Makassar (Antaranews Sulsel) - Menjadi seorang Bissu adalah pilihan yang tak mudah, karena ia harus berhadapan dengan keluarga, lingkungan sosial, bahkan masyarakat luas.

Belum lagi, panggilan nurani menjadi Bissu atau orang yang suci memiliki tantangan yang berat. Ia harus selalu menjaga perilaku yang selaras dengan ucapan, santun, dan memiliki kharisma atau dalam bahasa Bugis dikenal dengan istilah "malebbi".

Wajar jika sebelum abad ke-15 atau masuknya agama Islam di Sulawesi Selatan, Bissu memiliki kedudukan yang sangat penting. Pasalnya, Bissu berperan sebagai penasihat raja, orang kepercayaan, pemimpin upacara adat, dan penghubung antara manusia dan para dewa.

Dalam cerita epos La Galigo pada Bugis kuno, kelahiran Bissu dinilai sama tuanya dengan kehadiran manusia di Bumi.

Ketika dewa penguasa langit mengutus Barata Guru turun ke Bumi, dua orang Bissu diutus mendampinginya. Bissu itulah kemudian yang mengatur semua urusan di dunia, mulai dari menciptakan bahasa, adat istiadat, dan apapun yang dibutuhkan sebuah dunia baru.

Sejak saat itu, keberadaan para Bissu menjadi sangat penting dalam kehidupan adat Kerajaan Bugis dan Luwu sebelum Islam datang.

Menurut pakar budaya Universitas Hasanuddin Makassar Profesor Doktor Nuhayati Rahman, Bissu berperan sebagai penasihat raja, orang kepercayaan, pemimpin upacara adat, dan penghubung antara manusia dan para dewa.

"Dia berada di tengah-tengah karena dia menjadi penghubung antara dewa dan manusia biasa, makanya kalau dia berdoa telapak tangan menghadap ke atas kemudian ke bawah," kata penerjemah I La Galigo ini. Pakar Filologi Universitas Hasanuddin Prof Dr Nurhayati Rahman (kiri) dan Kabid Kebudayaan Disbudpar Pangkep Hj Dasriana, S.Sos, MM (kanan). Antaranews Sulsel/S. Mappong/ 18
Posisi Bissu berada di tengah-tengah yang menjaga keseimbangan dunia atas (botting langi`) yang juga diartikan maskulitas dan dunia bawah (bori` liu) yang mewakili feminitas berdasarkan mitologi orang Bugis.

Berangkat dari pandangan tersebut, para Bissu dianggap sebagai pendeta suci yang mewakili manusia dan memiliki gender sendiri yang mewakili laki-laki dan perempuan.

Hal itu terlihat pada upacara resmi, gaun yang dikenakan Bissu berbeda dengan pakaian laki-laki dan perempuan. Sebagai pelengkap, Bissu membawa badik simbol laki-laki dan menyampirkan bunga di kepala sebagai simbol perempuan.

Kini, Bissu masih dapat dijumpai di sejumlah daerah yang dahulu wilayah Kerajaan Bugis, di antaranya di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep) dan Kabupaten Bone di Sulsel. Khusus Bissu di Kabupaten Pangkep, dapat ditemukan di wilayah Kecamatan Segeri.

Kabupaten Pangkep berbatasan dengan Kabupaten Barru di utara, Kabupaten Maros di selatan, Kalsel/Jatim/NTB di bagian barat dan Kabupaten Bone di timur.

Sekitar satu kilometer dari jalan poros Makassar-Parepare, "bola arajang" (rumah pusaka) di Segeri, berada di kawasan benteng peninggalan penjajahan Belanda. Rumah panggung yang bercat hijau itu tempat penyimpanan benda-benda pusaka, termasuk tempat pelaksanaan upacara adat pada waktu-waktu tertentu, misalnya upacara turun sawah saat memasuki musim hujan (Mappalili).

Upacara adat Mappalili yang dipimpin Bissu Puang Toa atau Bissu yang dituakan ini, beberapa dekade terakhir selalu melibatkan unsur pemerintah setempat.

"Kami menjadikan Mappalili ini sebagai kalender wisata tahunan untuk melestarikan budaya daerah," kata Kabid Kebudayaan Disbudpar Pangkep Hj Dasriana, S.Sos, MM. Benda pusaka 'arajang' berupa Bajak diarak menuju lokasi sawah sebagai tanda permulaan turun sawah dan selanjutnya dilakukan 'a'jori yang dipimpin Bissu Puang Toa Wa' Nani di Segeri, Kabupaten Pangkep, Sulsel, Minggu. Foto Antaranews Sulsel/ S. Mappong/18

 

Upacara adat awal turun sawah pada musim hujan atau ‘Mappalili’ ini, prosesinya dilakukan tiga hari tiga malam yang dipimpin Bissu yang dituakan. Pada malam hari digelar kegiatan membaca doa-doa yang tertuang dalam kitab Lontarak Bugis Kuno dengan bahasa ri langi’ (langit).  Doa tersebut intinya meminta keselamatan dan keberhasilan panen pada Dewatae atau puatta sewwaE (Tuhan yang Esa).

Dalam prosesi adat itu terdapat ‘walasuji’ yang berbentuk kotak dari anyaman bambu dengan pelambangan keseimbangan empat sisi mata angin dan unsur kehidupan yakni air, tanah, api dan udara.  Pada kesempatan itu, dilakukan penyucian benda pusaka ‘arajang’ sambil terus berdoa disaksikan warga setempat yang duduk mengitari benda pusaka yang dibersihkan.

Pada puncak prosesi yakni hari ketiga, ‘arajang’ berupa bajak yang berumur ratusan tahun itu pun diturunkan dari rumah adat untuk selanjutnya diarak ke empat titik lokasi area sawah adat pada masa Bugis kuno.  Pada setiap titik dilakukan ‘ma’jori’ atau membuat tanda pada lahan yang akan ditanami. Biasanya setelah prosesi itu dilakukan atraksi ‘Mabbissu’  dengan ‘maggiri’ menusuk bagian-bagian vital seperti telapak tangan dan leher  dengan keris pusaka.

Namun dengan kemampuan Bissu mendekatkan diri dengan Dewata, tidak ada bagian tubuh yang terluka meski ditusuk dengan benda tajam. Menurut Bissu Puang Lolo Juleha, atraksi ini bukan untuk pamer kesaktian dan menyombongkan diri, melainkan hanya bagian dari ritual upacara adat turun sawah.

Pemandangan seperti itu, tentu sangat berbeda jauh ketika para Bissu tampil dalam kondisi keseharian. Tidak ada pakaian kerlap-kerlip dan warna –warni seperti ketika harus tampil menjalankan prosesi adat ritual. Keenam Bissu yang masih ada saat ini, layaknya masyarakat biasa berpakaian kemeja dan sarung seperti yang dikenakan para lelaki di masyarakat Segeri pada umumnya.

Bahkan masih ada di antara Bissu ini turun ke sawah menanam padi dan menggembala itik disela pekerjaannya sebagai ‘indo’ botting’  alias perias pengantin. Tidak ada perlakuan istimewa bagi Bissu dalam kondisi kesehariannya. Mereka harus berjuang untuk menghidupi diri tanpa menunggu belas kasihan orang lain.  Kegigihan dan sikap ‘siri’ na pesse’ yang dalam petuah Bugis Kuno adalah malu berbuat kejahatan, namun memiliki jiwa sosial tinggi telah melekat pada diri seorang Bissu tanpa terpengaruh dengan perubahan zaman.


Terus Tergerus


Sedikit berbeda dengan perkampungan lainnya di Kecamatan Segeri, kawasan perkampungan Bissu berada di kawasan eks-benteng pertahanan kolonial Belanda.

Pada sisi belakang, terdapat bangunan kuno yang kurang terurus, sedangkan di depannya terdapat rumah panggung khas masyarakat Bugis.

Di rumah panggung bercat hijau itulah tempat benda pusaka (arajang) sekaligus menjadi kediaman Bissu Puang Toa.

Awalnya, Bissu di Segeri ada sekitar 40 orang. Namun seiring perjalanan waktu dan perkembangan zaman, kini hanya tersisa enam orang. Itu pun yang masih aktif menjalankan kebissuan hanya lima orang.

"Bissu kini tinggal enam untuk sementara, Puang Toa Wa`nani, Puang Lolo Juleha, Bissu Tanre Wa`Sale`, Bissu Ponco Wa`Matang, Usman dan Eka," kata Dasriana menjelaskan.

Dia mengatakan yang biasanya diikutkan pentas budaya dan menjadi duta ke daerah lain saat ada festival budaya, hanya lima orang Bissu.

Menurut Dasriana, komunitas Bissu yang semakin berkurang jumlahnya ini menjadi pekerjaan rumah di lingkup kerjanya. Pasalnya, Bissu dalam sejarah Bugis kuno sebagai orang suci dan menjadi penasihat raja, kini dengan jumlah yang sangat terbatas masih memegang teguh adat dan nilai-nilai budaya, serta menjaga kearifan lokal.

Hal itu terlihat pada upacara Mappalili yang menjadi agenda tahunan saat memasuki musim tanam.

Bissu Puang Toa tampil menjadi pemimpin upacara adat dengan menurunkan "arajang" berupa alat membajak sawah yang didahului tudang sipulung atau duduk bermusyawarah menentukan hari baik turun ke sawah.

Setelah Bissu memimpin doa bersama para pemangku adat, unsur pemerintah dan masyarakat setempat, arak-arakan turun sawahpun dimulai.

Gegap-gempita warga menyambut upacara adat turun sawah itu, dan aksi saling siram pun terjadi ketika melintasi saluran irigasi setelah upacara Mappalili.

"Karena itu, komunitas Bissu ini jangan dibiarkan punah karena tidak ada regenerasi lagi. Apalagi, Bissu ini merupakan salah satu aset budaya dan sejarah," kata dia.

Mencermati kondisi tersebut, lanjut penulis laporan terbaik pada Lakip 2018 di Lembaga Administrasi Negara (LAN) Makassar yang mengusung tema "U`dani ri Bissu" (merindukan Bissu) ini, terus mencoba membuka peluang agar para Bissu dapat dikenal dan diberi kesempatan tampil memperkenalkan atraksi budayanya yang dikenal dengan istilah Mabbisu dan tarian `Maggiri` (menusuk badan dengan keris atau badik) tanpa terluka sedikit pun.

Salah seorang Bissu, Puang Lolo Juleha, mengatakan keterlibatan pemerintah daerah terhadap komunitas Bissu di Segeri ini sedikit banyaknya sudah memberikan perubahan dalam kehidupan para Bissu.

Namun dalam kondisi keseharian, diakui, para Bissu harus berjuang menghidupi diri dan keluarganya dengan menjadi "indo botting" (tukang rias pengantin), peternak itik, dan sanro untuk pengobatan herbal.

Kondisi tersebut menjadi kendala dalam proses regenerasi Bissu karena meski banyak yang berminat menjadi Bissu, untuk prosesi menjadi Bissu tidak mudah.

"Anak-anak sekarang susahnya jadi Bissu, karena banyakan anak-anak `passalon` (pekerja salon), lebih memilih mencari banyak uang. Sementara pesan leluhur untuk menjadi Bissu harus `malebbi na mabbisu` (kharismatik menjadi Bissu)," ujarnya menjelaskan.

Selain alasan ekonomi, keengganan generasi milenial menjadi Bissu, karena mereka kurang bisa membaca aksara Lontarak. Sementara untuk memahami budaya sebagian besar tertulis dalam buku Lontarak dan bahasa khusus Bissu yang dikenal dengan nama "himme".

Sebenarnya, lima Bissu yang tersisa bisa saja mengajarkan aksara Lontarak dan bahasa "himme". Namun, peminatnya yang tidak ada.

Padahal jika berangkat dari pengalaman para Bissu yang masih ada saat ini, biasanya pada masa anak-anak sudah ada di antara anggota masyarakat yang memperlihatkan ciri-ciri kebissuan.

Sebagai gambaran, salah seorang Bissu yang terbilang muda adalah Usman yang harus belajar dan berlatih sedikitnya tiga tahun agar dapat tampil dalam ritual Bissu, termasuk `Maggiri`.

Belajar dari dua Bissu, yakni Wa`Made dan Puang Toa Saidi (almarhum), telah membekali Usman untuk akhirnya mengenal Dewatae (Tuhan) atau Puatta SewwaE.

"Untuk menjadi Bissu, harus ada petunjuk atau biasanya lewat mimpi setelah melalui proses tahapan menjadi Bissu," kata Juleha.

Menurut dia, pada zaman dulu harus puasa tiga hingga tujuh hari dengan sejumlah pantangan orang-orang di sekelilingnya, misalnya tidak boleh menebang pohon, berkata bohong, dan sebagainya.


Perpustakaan yang Terbakar

Fenomena komunitas Bissu di Kabupaten Pangkep ini, menurut Guru Besar Filologi Universitas Hasanuddin Makassar Profesor Doktor Nurhayati Rahman, sebenarnya masuk dalam teori "the library on fire" atau perpustakaan yang terbakar.

"Teori `the library on fire` ini menganalogikan bahwa suatu saat kita hanya dengar Bissu dalam kamus atau tulisan atau dalam film," ujarnya.

Komunitas Bissu akan dapat lestari jika dapat memenuhi empat persyaratan dalam revitalisasi kebudayaan, yakni ada budaya yang mau diselamatkan, harus ada orang tua yang mau mengajarkan budaya itu, ada anak yang mau belajar, dan ada masyarakat yang mau memanfaatkannya.

Jika melihat perkembangan Bissu di Segeri, lanjut penerjemah karya satra I La Galigo yang sudah mendapatkan pengakuan UNESCO ini, persyaratan ketiga dan keempat yang sulit terpenuhi.

Namun, sepanjang budaya dalam bentuk atraksi itu seperti Mappalili masih dibutuhkan oleh masyarakat dan mendapat dukungan pemerintah selaku fasilitator, tentu Bissu dan budayanya akan tetap ada.

Kondisi itu berbeda dengan tarian budaya yang bisa dikembangkan terus-menerus dan dimodifikasi sesuai tuntutan zaman, sementara upacara adat ritual yang berkaitan dengan keyakinan itu tidak bisa direkayasa.

"Jadi ada kalanya sebuah budaya harus mati, kalau budaya itu sudah tidak dibutuhkan oleh masyarakatnya," katanya.

Kalau Bissu tidak segera melakukan regenerasi, diprediksi 10 hingga 30 tahun ke depan, Bissu tinggal nama saja.

Saat ini, ada kekhawatiran memberikan ruang kepada kelompok pelaku budaya dengan keyakinannya itu, karena dikait-kaitkan dengan kemusyrikan jika menggunakan perspektif penganut agama Islam. Bissu di Segeri ini sendiri adalah penganut agama Islam, namun tetap mempertahankan budaya dan kearifan lokal sebagai amanah turun-temurun.

"Kita harus menghargai perbedaaan bahwa memang ada di masyarakat begitu mempercayai itu, mereka harus diberi hak hidup, karena ini menyangkut masalah hati dan keyakinan aqidah," ujarnya.

Dia mengemukakan bahwa tidak boleh atas nama akidah lalu memberangus mereka, karena dinilai tidak sama keyakinan, padahal falsafah negara mengakui Bhinneka Tunggal Ika.

Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah harus hadir dan melindungi komunitas seperti Bissu ini yang bukan hanya menjadi aset daerah, tetapi juga aset budaya nasional.

Apalagi kehadiran Bissu sebagai simbol keberagaman di masyarakat Pangkep menjadi kekayaan khasanah budaya dan menjadi keunikan Sulsel, yang tidak dimiliki daerah lain di Indonesia bahkan di luar negeri.

Keunikan itu, ungkap Nurhayati, karena keberadaan Bissu di Sulsel menjadikan daerah ini sebagai satu-satunya di dunia dengan lima gender, yakni laki-laki, perempuan, calabai (laki-laki yang berperangai perempuan), calalai (perempuan berperangai laki-laki), dan Bissu yang dalam posisi bukan laki-laki dan bukan perempuan, namun mewakili dua gender itu sebagai penghubung antara dewata (Tuhan) dan manusia.

Bissu dalam kesehariannya berbaur dan diterima oleh masyarakat, bahkan dihormati sebagai orang yang suci.

Hal itu dikemukakan salah seorang warga Segeri, Nadira.

Menurut dia, pada setiap acara pengantin, keluarganya masih sering memanggil Bissu untuk menjadi perias pengantin, meskipun sudah banyak perias pengantin yang memiliki salon.

Alasan memilih Bissu dibandingkan dengan perias pengantin salon, karena Bissu memiliki doa-doa agar mempelai langgeng berumah tangga dan juga mau mendoakan keselamatan yang memiliki hajatan.

Interaksi sosial dan budaya antara Bissu dan masyarakat setempat hingga kini tetap bertahan meski sudah terjadi perubahan zaman.

Hal ini tentu menjadi bukti upaya merawat keberagaman dan menghargai perbedaan.

Sekarang yang menjadi pertanyaan besar, mampukah Bissu yang tersisa ini melakukan regenerasi di tengah tantangan eksternal generasi milineal yang begitu kuat? Ataukah Bissu sebagai simbol keberagaman akan menjadi kenangan dan tinggal menjadi kisah sejarah Bugis kuno.
 

Pewarta : Suriani Mappong
Editor : Amirullah
Copyright © ANTARA 2024