Makassar (Antara Sulsel) - Penasehat hukum terdakwa Jusman menilai jawaban atas eksepsi atau nota keberatan yang bacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Pengadilan Negeri Makassar, Sulawesi Selatan, janggal jawabannya hanya duplikasi dari dakwaan dan dakwaan tidak didukung alat bukti.

"Tanggapan JPU atas eksepsi kami pada uraian dakwaan subsidair dan lebih subsidair merupakan hasil copy paste (duplikasi) dari uraian dakwaan primer JPU, serta dakwaan tanpa ada alat bukti dan barang bukti yang digunakan korban menikam, kami anggap janggal," ujar tim penasehat hukum, Abdul Azis usai sidang ketiga di Pengadilan Negeri Makassar, Senin.

Terdakwa Jusman adalah pelaku dugaan penikaman anggota Sabhara Polda Sulsel Bripda Michael saat menyerang Balai Kota Makassar.

Selain itu, penghilangan pasal 170 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) ayat (2) ke-3 dan penambahan pasal 354 ayat (2) KHUP jelas keliru, karena korban saat itu membela diri atau dalam keadaan terpaksa saat diserang oknum aparat di kantornya pada 7 Agustus 2016.

Bahkan korban yang tertikam setelah kejadian itu, lanjutnya, tidak dilakukan outopsi tetapi hanya mendapat visum di Rumah Sakit Akademis, padahal faktanya, ada dua luka yang berada di tubuh korban satu di punggung sebelah kiri dan pada bagian perut. Menurut pengakuan terdakwa hanya satu kali menikam korban.

"Inilah kejanggalan-kejanggalan yang terjadi, bahkan JPU tidak mampu menghadirkan saksi-saksi lain saat kejadian itu terjadi di dalam mess. Padahal, ada lima orang oknum polisi masuk di ruangan itu, tetapi malah menjadi saksi adalah teman anggota Satpolnya sendiri yang tidak melihat kejadian itu. Harusnya dijadikan saksi oknumnya," beber dia.

Tidak hanya itu, kepolisian juga tidak mengembangkan kasus ini mengarah ke pelaku lain, mengingat dalam perkara ini terdakwa sekaligus korban dipukuli habis-habisan oleh oknum bersangkutan di dalam kantornya sendiri, bahkan suara tembakan jelas terdengar, sehingga terdakwa melakukan pembelaan. Ada dugaan korban tertembak teman sendiri saat kejadian, melihat fakta ada dua luka ditubuhnya.

Kemudian, jawaban atau tanggapan eksepsi disampaikan JPU terkesan untuk membantah fakta di lapangan dengan berusaha meminta kepada hakim menolak eksepsi penasehat hukum, padahal faktanya jelas.

Meski pelaku terpaksa mengakui telah menikam satu kali, tetapi barang bukti badik seperti disampaikan JPU sampai sekarang tidak bisa ditunjukan.

"Seharusnya ada hasil otopsi guna menguatkan itu, sebab ada dua luka di tubuh korban. Hasil visum dari kedokteran memang sah, tetapi hasil otopsi bisa lebih akurat. Kami akan menghadirkan saksi ahli terkait perkara ini," ucap mantan Direktur LBH Makassar itu.

Sementara dalam salinan jawaban JPU atas eksepsi itu, beberapa poin yang janggal tertulis, mengenai pembelaan terpaksa bahwa alasan pihak lawan telah memulai dengan membuat onar, bukan merupakan adanya daya paksa membalas suatu serangan dengan suatu serangan balasan, bukan merupakan tindakan membela diri.

Kemudian perbuatan terdakwa `menembak mati` si korban tidak dapat dianggap sebagai dilakukan sebagai pembelaan termasuk dalam pasal 49 KUHP, karena menurut Mahkamah Agung tidak ada serangan dilakukan si korban dengan perbuatan penuntut kasasi. Disini ada keseimbangan tertentu antara pembelaan dilakukan dengan serangan.

Dalam sidang tersebut, jawaban JPU yang dibacakan Andrian Dwi Saputra menangapi eksespsi tersebut, bahwa korban tidak dilakukan otopsi, dengan beralasan dalam pasal 133 ayat (1) KUHP dijelaskan untuk kepentingan peradilan.

Pasal ini berbunyi "Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli yang lainnya"

"Pendapat keterangan ahli tersebut kemudian disebut visum at repertum. Dan visum tidak bertentangan dengan KUHP. Dari hasil visum dari pendapat ahli tersebut terdapat trauma benda tajam pada badan korban yang mengakibatkan meninggalnya korban ketika kejadian," katanya.

Pihaknya juga meminta majelis hakim menerima tanggapan eksepsi tersebut dan menolak eksepsi penasehat hukum terdakwa. Sidang keempat akan dilanjutkan pada pekan depan 13 Februari 2017 dengan agenda putusan sela oleh majelis hakim.

Pewarta : Darwin Fatir
Editor : Daniel
Copyright © ANTARA 2024