Manado (Antara Sulsel) - Muhammad Khalifah atau Kyai Modjo, tokoh pejuang melawan kolonial Belanda diusulkan jadi pahlawan nasional, kata Kepala Dinas Sosial Sulawesi Utara Grace Punuh, Rabu.

"Tim Pengkaji Penilai Gelar Daerah atau TP2GD masih melakukan kajian atas usul itu," kata Punuh di Manado.

Keberadaan tokoh nasional termasuk pejuang kemerdekaan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, katanya.

Menurut dia, pahlawan dalam eksistensinya merupakan elemen penting yang sangat menentukan keberhasilan bangsa dalam meraih, mempertahankan bahkan mengisi kemerdekaan sehingga semua bangsa merdeka di dunia pasti menghargai perjuangan ketokohan seseorang.

"Sebagai penghormatan atas peran Kyai Modjo dalam sejarah peradaban bangsa, kami berupaya merealisasikan gelar pahlawan nasional," imbuhnya.

Dia pun berharap TP2GD mampu menyajikan dan menuangkan konsep pemikiran konstruktif untuk merekonstruksi nilai-nilai perjuangan dan ketokohan Kyai Modjo.

"Pengkajian ini harus secara orisinal dan utuh agar bisa menghasilkan kajian yang dapat menunjang pemberian gelar kepahlawanan serta memiliki makna intelektual bagi masyarakat yang haus informasi bernilai historis," ujarnya.

Prof Ishak Pulukadang, pengagas gelar pahlawan nasional untuk Kyai Modjo mengaku optimis usulan tersebut berjalan lancar karena syarat-syarat yang dibutuhkan bisa dipenuhi.

Dalam pandangan dia, Kyai Modjo juga telah memenuhi persyaratan khusus menjadi pahlawan nasional yang diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2009, tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.

"Kyai Modjo melakukan perjuangan bersenjata, tidak pernah menyerah dan perjuangan bersifat luas tidak hanya di satu daerah," imbuhnya.

Kyai Modjo dikenal sebagai guru spiritual sekaligus panglima perang Pangeran Diponegoro pada Perang Jawa yang berlangsung 1825 hingga 1830.

Pada 1828, Kyai Modjo kemudian dibawa ke Batavia dan 1829 beserta 63 orang pengikutnya diasingkan Belanda sebagai tahanan politik ke Kampung Jawa Tondano.

Kyai Mojo meninggal di tempat pengasingan pada 20 Desember 1849 dalam usia 84 tahun, dan makamnya terletak di perbukitan Desa Wulauan, Kecamatan Tondano Utara, Kabupaten Minahasa.           

Pewarta : Karel A Polakitan
Editor : Daniel
Copyright © ANTARA 2024