Jakarta (ANTARA) - Calon pimpinan MPR sebaiknya diisi orang-orang yang punya rekam jejak tidak terkait dengan kasus-kasus korupsi, demikian dikatakan Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW Donal Fariz. "Kita berharap partai politik tidak mengusung orang-orang yang terkait dengan kasus korupsi menjadi capim MPR," kata dia, di Jakarta, Selasa.
Ia bilang, siapa saja elit partai politik memiliki peluang menjadi calon pimpinan MPR. Tetapi harus dipastikan dalam kurun waktu lima tahun belakangan ini orang-orang tersebut tidak tersangkut dugaan kasus korupsi.
Kasus korupsi yang dimaksud seperti korupsi KTP elektronik, dugaan korupsi lelang jabatan, pengadaan anggaran, titipan dan lainnya. "Jangan salah, dua periode pimpinan DPR terkena kasus korupsi Setya Novanto dan Taufik Hidayat dari PAN," katanya.
Ia berkata, penting bagi partai politik jangan menyodorkan kadernya yang punya persoalan hukum di masa lalu sebagai calon pimpinan MPR. Karena MPR adalah wajah dari keterwakilan politik dan daerah di parlemen. "Kalau diisi yang oleh yang punya persoalan hukum di masa lalu, ini akan membelenggu kita," katanya.
Juga baca: Pengamat: Ketua MPR hendaknya diisi figur politisi negarawan
Juga baca: Akademisi angkat bicara terkait negosiasi kursi MPR
Juga baca: Memperebutkan kursi Ketua MPR
ICW mengendus politik transaksional dalam perebutan kursi ketua MPR, dilihat dari begitu strategisnya posisi lembaga tinggi negara itu. Ia katakan sejumlah indikator yang menjadikan kursi MPR sebagai incaran elit politik baik partai koalisi maupun oposisi.
Indikator pertama yakni posisi ketua MPR menjadi menarik karena seolah-olah menjadi anak tangga menuju kursi kepresidenan. "Dengan cara pandang politisi sekarang, seolah-olah MPR satu itu jalan tol paling dekat menuju RI satu," katanya.
Indikator lain adalah berbagai agenda ketatanegaraan ke depan. Ada wacana untuk memperpanjang masa jabatan presiden menjadi delapan tahun. Munculnya wacana menambah atau melikuidasi sejumlah lembaga negara dalam konstitusi.
Menurut dia, indikator ini menjadikan posisi ketua MPR sangat strategis karena mempengaruhi konstalasi politik ke depan. MPR seolah-solah menjadi kendali jarak jauh untuk mengatur arah politik bergerak kemana ke depan. "Ini yang menurut saya membuat posisi ketua MPR jauh berbeda jika dibandingkan dengan 2014 lalu," katanya.
Segala indikator itu tidak menutup kemungkinan para elit politik berebut jabatan itu dan berpeluang terjadi politik transaksional. Politik transaksional terjadi dari level bawah seperti kasus baru-baru ini bupati Kudus dua kali menjadi target operasi tangkap tangan KPK.
Situasi ini menjelaskan dagang jabatan politik transaksional itu terjadi pada semua level mulai dari bawah yakni dinas, CPNS, hingga level bupati, wali kota, dan putaran uang paling besar di level DPR, MPR dan DPD. "Karena level ini adalah episentrum anggaran di negeri ini," katanya.
Oleh karena itu, lanjut dia, untuk menghindari politik transaksional tersebut maka penting untuk diawasi oleh KPK. "KPK perlu melakukan monitoring terkait lobi-lobi politik dan potensi terjadinya transaksional yang berujung pada suap di dalam pemilihan pimpinan MPR," kata dia.
Ia bilang, siapa saja elit partai politik memiliki peluang menjadi calon pimpinan MPR. Tetapi harus dipastikan dalam kurun waktu lima tahun belakangan ini orang-orang tersebut tidak tersangkut dugaan kasus korupsi.
Kasus korupsi yang dimaksud seperti korupsi KTP elektronik, dugaan korupsi lelang jabatan, pengadaan anggaran, titipan dan lainnya. "Jangan salah, dua periode pimpinan DPR terkena kasus korupsi Setya Novanto dan Taufik Hidayat dari PAN," katanya.
Ia berkata, penting bagi partai politik jangan menyodorkan kadernya yang punya persoalan hukum di masa lalu sebagai calon pimpinan MPR. Karena MPR adalah wajah dari keterwakilan politik dan daerah di parlemen. "Kalau diisi yang oleh yang punya persoalan hukum di masa lalu, ini akan membelenggu kita," katanya.
Juga baca: Pengamat: Ketua MPR hendaknya diisi figur politisi negarawan
Juga baca: Akademisi angkat bicara terkait negosiasi kursi MPR
Juga baca: Memperebutkan kursi Ketua MPR
ICW mengendus politik transaksional dalam perebutan kursi ketua MPR, dilihat dari begitu strategisnya posisi lembaga tinggi negara itu. Ia katakan sejumlah indikator yang menjadikan kursi MPR sebagai incaran elit politik baik partai koalisi maupun oposisi.
Indikator pertama yakni posisi ketua MPR menjadi menarik karena seolah-olah menjadi anak tangga menuju kursi kepresidenan. "Dengan cara pandang politisi sekarang, seolah-olah MPR satu itu jalan tol paling dekat menuju RI satu," katanya.
Indikator lain adalah berbagai agenda ketatanegaraan ke depan. Ada wacana untuk memperpanjang masa jabatan presiden menjadi delapan tahun. Munculnya wacana menambah atau melikuidasi sejumlah lembaga negara dalam konstitusi.
Menurut dia, indikator ini menjadikan posisi ketua MPR sangat strategis karena mempengaruhi konstalasi politik ke depan. MPR seolah-solah menjadi kendali jarak jauh untuk mengatur arah politik bergerak kemana ke depan. "Ini yang menurut saya membuat posisi ketua MPR jauh berbeda jika dibandingkan dengan 2014 lalu," katanya.
Segala indikator itu tidak menutup kemungkinan para elit politik berebut jabatan itu dan berpeluang terjadi politik transaksional. Politik transaksional terjadi dari level bawah seperti kasus baru-baru ini bupati Kudus dua kali menjadi target operasi tangkap tangan KPK.
Situasi ini menjelaskan dagang jabatan politik transaksional itu terjadi pada semua level mulai dari bawah yakni dinas, CPNS, hingga level bupati, wali kota, dan putaran uang paling besar di level DPR, MPR dan DPD. "Karena level ini adalah episentrum anggaran di negeri ini," katanya.
Oleh karena itu, lanjut dia, untuk menghindari politik transaksional tersebut maka penting untuk diawasi oleh KPK. "KPK perlu melakukan monitoring terkait lobi-lobi politik dan potensi terjadinya transaksional yang berujung pada suap di dalam pemilihan pimpinan MPR," kata dia.