Makassar (ANTARA) - Pemerhati Anak, Rusdin Tompo.yang juga pendiri Lembaga Investigasi Studi Advokasi Media dan Anak (LISAN) mengatakan, ada tanggung jawab besar melebihi kasus Audry yang harus diselesaikan bersama, bukan hanya orangtua tapi masyarakat umum, pihak pendidikan, pemerintah maupun lembaga lainnya.
"Jangan melihat kasus Audry sebagai hal yang parsial, tetapi melihat bahwa kasus ini hanya kebetulan menimpa Audry, dan bisa saja terjadi pada siapa saja, hanya saja tiba pada Audry," kata Rusdin di Makassar, Kamis (11/4).
Audry merupakan siswi SMP di Pontianak yang masih berusia 14 tahun, dikeroyok oleh 12 siswa SMA berawal dari saling melempar komentar di sosial media.
Belajar dari kasus Audry, Rusdin meminta agar orangtua tidak bersikap reaktif. Harus mengambil langkah strategis, pemulihan sosial, pemulihan budaya di kalangan anak-anak masing-masing. Apalagi dinilai terjadi degradasi budaya, dengan sopan santun yang tidak lagi menjadi penting bagi anak-anak.
"Melihat kasus audry, si pelaku bahkan tidak memiliki empati, tidak memiliki belas kasihan. Istilahnya tidak ada "paccena" (peduli), dan itu juga terjadi pada begal motor di Makassar," tandasnya.
Menurut Rusdin, meski pelaku kekerasan terhadap Audry bersalah dalam hal ini, namun mereka juga terbilang sebagai korban, korban dari pemanfaatan teknologi yang tidak benar, minimnya keteladanan tokoh, korban dari ketidakpedulian orang-orang dewasa terhadap interaksi di sosmed yang tidak bijak.
Rusdin menilai ada dua hal utama pada persoalan Audry, yakni persoalan geger teknologi dengan gawai yang canggih, melalui penggunaan gadget. Tidak adanya batasan pemanfaatan gadget untuk berselancar di dunia sosial media (sosmed) mengakibatkan adanya kecenderungan melakukan hal-hal negatif oleh anak-anak.
Persoalan kedua, kata dia, terkait perlindungan hukum kepada anak-anak sesuai dengan perspektif perlindungan anak. Pemilihan hukum (bukan hukum pembalasan) tetapi lebih kepada hukum pemulihan keadilan.
Ada sistem peradilan pidana anak yang mengatur melalui pendekatan difersi dengan penyelesaian di luar pengadilan yang bertujuan untuk damai, tertuang dalam UU nomor 11 tahun 2012.
Senada, Koordinator Program Lembaga Perlindungan Anak (LPA), Warida Safie meminta semua pihak untuk bersama-sama memperbaiki hal ini, dimulai dari pengawasan ekstra kepada anak masing-masing, termasuk saat menggunakan sosmed.
Penggunaan sosmed yang tidak tepat dianggap sangat berpengaruh, dari segi sosial utamanya.
Karena itu perlu peran orangtua pada pemanfaatannya, begitu pula dengan sekolah. Anak harus diberi penguatan dan pendidikan penggunaan handphone.
"Paling penting sekarang, Audry harus disembuhkan dan orangtuanya harus dikuatkan, sementara pelaku mengikuti sistem peradilan anak yang ada," katanya.
Peradilan anak sangat dibutuhkan karena pada prosesnya lebih banyak menggunakan pendekatan persuasif dan pembinaan. Apalagi secara psikologis, perlakuannya masih bergantung pada yang lebih dewasa.
"Jangan melihat kasus Audry sebagai hal yang parsial, tetapi melihat bahwa kasus ini hanya kebetulan menimpa Audry, dan bisa saja terjadi pada siapa saja, hanya saja tiba pada Audry," kata Rusdin di Makassar, Kamis (11/4).
Audry merupakan siswi SMP di Pontianak yang masih berusia 14 tahun, dikeroyok oleh 12 siswa SMA berawal dari saling melempar komentar di sosial media.
Belajar dari kasus Audry, Rusdin meminta agar orangtua tidak bersikap reaktif. Harus mengambil langkah strategis, pemulihan sosial, pemulihan budaya di kalangan anak-anak masing-masing. Apalagi dinilai terjadi degradasi budaya, dengan sopan santun yang tidak lagi menjadi penting bagi anak-anak.
"Melihat kasus audry, si pelaku bahkan tidak memiliki empati, tidak memiliki belas kasihan. Istilahnya tidak ada "paccena" (peduli), dan itu juga terjadi pada begal motor di Makassar," tandasnya.
Menurut Rusdin, meski pelaku kekerasan terhadap Audry bersalah dalam hal ini, namun mereka juga terbilang sebagai korban, korban dari pemanfaatan teknologi yang tidak benar, minimnya keteladanan tokoh, korban dari ketidakpedulian orang-orang dewasa terhadap interaksi di sosmed yang tidak bijak.
Rusdin menilai ada dua hal utama pada persoalan Audry, yakni persoalan geger teknologi dengan gawai yang canggih, melalui penggunaan gadget. Tidak adanya batasan pemanfaatan gadget untuk berselancar di dunia sosial media (sosmed) mengakibatkan adanya kecenderungan melakukan hal-hal negatif oleh anak-anak.
Persoalan kedua, kata dia, terkait perlindungan hukum kepada anak-anak sesuai dengan perspektif perlindungan anak. Pemilihan hukum (bukan hukum pembalasan) tetapi lebih kepada hukum pemulihan keadilan.
Ada sistem peradilan pidana anak yang mengatur melalui pendekatan difersi dengan penyelesaian di luar pengadilan yang bertujuan untuk damai, tertuang dalam UU nomor 11 tahun 2012.
Senada, Koordinator Program Lembaga Perlindungan Anak (LPA), Warida Safie meminta semua pihak untuk bersama-sama memperbaiki hal ini, dimulai dari pengawasan ekstra kepada anak masing-masing, termasuk saat menggunakan sosmed.
Penggunaan sosmed yang tidak tepat dianggap sangat berpengaruh, dari segi sosial utamanya.
Karena itu perlu peran orangtua pada pemanfaatannya, begitu pula dengan sekolah. Anak harus diberi penguatan dan pendidikan penggunaan handphone.
"Paling penting sekarang, Audry harus disembuhkan dan orangtuanya harus dikuatkan, sementara pelaku mengikuti sistem peradilan anak yang ada," katanya.
Peradilan anak sangat dibutuhkan karena pada prosesnya lebih banyak menggunakan pendekatan persuasif dan pembinaan. Apalagi secara psikologis, perlakuannya masih bergantung pada yang lebih dewasa.