Sekilas Pasar Malam Zhengning di Kota Lanzhou tidak memiliki perbedaan mendasar dengan pasar-pasar malam lainnya di China, Hong Kong, dan Taiwan.
Apalagi jika memasukinya hanya dua hingga sepuluh langkah dari pintu gerbang, nyaris tidak ada ciri khas yang menjadikan Ibu Kota Provinsi Gansu itu berkarakter.
Perbedaan baru terasa saat dua atau tiga lapak pedagang terlewati. Di situlah karakter Lanzhou sebagai kota yang identik dengan kuliner halal di China sudah mulai terasa.
Separuh badan Jalan Zhengning tertutup oleh lapak-lapak yang menjual beraneka ragam jenis makanan tradisional mulai dari kue berbahan dasar tepung hingga daging sapi dan dan daging kambing bakar.
Berbeda dengan restoran atau rumah makan halal lainnya di daratan Tiongkok, makanan yang dijual para pedagang di Kota Lanzhou tidak perlu diberi label "qing zhen" atau halal.
"Dari pakaian penjualnya saya sudah tahu kalau makanan mereka 'qing zhen'," kata Liu Chun dari Kantor Berita Xinhua Biro Lanzhou yang menemani ANTARA menyusuri Pasar Malam Zhengning, Jumat (6/7).
Meskipun bukan seorang Muslim, Liu sangat menyukai kuliner yang dijual di pasar malam salah satu kota tertua di daratan Tiongkok itu.
"Sate, kebab, mi, bubur, dan hampir semua yang dijual di sini saya suka," tutur pria itu sambil menyeruput sup ayam dari mangkuk kecil.
Selain murah dan banyak pilihan, makanan halal tersebut dimasak dan diproses lebih higienis.
Keluwesan gadis-gadis berkerudung dalam menyuguhkan makanan kepada para pembeli menjadi daya tarik tersendiri sehingga orang-orang rela berjubel menyusuri Jalan Zhengning yang sempit itu hingga larut malam.
Tidak heran pula, kalau Pasar Malam Zhengning menjadi tujuan yang wajib dikunjungi oleh wisatawan atau siapa pun yang sempat menyinggahi Kota Lanzhou.
Namun para pengunjung harus rela antre dan berdesak-desakan dengan pengunjung lainnya kalau ingin memanjakan lidah dengan berbagai makanan bercita rasa mirip Timur Tengah itu.
Para pembeli biasanya memesan dulu jenis makanan yang diinginkannya di lapak-lapak yang ditunggui para pedagang pria berkopiah putih.
Setelah dibayar, baik dengan cara tunai atau dengan memindai barkode Alipay atau WeChat yang tertera di etalase pedagang, pembeli bisa memilih tempat duduk yang berderet di belakang lapak, tapi harus bersabar sampai kursi benar-benar kosong ditinggalkan oleh pembeli lainnya.
Atau bisa juga langsung menuju restoran. Kemudian memesan makanan kepada penjual di lapak melalui pelayan. Itu pun harus mengantre sampai tersedianya kursi di restoran tersebut.
"Pasar ini tidak pernah sepi. Hampir setiap malam situasinya ya begini," kata Liu yang merasa lega mendapatkan kursi di salah satu restoran setelah mengantre selama lebih dari setengah jam.
Tidak diketahui pasti jumlah lapak yang menyajikan makanan halal khas Lanzhou. Namun jika melihat deretan penjual makanan di Pasar Malam Zhengning seperti bukan berada di China karena para penjualnya mengenakan pakaian serba putih, khususnya para pria yang mengenakan kopiah haji.
Malam pun semakin larut, namun aroma daging kambing bakar masih menyengat ditingkahi suara khas yang timbul dari alat dapur.
Sejuta Mangkuk Mi
Provinsi Gansu yang beribu kota di Lanzhou bukanlah salah satu wilayah di China yang berpredikat sebagai daerah otonomi, seperti Xinjiang, Ningxia, Mongolia Dalam, Xizang, dan Guangxi.
Namun kota yang berjarak sekitar 1.490 kilometer di sebelah barat Beijing itu memiliki karakter berbeda dengan kota-kota besar lainnya di China.
Bukan saja Sungai Kuning (Huang He) yang merupakan sungai terpanjang kedua di Asia dan keenam di dunia yang menjadikan kota berpenduduk sekitar 6 juta jiwa itu berbeda.
Bukan pula pergunungan pelangi yang belakangan gambarnya menjadi viral di sejumlah media sosial di Indonesia yang menjadikan Lanzhou istimewa.
Kuatnya karakter itu sudah dapat dirasakan saat dalam perjalanan menuju kota yang dikenal sebagai salah satu pusat industri nuklir terbesar di daratan Tiongkok itu.
Menu makanan yang disuguhkan oleh awak pesawat tujuan Lanzhou berlabel "qing zhen" sudah cukup mewakili karakter itu.
Di seluruh wilayah daratan Tiongkok, Lanzhou identik dengan nama restoran atau rumah makan halal yang menjadikan daya ingat konsumen (branding awareness) akan warna hijau-kuning.
Di bandingkan dengan kota-kota lain di China, peradaban di Lanzhou jauh lebih tua. "Lanzhou mungkin sudah ada sejak 6.000 atau 8.000 tahun yang lalu, sedangkan Xi'an (Ibu Kota Provinsi Shaanxi) baru 3.000 tahun. Apalagi Beijing baru 500 tahun, demikian halnya dengan Shanghai yang masih 100 tahun," kata Direktur Informasi Publik Pemerintah Kota Lanzhou Su Yong.
Sayangnya Su yang juga Direktur Komunikasi Internasional Partai Komunis China cabang setempat itu tidak bisa menjelaskan korelasi antara Lanzhou sebagai kota tertua dengan kuliner halal sebagai identitas melekat pada kotanya.
Hanya sedikit jejak Ma Bao Zi dalam diorama di Museum Peninggalan Tak Benda Kota Lanzhou yang bisa menyingkap asal-muasal kuliner halal di kota itu. Dari tangan terampil Ma lah, mi daging sapi (niurou mian) terkenal hingga mancanegara.
Mi kuah bening dengan irisan daging sapi dan lobak itu disuguhkan dalam mangkuk besar atau dua kali porsi mi ayam yang dijual di Indonesia.
Niorou mian yang pertama kali diperkenalkan oleh seorang muslim asal Kota Lanzhou pada 1902 itu menandai kebangkitan ekonomi kaum beretnis Hui, terutama usaha kuliner halal.
"Dalam sehari terjual lebih dari sejuta mangkuk niurou mian, baik untuk makan pagi, siang, atau pun malam," kata Su seraya menyebutkan jumlah 3.000 unit warung, restoran, atau rumah makan yang menjual mi tradisional di kota itu.
Tidak terhitung jumlah tenaga terampil di Lanzhou yang pandai membuat mi dari adonan tepung dan telur yang kemudian ditarik-ulur dengan kedua tangan tanpa menggunakan alat apa pun itu sehingga dikenal di daratan Tiongkok.
Bahkan, niurou mian yang prosesnya dapat dilihat langsung oleh pembeli (open kitchen) itu kini sudah merambah 40 negara. "Seharusnya di Indonesia sudah ada niurou mian. Kalau ada yang mau buka (restoran) di sana, kami siap membantu," kata Wali Kota Lanzhou Zhang Wei Wen santap niurou mian bersama ANTARA di salah satu restoran yang asri di tepi Sungai Kuning.
Apalagi jika memasukinya hanya dua hingga sepuluh langkah dari pintu gerbang, nyaris tidak ada ciri khas yang menjadikan Ibu Kota Provinsi Gansu itu berkarakter.
Perbedaan baru terasa saat dua atau tiga lapak pedagang terlewati. Di situlah karakter Lanzhou sebagai kota yang identik dengan kuliner halal di China sudah mulai terasa.
Separuh badan Jalan Zhengning tertutup oleh lapak-lapak yang menjual beraneka ragam jenis makanan tradisional mulai dari kue berbahan dasar tepung hingga daging sapi dan dan daging kambing bakar.
Berbeda dengan restoran atau rumah makan halal lainnya di daratan Tiongkok, makanan yang dijual para pedagang di Kota Lanzhou tidak perlu diberi label "qing zhen" atau halal.
"Dari pakaian penjualnya saya sudah tahu kalau makanan mereka 'qing zhen'," kata Liu Chun dari Kantor Berita Xinhua Biro Lanzhou yang menemani ANTARA menyusuri Pasar Malam Zhengning, Jumat (6/7).
Meskipun bukan seorang Muslim, Liu sangat menyukai kuliner yang dijual di pasar malam salah satu kota tertua di daratan Tiongkok itu.
"Sate, kebab, mi, bubur, dan hampir semua yang dijual di sini saya suka," tutur pria itu sambil menyeruput sup ayam dari mangkuk kecil.
Selain murah dan banyak pilihan, makanan halal tersebut dimasak dan diproses lebih higienis.
Keluwesan gadis-gadis berkerudung dalam menyuguhkan makanan kepada para pembeli menjadi daya tarik tersendiri sehingga orang-orang rela berjubel menyusuri Jalan Zhengning yang sempit itu hingga larut malam.
Tidak heran pula, kalau Pasar Malam Zhengning menjadi tujuan yang wajib dikunjungi oleh wisatawan atau siapa pun yang sempat menyinggahi Kota Lanzhou.
Namun para pengunjung harus rela antre dan berdesak-desakan dengan pengunjung lainnya kalau ingin memanjakan lidah dengan berbagai makanan bercita rasa mirip Timur Tengah itu.
Para pembeli biasanya memesan dulu jenis makanan yang diinginkannya di lapak-lapak yang ditunggui para pedagang pria berkopiah putih.
Setelah dibayar, baik dengan cara tunai atau dengan memindai barkode Alipay atau WeChat yang tertera di etalase pedagang, pembeli bisa memilih tempat duduk yang berderet di belakang lapak, tapi harus bersabar sampai kursi benar-benar kosong ditinggalkan oleh pembeli lainnya.
Atau bisa juga langsung menuju restoran. Kemudian memesan makanan kepada penjual di lapak melalui pelayan. Itu pun harus mengantre sampai tersedianya kursi di restoran tersebut.
"Pasar ini tidak pernah sepi. Hampir setiap malam situasinya ya begini," kata Liu yang merasa lega mendapatkan kursi di salah satu restoran setelah mengantre selama lebih dari setengah jam.
Tidak diketahui pasti jumlah lapak yang menyajikan makanan halal khas Lanzhou. Namun jika melihat deretan penjual makanan di Pasar Malam Zhengning seperti bukan berada di China karena para penjualnya mengenakan pakaian serba putih, khususnya para pria yang mengenakan kopiah haji.
Malam pun semakin larut, namun aroma daging kambing bakar masih menyengat ditingkahi suara khas yang timbul dari alat dapur.
Sejuta Mangkuk Mi
Provinsi Gansu yang beribu kota di Lanzhou bukanlah salah satu wilayah di China yang berpredikat sebagai daerah otonomi, seperti Xinjiang, Ningxia, Mongolia Dalam, Xizang, dan Guangxi.
Namun kota yang berjarak sekitar 1.490 kilometer di sebelah barat Beijing itu memiliki karakter berbeda dengan kota-kota besar lainnya di China.
Bukan saja Sungai Kuning (Huang He) yang merupakan sungai terpanjang kedua di Asia dan keenam di dunia yang menjadikan kota berpenduduk sekitar 6 juta jiwa itu berbeda.
Bukan pula pergunungan pelangi yang belakangan gambarnya menjadi viral di sejumlah media sosial di Indonesia yang menjadikan Lanzhou istimewa.
Kuatnya karakter itu sudah dapat dirasakan saat dalam perjalanan menuju kota yang dikenal sebagai salah satu pusat industri nuklir terbesar di daratan Tiongkok itu.
Menu makanan yang disuguhkan oleh awak pesawat tujuan Lanzhou berlabel "qing zhen" sudah cukup mewakili karakter itu.
Di seluruh wilayah daratan Tiongkok, Lanzhou identik dengan nama restoran atau rumah makan halal yang menjadikan daya ingat konsumen (branding awareness) akan warna hijau-kuning.
Di bandingkan dengan kota-kota lain di China, peradaban di Lanzhou jauh lebih tua. "Lanzhou mungkin sudah ada sejak 6.000 atau 8.000 tahun yang lalu, sedangkan Xi'an (Ibu Kota Provinsi Shaanxi) baru 3.000 tahun. Apalagi Beijing baru 500 tahun, demikian halnya dengan Shanghai yang masih 100 tahun," kata Direktur Informasi Publik Pemerintah Kota Lanzhou Su Yong.
Sayangnya Su yang juga Direktur Komunikasi Internasional Partai Komunis China cabang setempat itu tidak bisa menjelaskan korelasi antara Lanzhou sebagai kota tertua dengan kuliner halal sebagai identitas melekat pada kotanya.
Hanya sedikit jejak Ma Bao Zi dalam diorama di Museum Peninggalan Tak Benda Kota Lanzhou yang bisa menyingkap asal-muasal kuliner halal di kota itu. Dari tangan terampil Ma lah, mi daging sapi (niurou mian) terkenal hingga mancanegara.
Mi kuah bening dengan irisan daging sapi dan lobak itu disuguhkan dalam mangkuk besar atau dua kali porsi mi ayam yang dijual di Indonesia.
Niorou mian yang pertama kali diperkenalkan oleh seorang muslim asal Kota Lanzhou pada 1902 itu menandai kebangkitan ekonomi kaum beretnis Hui, terutama usaha kuliner halal.
"Dalam sehari terjual lebih dari sejuta mangkuk niurou mian, baik untuk makan pagi, siang, atau pun malam," kata Su seraya menyebutkan jumlah 3.000 unit warung, restoran, atau rumah makan yang menjual mi tradisional di kota itu.
Tidak terhitung jumlah tenaga terampil di Lanzhou yang pandai membuat mi dari adonan tepung dan telur yang kemudian ditarik-ulur dengan kedua tangan tanpa menggunakan alat apa pun itu sehingga dikenal di daratan Tiongkok.
Bahkan, niurou mian yang prosesnya dapat dilihat langsung oleh pembeli (open kitchen) itu kini sudah merambah 40 negara. "Seharusnya di Indonesia sudah ada niurou mian. Kalau ada yang mau buka (restoran) di sana, kami siap membantu," kata Wali Kota Lanzhou Zhang Wei Wen santap niurou mian bersama ANTARA di salah satu restoran yang asri di tepi Sungai Kuning.