana saling terbuka atas produksi pasar, sehingga ke depan sistem dan mekanisme pemasaran bisa lebih jelas.

Sejauh ini belum ada kesepakatan bersama yang menyatakan MEA akan menguntungkan, terutama sektor pertanian. Untuk itu petani lokal harus mempersiapkan diri agar bisa berkompetisi ketat dengan petani asing.

Menanggapi hal tersebut, salah seorang petani di Kabupaten Sidrap, Sulsel, Mappiasse mengatakan petani setiap musim tanam maupun panen hanya berharap agar pemerintah selalu hadir sebagai garda terdepan melindungi petani.

Ketua Kelompok Tani Marennu ini mengatakan, pada musim tanam petani membutuhkan sarana produksi agar dapat melakukan pemupukan tepat waktu, sedang pada musim panen petani membutuhkan harga yang pantas.

"Namun fenomena di lapangan, kerap petani kesulitan mendapatkan sarana produksi pada saat pemupukan tanaman, sementara pada saat panen berlimpah harga menjadi anjlok," katanya.

Kondisi itulah yang bisa memicu petani menjadi putus asa dan akhirnya beralih usaha menjadi petambak, pedagang dan bahkan menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di negeri tetangga.

Fenomena itulah yang hendaknya dapat dicermati oleh pengambil kebijakan di negeri ini, jika tidak ingin melihat profesi petani bukan lagi menjadi suatu kebanggaan, tetapi menyengsarakan dan patut dijauhi.

Apabila itu terjadi, maka beras imporlah yang akan berkuasa di negeri ini dan itu artinya ketahanan pangan dalam negeri ditentukan oleh negara-negera importir yang tak lain adalah negara tetangga sendiri.

Pewarta : Suriani Mappong
Editor : Daniel
Copyright © ANTARA 2024