Makassar (ANTARA Sulsel) - Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sulawesi Selatan telah menghabiskan anggaran negara senilai Rp22,6 miliar selama dua tahun terakhir hanya untuk membahas Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) untuk dijadikan Peraturan Daerah.

"Selama dua tahun terhitung 2014-2015 DPRD Sulsel menghabiskan anggaran cukup banyak. Dari fungsi legislasi pada 2015 ada 15 Ranperda dalam Prolegda dan hanya satu yang berhasil disahkan menjadi Perda," ungkap Direktur Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Sulsel Musaddaq, Selasa.

Dalam diskusi terbuka kinerja dua tahun DPRD Sulsel itu dirinya juga menyebut tahun ini Dewan akan kecipratan dana pembahasan Ranperda dengan kembali dialokasikan anggaran sebesar Rp18,86 miliar untuk membahas 15 Ranperda.

Selain dari anggaran pembahasan Ranperda, lanjut dia, tidak ketahui berapa yang dikeluarkan untuk biaya konsultasi staf ahli guna pembuatan naskah akademik.

"Sejauh ini tidak diketahui berapa anggaran yang dikeluarkan kepada konsultan staf ahli yang membuat draf atau naskah akademiknya. Ini menjadi pertanyaan publik sebesar itukah anggaran untuk membuat perda, dan seefektif apakah Perda itu bila disahkan," ucapnya.

Menurut dia sejak dilantik pada 24 September 2014, sebanyak 85 anggota DPRD Sulsel itu belum menunjukkan ketiga fungsinya dengan baik bahkan grafik kinerja yang terlihat belum memuaskan publik, walaupun anggaran yang sudah digelontorkan guna mendukung kinerja peningkatan anggota dewan tersebut.

Bahkan fungsi pengawasan anggota dewan, kata Musaddaq, belum berjalan maksimal, indikatornya masih banyak Perda belum berjalan dengan maksimal sebut saja Pendidikan Gratis, dimana masih ada daerah yang tidak memanfaatkan dana sharing seperti di Kabupaten Bulukumba dengan temuan Rp53 miliar tidak tersalurkan.

Kemudian fungsi pengganggaran atau Budgeting, papar dia, belum berjalan dengan baik. Masih banyak anggaran yang diusulkan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang tidak rasional, namun lepas dari pantauan legislator tersebut.

Sebut saja untuk Proyek Central Poin of Indonesia (CPI) yang telah menghabiskan anggaran APBD kurang lebih Rp200 miliar tidak jelas peruntukannya bahkan diduga proyek ini lebih berpihak kepada koorporasi ketimbang kepada rakyat miskin dan para nelayan disekitar wilayah reklamasi.

"Berdasarkan Undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pasal 118 huruf K disebutkan, anggota DPRD diwajibkan untuk memberikan pertanggungjawaban secara moril dan politis kepada konstituennya. Penyampaian itu disampaikan pada setiap masa reses," beber dia.

Sementara Pakar Hukum dari Universitas Bosowa 45 Prof Marwan Mas dalam diskusi itu mengungkapkan dua tahun kinerja anggota DPR dan DPRD dinilai publik mengecewakan, sebab banyak diantaranya terlibat kasus korupsi dan narkoba serta masalah lainnya. Selain itu dirinya menyebut ada dugaan Ranperda diperjualbelikan.

"Dugaannya, ada banyak Ranperda itu diperjualbelikan utamanya menyangkut ekonomi. Satu pasal saja itu bisa miliaran harganya, dimaksudkan untuk menguntungkan pengusaha ketika itu dilegislasi dewan. Bahkan kecenderungan pembahasan Ranperda tidak sejalan dengan amanah konstitusi," ungkap Marwan.

Dirinya menuturkan tidak sedikit Ranperda masih bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945. Kendati Ranperda itu disahkan menjadi Perda tetapi sangat jarang dikoreksi apalagi direvisi pemerintah maupun dewan selaku pengusul Perda tersebut.

"Pada proses penganggaran biasanya ada oknum dan menjadi broker anggaran, hal ini terbukti dari beberapa kasus yang terkuak di permukaan. Terkadang bila itu pengadaan infrastruktur mereka mengambil dananya dulu kemudian menandai agar dijadikan pemenang pada proyek itu. Kan banyak kasus terjadi penangkapan oleh KPK," kata mantan anggota polisi ini.

Pewarta : Darwin Fatir
Editor : Daniel
Copyright © ANTARA 2024