Makassar (Antaranews Sulsel) - "My name is Sriyuni, I`am ten years old". Dengan fasih meski sedikit tersipu, Sriyuni, salah satu siswa Natsir Eco School memperkenalkan diri dengan menggunakan Bahasa Inggris.

Meski tinggal di pelosok Kabupaten Tana Toraja, tepatnya di di Dusun Randanan, Desa Rembon, sekitar 14 kilometer dari Kota Makale, Ibu Kota Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan, Sriyuni dan puluhan anak sebayanya cukup beruntung karena memiliki kesempatan belajar, khususnya Bahasa Inggris, di luar sekolah secara cuma-cuma.

Jika di kota besar seperti Kota Makassar, Ibu Kota Provinsi Sulsel, orang tua anak-anak seperti Sriyuni harus merogoh kantong cukup dalam untuk memasukkan anak-anak mereka ke tempat kursus Bahasa Inggris, sedangkan di Dusun Randanan, fasilitas itu tersedia, gratis.

Semua itu tidak terlepas dari inisiatif Natsir, seorang guru honorer yang menghabiskan uang yang ia kumpulkan selama 11 tahun, demi membangun Natsir Eco School atau Sekolah Alam Natsir. Sebuah sekolah alternatif yang mengajarkan Bahasa Inggris dan praktik-praktik ramah lingkungan.

Melalui sekolah ini, ia membuka akses belajar bagi anak-anak di lingkungan sekitarnya.

Di sela program Pertamina Mengajar yang digelar di sekolah yang ia bangun tersebut pada Selasa (1/5), Natsir bercerita tentang pengalaman perjuangannya ketika kecil untuk sekolah.

Ketika hendak ke sekolah, ia harus jalan kaki dari kampungnya ke Makale berkilo-kilo meter setiap hari. Setelah lulus sekolah dan ingin kembali belajar Bahasa Inggris melalui kursus, ia tidak mempunyai biaya sehingga harus bekerja sebagai buruh harian di Makale.

"Sampai sekarang masih ada upah buruh saya selama tiga hari yang belum dibayarkan," ucapnya.

Kesulitan yang ia temui sewaktu hendak belajar inilah, yang menjadi motivasi besar bagi Natsir agar kelak anak-anak di dusunnya tidak mengalami nasib yang sama dengannya.

Berbekal uang yang ia tabung selama mengajar di Makale, ia kemudian memutuskan untuk pulang kembali ke dusunnya dan mulai membangun sekolah.

Awal perjalanannya tidak mudah. Masyarakat di sekitarnya mencibir dan menganggap dia bodoh karena lebih memilih membangun sekolah dari pada membangun rumahnya sendiri.

Akan tetapi Natsir tetap teguh. Ia berprinsip harta tidak akan dibawa mati, tetapi ilmu yang dibagikan akan menjadi ladang amal yang tidak berkesudahan.

Ia merasa mantap membangun sekolahnya itu dengan rencana awal tujuh kelas. Akan tetapi, sesudah tiga kelas dibangun, ia kehabisan dana.

Ruang kelas yang ia bangun berbahan kayu, yang terbesar berbentuk persegi berukuran sekitar dua kali tiga meter dengan atap dari bahan ijuk. Tidak ada pintu ataupun pagar di sekeliling ruang belajar tersebut. Ruang kelas ini dilengkapi perpustakaan kecil dan poster-poster penunjang.

Dua ruang lain berbentuk lingkaran berdiameter kurang lebih dua meter. Kini kedua ruangan ini menjadi tempat tidur relawan mengajar dari berbagai negara.

Pilihan Natsir untuk memilih mengajarkan Bahasa Inggris di sekolah alternatifnya ini bukan tanpa pemikiran panjang. Natsir memahami jika Kabupaten Tana Toraja memiliki potensi besar di sektor pariwisata. Sayangnya pengembangan sektor ini terkendala masalah sumber daya manusia (SDM).

"Orang (wisatawan, red,) datang, bingung bagaimana berkomunikasi ini, ini yang saya lihat selama ini, ini yang saya harapkan bisa berubah dengan mengajarkan anak-anak Bahasa Inggris sejak dini," jelas ayah tiga anak ini.

Di sisi lain, kata dia, kemampuan Bahasa Inggris membantu anak-anak untuk mengembangkan kemampuannya sendiri melalui internet atau buku-buku berbahasa Inggris.

Selain Bahasa Inggris, ia juga menekankan pentingnya kesadaran lingkungan bagi siswa-siswanya. Setiap anak bahkan berkewajiban membawa sampah yang ia pungut di jalan ketika akan masuk kelas belajar.

Sekolah alternatif yang berlangsung tiga kali seminggu dari pukul 14.00 hingga pukul 17.00 waktu setempat itu juga mengajarkan bagaimana mendaur ulang sampah secara sederhana.

Sejak 2014, sekolah ini juga telah kedatangan relawan-relawan mengajar dari seluruh dunia, termasuk dari Estonia, Kanada, dan Inggris.

Awalnya para wisatawan secara kebetulan melihat aktivitas belajar di sekolah ini. Beberapa dari mereka kemudian secara sukarela mengajar di sekolah ini. Aktivitas ini menyebar dari satu relawan ke relawan lain. Total hingga saat ini sudah 400 relawan asing yang mengajar di sekolah ini.

Mereka ada yang tinggal di tempat itu selama yang beberapa minggu dan ada yang berbulan-bulan.

Mereka tidak hanya berbagi pengetahuan bahasa, tetapi juga keterampilan lain, seperti membuat cokelat.

Kini, ratusan anak telah memperoleh manfaat dari Natsir Eco School ini. Berkat Natsir, mereka berkesempatan belajar dan mengembangkan potensi masing-masing.



Pertamina Mengajar

Natsir tidak mampu membendung rasa harunya ketika menerima rombongan Pertamina Mengajar dari PT Pertamina MOR VII, Senin (1/5) siang itu.

Dengan suara tercekat dan terbata-bata, ia menyampaikan rasa harunya karena sekolah yang ia dirikan mendapat perhatian dari Pertamina.

"Sangat sulit bagi saya ungkapkan perasaan yang saya alami sekarang, hal yang tidak pernah saya bayangkan akan ada kegiatan seperti ini, saya hanya seorang guru kecil bahkan tidak pernah jadi pembina upacara," tutur Natsir.

Anak-anak sekolah alam Eco School Natsir tampak gembira siang itu. Mereka kedatangan kakak-kakak dari Pertamina MOR VII.

Berbagai pekerja dari latar belakang operasi, seperti Aviasi, Supply and Distribution, Health Safety Security & Environment (HSSE), Petrokimia dan IT mengunjungi Eco School Natsir untuk kegiatan Pertamina Mengajar serta penyerahan bantuan pendidikan.

Kegiatan ini juga dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada 2 Mei 2018 bertema "Menguatkan Pendidikan, Memajukan Kebudayaan".

Pertamina pada kesempatan itu memberikan bantuan pendidikan kepada Eco School Natsir berupa perbaikan infrastruktur. Pertamina MOR VII memberikan bantuan awal berupa renovasi sarana dan prasarana pendidikan kepada Natsir Eco School senilai Rp296 juta.

"Ke depannya, bersama Pak Natsir kita akan kembangkan juga pemberdayaan ekonomi lokal, pengolahan cokelat dan daur ulang sampah sehingga bernilai ekonomis," ujar Unit Manager Communication & CSR Pertamina MOR VII Roby Hervindo.

Pada 2017, Pertamina MOR VII merealisasikan bantuan bidang pendidikan melalui program bina lingkungan dan tanggung jawab sosial perusahaan di wilayah Sulawesi senilai Rp8,5 miliar.

Selain pendidikan, tanggung jawab sosial perusahaan dan lingkungan oleh Pertamina juga menyasar bidang kesehatan, lingkungan, dan pemberdayaan masyarakat. "Kami berharap inisiatif-inisiatif seperti Natsir Eco School ini terus bermunculan, dan Pertamina siap mendukung itu," ucap Roby. Manajer Komunikasi dan CSR PT Pertamina MOR VII M. Roby Hervindo (kiri) secara simbolis menyerahkan bantuan untuk pengembangan "Natsir Eco School" kepada pendiri sekolah tersebut, Natsir (kanan), di Tana Toraja, Selasa (1/5). (Foto ANTARA/Nurhaya J. Panga)

Pewarta : Nurhaya J. Panga
Editor : Daniel
Copyright © ANTARA 2024